Di Sabah, Malaysia, ada sekolah khusus anak-anak TKI (tenaga kerja Indonesia). Sudah lima tahun beroperasi. Adalah Dadang Hermawan, guru Indonesia pertama, yang membidani pendirian Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN) di Sabah itu.
M. HILMI SETIAWAN, Jakarta
MESKIPUN bukan kali pertama menjadi guru di luar negeri, Dadang sempat terkejut ketika mendapat tugas untuk mbabat alas (merintis) sekolah khusus anak-anak TKI di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. Di kawasan yang berbatasan dengan Kalimantan itu, diperkirakan ada sekitar 56 ribu anak TKI.
"Terus terang, saya kaget mendapat tugas berat itu," ujar Dadang saat mendampingi siswa Community Learning Center (CLC/sejenis sekolah terbuka) Indonesia di Kota Kinabalu mengikuti Lomba Motivasi Belajar Mandiri (Lomojari) 2013 di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Jakarta, Selasa (10/9).
"Saya guru yang pertama dikirim ke Sabah pada Oktober 2008," tambah guru yang semula mengajar di SMAN 7 Cirebon tersebut.
Sebelum bertugas di Sabah, Dadang pernah menjadi guru di SILN Kuala Lumpur selama lima tahun (2002"2007). Setelah setahun pulang kampung, dia mendaftar lagi menjadi guru di luar negeri. Ternyata, dia masih dipercaya pemerintah untuk mengajar di luar negeri. Bahkan, kali ini tanggung jawabnya lebih besar karena Dadang harus merintis pendirian sekolah untuk anak-anak TKI di Kinabalu, Sabah, Malaysia.
"Meski di luar negeri, saya tetap bertanggung jawab untuk ikut mencerdaskan anak-anak TKI itu," tegas guru kelahiran Sumedang, Jawa Barat, 31 Juli 1970, tersebut.
Menurut Dadang, kondisi WNI di Sabah jauh berbeda dengan di Kuala Lumpur. Kebanyakan WNI di Kuala Lumpur sudah mapan, baik secara ekonomi maupun pendidikan. Sebaliknya, di Sabah, kondisi WNI yang umumnya bekerja sebagai TKI di perkebunan sawit cukup memprihatinkan. Mereka tinggal di barak-barak perusahaan sawit di dalam kompleks perkebunan. Jauh dari layanan pendidikan.
"Tantangannya memang besar di Sabah," ujarnya.
Ketika mendarat di Kota Kinabalu, Dadang mendapati gedung sekolah Indonesia masih menyewa rumah toko (ruko). Pemerintah RI belum membangunkan gedung sekolah permanen. Tapi, ruko yang disewa cukup banyak dan berjajar. Ada enam unit. Pembelajaran dilangsungkan di lantai dua, sedangkan lantai satu untuk berjualan kain. Karena itu, bila di lantai satu pengunjung ramai, proses belajar terganggu.
"Tentu saja jadi tidak kondusif jika dibanding dengan bangunan sekolah permanen," katanya.
Dadang merintis Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) benar-benar mulai nol. Bermodal ruko yang disewa pemerintah, dia diminta mencari murid sendiri. Dibantu tiga staf tata usaha, Dadang merekrut anak-anak TKI secara manual dengan menelepon satu per satu orang tua calon murid. Masalahnya, banyak juga TKI yang tidak memiliki pesawat telepon.
"Alhamdulillah, respons dari keluarga TKI sangat antusias sehingga kami gampang mendapat murid," ungkap suami Iis Aniawati Wahyuni itu.
Setelah tiga bulan bergerilya mencari murid, pada Januari 2009, SIKK mulai beroperasi. Tapi, semua masih darurat. Karena itu, tak heran bila tugas Dadang merangkap-rangkap. Selain harus mengajar sendirian murid kelas I"VI SD, dia menjadi kepala sekolah di situ.
Bisa dibayangkan betapa repotnya Dadang saat itu. Apalagi, siswa yang tercatat mencapai 274 orang. Kelas I sampai kelas III SD masing-masing terdiri atas dua rombongan belajar (rombel). Lalu, kelas IV"V masing-masing satu rombel, sedangkan kelas VI belum ada. "Sebab, masih belum ada siswa yang memenuhi kompetensi untuk duduk di kelas VI," ujarnya.
Bapak Anida Nurul Fikri, 15; M. Zainal Muttaqin, 12; dan Syahla Intan Kemala, 9, itu menyatakan, sebaran usia siswa SD sangat beragam. Tidak seperti di Indonesia yang pola sebaran usia siswa per kelas tidak mencolok. Saat itu ada anak berumur 14 tahun yang masih duduk di kelas I SD. Mereka belajar dengan anak yang berusia 6"7 tahun.
"Kami tidak bisa kaku membatasi umur siswa. Fleksibel saja," tegasnya.
Dadang menuturkan, hasil ujian nasional paket A pertama anak-anak didiknya pada 2009 memang masih memprihatinkan. Saat itu, di antara 49 siswa peserta ujian, hanya empat yang lulus. Meski begitu, Dadang tidak putus asa. Dia mengambil hikmah dari situasi tersebut untuk meraih hasil yang lebih baik pada ujian berikutnya.
Setelah beroperasi sekitar dua bulan, Dadang mendapatkan suntikan bantuan enam tenaga pendidik dari Jakarta. Sejak itulah, aktivitas belajar mengajar di SIKK mulai "normal". Tugas Dadang jadi lebih ringan.
Meskipun belum punya bangunan sekolah sendiri, SIKK sangat dibutuhkan TKI. Buktinya, siswanya terus bertambah. Jenjang sekolahnya juga meningkat. Bila semula hanya SD, kini, lima tahun kemudian, sudah ada SMP dan SMA. Total jumlah siswa SIKK sebanyak 674 orang dari SD hingga SMA.
Jumlah gurunya juga tambah banyak. Kini ada 32 orang, terdiri atas 18 PNS (pegawai negeri sipil) dan sisanya guru swasta. Para guru itu mendapatkan gaji Rp 15 juta per bulan ditambah tunjangan Rp 2 juta sebulan. Sementara itu, gaji kepala sekolah (Kasek) dua kali lipatnya, Rp 30 juta.
"Alhamdulillah, kesejahteraan guru di sini dicukupi pemerintah," kata guru yang masa kontraknya di Malaysia berakhir tahun depan itu.
Setiap guru di SILN dikontrak per tiga tahun dan dapat diperpanjang setiap tiga tahun lagi. Perekrutan guru SILN langsung ditangani Kemendikbud. Saat ini peminatnya cukup besar. Selain dari guru yang sudah mengajar, ada dari mahasiswa yang baru lulus kuliah.
Perkembangan SIKK lainnya, sekolah itu kini mampu menjadi induk dari sejumlah sekolah lain yang menjadi satelit. Dadang mencatat, ada 28 CLC Indonesia se-Sabah yang berada di bawah koordinasi SIKK. Total siswanya mencapai 2.009 anak. Sekitar seribu siswa di antara mereka lulus CLC Indonesia di Sabah dan melanjutkan pendidikan di tanah air.
"Inilah harapan kami sebagai pengajar. Setelah lulus, mereka harus melanjutkan sekolah atau kuliah di tanah air. Biar tidak menjadi TKI seperti orang tuanya," paparnya. (*/c5/c10/ari)
BACA JUGA: Aku Bercita-cita Berangkatkan Orangtua Pergi Haji, Tapi Ayah Sudah Duluan Pergi
BACA ARTIKEL LAINNYA... Cita Rasa Luar Biasa, Waktu Masak Perlu Dipangkas
Redaktur : Tim Redaksi