JAKARTA - Hingga saat ini, hak-hak buruh migran dan pembantu rumah tangga belum mendapat pembelaan yang maksimal dari pemerintahAnggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD, Hairiah, menyatakan, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Linda Agum Gumelar harus benar-benar paham betul isi konvensi internasional
tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan atau yang lebih dikenal dengan nama Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW).
"Sepanjang tidak ada ratifikasi terhadap konvensi perlindungan buruh migran di negara pengirim dan penerima, maka kasus-kasus kekerasan yang dialami tenaga kerja akan terus terjadi," kata Hairiah di Jakarta, Minggu (15/11).
Sebenarnya, pemerintah sudah lama diratifikasi CEDAW pada tahun 1970
BACA JUGA: Komisi III DPR Tak Mau Memihak
Kemudian seiring penyempurnaan CEDAW, pemerintah meratifikasinya lagi pada tahun 1984BACA JUGA: Brimob Siap Bentengi Kapolri
Tahun 1990, pemerintah sempet berencana meratifikasinya lagi, namun diundur ke 2004Karenanya wakil rakyat dari Kalimantan BArat ini mendorong pemerintah Indonesia selaku negara pengirim buruh migran ataupun TKI agar segera meratifikasi konvensi PBB tentang perlindungan buruh migran tersebut
BACA JUGA: Ikut Tes Kejar Status CPNS
Menurutnya, tidak ada alasan bagi pemerintah Indonesia untuk khawatir merasa bertambah beban jika meratifikasi CEDAW"Mestinya seluruh negara menghormati dan meratifikasi konvensi tersebutPemerintah, harusnya mencontoh Philipina, yang mulai memberikan perhatian pada buruh migran," lanjutnya.
Hairiah menjelaskan, Filipina dari awal benar-benar menyiapkan sistem yang mengatur perlindungan bagi tenaga kerjanyaDari sisi sumber daya manusia mereka juga sudah menyiapkan.Bahkan ada tenaga kerja Filipina yang bekerja sebagai pembantu dari lulusan universitas, dan bisa berbahasa Inggris.
Lebih lanjut Hairiah mengatakan, perlindungan tenaga kerja bagi negara pengirim dan penerima merupakan hal yang mutlakKarena tekanan ekonomi di negara asal semakin berat, jumlah buruh migran semakin lama semakin banyak
Perhatian lebih terhadap buruh migran ini, lanjutnya, justru menghindari konflik emosi antara negara pengirim dan penerimaContohnya, berbagai kasus kekerasan yang dialami para TKI Indonesia di Malaysia, bisa memicu konflik kedua negara dan menganggu stabilitas di tingkat regional.
Tak hanya buruh migran, lanjut Hairiah, pemerintah melalui Meneg PP juga harus mendukung rencana Organisasi Buruh Dunia (ILO) menyusun konvensi perlindungan pekerja rumah tangga (PRT), sekaligus melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang PRT hingga pengesahannya.
Indonesia, semestinya juga meratifikasi Konvensi Migran 1990Padahal Indonesia adalah satu dari 9 negara pengirim buruh migran terbesar di duniaKebanyakan buruh migran Indonesia adalah perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga.
Indonesia juga telah menandatangani beberapa perjanjian perdagangan bebas yang berpengaruh terhadap semakin terbukanya batas negara dan meningkatkan arus migrasi buruh.
Sebenarnya Pemerintah Indonesia, melalui Menlu, sudah mendandatangani Konvensi Migran 1990 pada tahun 2004. Namun, penandatanganan tersebut tidak berdampak pada kebijakan nasional karena Indonesia belum mengadopsinya dalam sistem hukum melalui ratifikasi.
Pemerintah Indonesia juga sebenarnya telah memasukkan rencana ratifikasi dalam RANHAM pada dua periode, yaitu RANHAM periode 1998-2003 dan RANHAM 2004-2009.
Ratifkasi konvensi juga sudah direkomendasikan dalam rekomondasi umum CEDAW No20 pada tahun 2008 khususnya poin 29 dan dalam concluding comment terhadap laporan Indonesia pada tahun 2007 khususnya pada point 44.(Lev/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... BHD Ajak Anggotanya Tegar
Redaktur : Tim Redaksi