Lip Service

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Selasa, 29 Juni 2021 – 12:03 WIB
Pak Jokowi. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Elvis Presley (1935-1977) adalah The King of Rock n’Roll sepanjang masa.

Gelar itu dia sandang sampai mati, dan sampai sekarang tidak ada yang menggantikannya.

BACA JUGA: Akun Medsos Pengurus BEM UI Diretas, Politikus PD Singgung Pola Sistematis

Michael Jackson (1958-2009) mendapat gelar The King of Pop yang juga disandangnya sampai mati, dan sampai sekarang belum ada yang bisa menggantikannya.

Madonna mendapat julukan sebagai The Queen of Pop. Sampai sekarang usianya sudah memasuki kepala enam dan karier musiknya sudah meredup, tetapi gelar itu tetap disandangnya.

BACA JUGA: BEM UI Dipanggil Gegara Meme Jokowi ‘The King of Lip Service, Politikus PAN Ini Bereaksi, Tegas!

Di Indonesia, Bang Haji Rhoma Irama mendapat gelar sebagai The King of Dangdut alias Si Raja Dangdut. Sampai sekarang gelar itu disandang oleh Bang Haji, dan tidak ada satu penyanyi dangdut pun yang berani menggugatnya.

Tidak ada upacara penobatan untuk para legend itu. Tidak ada upacara jumenengan atau "coronation ceremony" sambil memasangkan mahkota di kepala mereka.

BACA JUGA: Three Musketeers

Gelar itu adalah gelar kehormatan tanpa perlu ada mahkota. Gelar itu menjadi bukti public recognition, pengakuan publik atas kiprah mereka.

Seseorang bisa mencapai posisi tertinggi melalui dua tangga, yaitu achievement atau prestasi, dan ascription atau pengakuan. Prestasi dicapai pada jenjang formal, sedangkan askripsi dicapai melalui jenjang non-formal, melalui pengakuan publik.

Tanpa memakai mahkota pun Rhoma Irama adalah Sang Raja Dangdut.

Sebaliknya, seseorang yang ke mana-mana memasang lencana di dadanya sebagai simbol jabatan yang tinggi, tidak akan digubris oleh masyarakat, karena tidak ada pengakuan sosial atas apa yang dilakukan dan dicapainya.

Para mahasiswa pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) itu tentu belum lahir ketika era keemasan Elvis terjadi.

Mereka juga belum lahir ketika Michael Jackson dan Madonna merajai panggung musik pop dunia.

Mereka juga tidak mengalami masa-masa keemasan Rhoma Irama.

Namun, kelihatannya para pengurus BEM UI itu mendapatkan inspirasi dari para raja itu ketika memberikan gelar "The King of Lip Service" alias Raja Layanan Bibir, kepada Presiden Joko Widodo.

Tentu ini tidak sama dengan gelar para raja legendaris itu. Gelar ini agak peyoratif (peyorasi), tetapi sangat khas mahasiswa.

Para mahasiswa itu menganggap Jokowi Raja Layanan Bibir, karena apa yang diucapkan dan apa yang dilakukan tidak sinkron.

Para mahasiswa itu memberikan beberapa contoh inkonistensi itu.

Salah satunya adalah pernyataan Jokowi bahwa ia rindu didemo. Namun, ketika ada demo, Jokowi menghilang. Itu hanya salah satu contoh yang diberikan oleh mahasiswa.

Gelar itu seharusnya bisa dianggap sebagai lucu-lucuan saja. Atau paling banter anggap saja sebagai keusilan dan kenakalan mahasiswa.

Namun, rupanya banyak yang sensi terhadap hal-hal semacam itu, sampai Istana pun ribut berkomentar soal itu. Para pendukung Jokowi juga ramai-ramai bereaksi dan merundung para mahasiswa itu.

Ini bukan kali pertama BEM UI bersikap kritis terhadap pemerintahan Jokowi.

Saat Jokowi menghadiri acara wisuda UI, 2018, Ketua BEM UI Zaadit Taqwa tiba-tiba mengacungkan kartu kuning kepada Jokowi. Kontan saja situasi menjadi heboh dan Zaadit langsung diamankan oleh Paspampres.

Kartu kuning itu diberikan kepada Jokowi sebagai bentuk peringatan atas berbagai masalah yang terjadi di dalam negeri. Sudah seharusnya Presiden Joko Widodo diberi peringatan untuk melakukan evaluasi di tahun keempatnya. Begitu kata Zaadit.

Kartu kuning dan gelar Raja Layanan Bibir adalah protes khas mahasiswa yang tidak puas terhadap kinerja Jokowi.

Sebenarnya tidak ada yang baru dalam hal ini. Kritik paling keras terhadap Jokowi sudah pernah dilakukan oleh Ben Bland dalam buku "Jokowi, Man of Contradictions: Joko Widodo and The Struggle to Remake Indonesia" (2018).

Bland menulis bahwa Jokowi adalah seorang demokrat yang terjebak dalam otoritarianisme. Orientasi ekonominya liberal tapi praktiknya adalah proteksionisme.

Dia mencitrakan diri sebagai rakyat, tetapi dikelilingi elite. Jokowi terlihat menjunjung keberagaman, tetapi dia berlindung di balik kelompok konservatif.

Sederet ketidaksesuaian antara apa yang dikatakan dan apa yang menjadi kenyataan itu sudah cukup bagi Bland untuk menjuduli bukunya "Jokowi: The King of Lip Service".

Namun, Bland bukan mahasiswa UI, karena itu ia punya ide lain untuk judul bukunya.

Buku ini ditulis setelah perjumpaan panjang Bland dengan Jokowi sejak 2012. Pertama kali menginjakkan kaki di DKI Jakarta, Bland menyaksikan hiruk pikuk ibu kota menyambut Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Pengalamannya sebagai jurnalis menjadikan Bland saksi karier politik Jokowi, dari Balai Kota menuju Istana.

Jokowi, kuda hitam asal Solo itu satu per satu menaklukkan elite politik papan atas, mulai dari Fauzi Bowo hingga Prabowo Subianto.

Tidak heran, semua mata tertuju kepadanya. Jokowi adalah sosok yang dianggap lumayan bersih. Pengusaha kayu dan mebel. Sempat dicitrakan sebagai lelaki desa sederhana tanpa hasrat politik.

Kata Bland, memasuki masa jabatan yang kedua, enam tahun berkuasa, dukungan kepada Jokowi mulai melemah.

Dalam berbagai kebijakannya, mulai dari penegakan korupsi dan hak asasi manusia (HAM), pembangunan tol laut, rencana pemindahan ibu kota negara, hingga penanganan pandemik COVID-19, keputusan yang diambil Jokowi tidak seperti janji yang dia ucapkan.

Melalui buku ini, Bland ingin mengatakan bahwa Indonesia dipimpin oleh presiden yang bahkan tidak bisa konsisten dengan kata-katanya sendiri.

Di mata Bland, Jokowi adalah sosok yang unik. Dia bertindak tanpa visi yang jelas. Keras kepala, tetapi enggan mendengar analisis. Namun tetap "dicintai" rakyat.

Pers internasional pada awalnya juga menaruh harapan kepada Jokowi. Jokowi adalah sosok yang dalam laporan utama majalah "Time" disebut sebagai "A New Hope".

Time melihat potensi Jokowi untuk bisa memimpin Indonesia menuju negara demokratis yang maju.

Namun, beberapa perkembangan terakhir tampaknya tidak sesuai dengan harapan Time.

Mudah-mudahan Time tidak ketularan Bland, atau ikut usil seperti anak-anak BEM UI, lalu membuat laporan utama soal Jokowi dengan judul "No Hope". (*)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler