Three Musketeers

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Senin, 28 Juni 2021 – 11:07 WIB
Ilustrasi Istana Merdeka. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Kisah tiga prajurit tangguh Prancis di abad pertengahan ini merupakan rekaan pujangga Alexander Dumas yang masyhur.

Kisahnya mengenai tiga serangkai Three Musketeers yang terdiri dari Athos, Porthos, dan Aramis.

BACA JUGA: BEM UI Tolak Permintaan Rektorat soal Unggahan Jokowi The King Of Lip Service

Ketiganya bahu-membahu bertarung dalam sebuah misi membela negara.

Ada orang keempat dalam legenda Tiga Serangkai itu, yaitu D’artagnan, seorang pemuda desa yang lugu, agak berangasan, tetapi jago berkelahi dengan pedang.

BACA JUGA: BEM UI Sebut Jokowi King of Lip Service, Ade Armando Membalas, Alumni Meradang

Dalam sebuah pertemuan yang tidak sengaja, D’artagnan bergabung dengan Three Musketeers dalam pertempuran melawan pasukan Kardinal yang jahat.

D’artagnan kemudian bergabung ke dalam kelompok Three Musketeers untuk menyelamatkan dokumen rahasia, yang berisi skema pembuatan senjata canggih pesawat terbang yang diperebutkan orang-orang jahat.

BACA JUGA: Sentil Wakil Rakyat, Ketua BEM UI: Setop Politisasi Vaksin Nusantara

Di akhir cerita, Three Musketeers memenangi pertempuran dan menyelamatkan dokumen penting itu.

Three Musketeers menjadi legenda dunia. Siapa saja yang berhimpun dalam tiga orang selalu disebut Three Musketeers.

Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia ada juga tiga tokoh yang disebut sebagai "Tiga Serangkai".

Mereka adalah Ernest Douwes Dekker, Suryadi Suryaningrat atau Ki Hadjar Dewantara, dan Tjipto Mangunkusumo.

Tiga orang itu disebut Tiga Serangkai karena bersama-sama mereka berjuang saling bahu-membahu membangun nasionalisme Indonesia.

Tiga orang itu disebut sebagai peletak nasionalisme Indonesia dengan mendirikan Indische Partij yang menjadi cikal bakal partai-partai politik modern Indonesia.

Ada lagi tiga serangkai yang tidak kalah pentingnya dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Mereka adalah Soekarno, Mohammad Hatta, dan Soetan Sjahrir.

Ketiganya bahu-membahu berjuang melawan penjajahan Belanda, dan kemudian bersiasat melawan Jepang sampai kemudian mengantar kemerdekaan Indonesia.

Soekarno dan Hatta kemudian menjadi presiden dan wakil presiden, sedangkan Sjahrir menjadi perdana menteri.

Ketiganya tidak terpisahkan, meskipun punya latar belakang pemikiran politik yang berbeda.

Soekarno dan Hatta disebut sebagai dwitunggal, dua dalam satu atau satu dalam dua, karena pasangan itu dianggap mewakili kebinekaan Indonesia. Soekarno berasal dari Jawa dan Hatta mewakili suara luar Jawa.

Keduanya beda karakter dan pembawaan, bahkan bisa disebut sebagai "the opposite attrack", sangat berbeda dalam gaya berpolitik.

Soekarno yang jago berpidato dan punya kecerdasan tinggi serta berpenampilan charming oleh Herb Feith disebut sebagai "the solidarity maker". Soekarno adalah pencipta solidaritas melalui retorika dan orasinya yang tajam menggelegar.

Mohammad Hatta seorang sarjana ekonomi yang tenang dan cermat serta berdisiplin tinggi. Ia seorang ahli administrasi, dan karena itu dijuluki sebagai "Adminstrateur".

Perpaduan solidarity maker dan administrateur ini menjadi dwitunggal yang menakhodai Indonesia yang baru merdeka.

Dalam perjalanannya, dua opposite attrack ini akhirnya pecah.

Beda karakter pribadi itu akhirnya membawa kepada perpecahan pandangan politik.

Soekarno dengan kepribadian yang flamboyan cenderung megalomanian, dan Hatta yang tenang lebih cenderung menjadi seorang demokrat yang egalitarian.

Ketika Soekarno makin berambisi menjadi presiden seumur hidup dan mengontrol demokrasi dengan konsep demokrasi terpimpin, dua orang itu akhirnya harus berpisah jalan. Dwitunggal pun pecah menjadi dwi tanggal.

Sebutan Three Musketeers, tiga serangkai politik, beberapa hari belakangan ini viral di media sosial, setelah politisi Arif Poyuono mengunggah konten yang menyebut-nyebut adanya Three Musketeers di Istana Negara.

Tiga serangkai itu adalah orang-orang kepercayaan Presiden Joko Widodo yang selama ini sangat berpengaruh terhadap berbagai keputusan strategis.

Poyuono mungkin ingin naik gelombang dan melakukan pansos, panjat sosial, dengan menumpang isu masa kepresidenan tiga kali.

Dalam pengakuan Poyuono, ia telah menemui Three Musketeers di Istana dan mengusulkan soal perpanjangan masa kepresidenan menjadi tiga periode.

Tidak disebutkan siapa saja tiga musketeers itu. Orang pun hanya bisa menebak-nebak siapa saja tiga serangkai Istana yang disebut-sebut sangat berpengaruh terhadap Jokowi itu. Poyuono juga tidak menyebut nama dengan jelas. Ia malah melempar teka-teki politik dengan menyebut inisial Three Musketeers, yaitu M, L, dan P.

Siapa tiga orang itu? Spekulasi pun bermunculan. Dan yang paling santer disebut adalah Luhut Binsar Panjaitan, menko marives, Moeldoko, ketua KSP, dan Pratikno mensesneg.

Tiga orang ini sesuai dengan inisial yang dilempar Poyuono, dan ketiga orang itu memang selama ini disebut-sebut sebagai inner circle presiden yang paling dekat.

Pihak Istana tidak suka dengan lemparan Poyuono itu.

Istana membantah ada tiga serangkai di Istana, dan menegaskan bahwa nama-nama yang dilempar Poyuono itu hanya khayalan belaka.

Istana menegaskan tidak ada pembahasan mengenai masa kepresidenan tiga periode, dan Jokowi sudah jelas dan tegas menolak wacana itu.

Isu kepresidenan tiga periode, yang dilempar oleh pengusaha survei Mohamad Qodari, sekarang menjadi bola panas yang terus menggelinding.

Pro dan kontra muncul dan perdebatan panas terjadi. Jokowi belum membuat pernyataan resmi mengenai hal itu, tetapi orang-orang sekitar Jokowi telah membuat pernyataan penolakan.

Kalangan oposisi sudah mengantisipasi perkembangan ini. Mereka menduga isu tiga periode ini bukanlah isu lepas.

Isu ini sengaja dilempar ke publik untuk mengetes ombak. Jika ombak bergolak keras, kapal tidak akan berlayar. Namun, kalau ternyata angin berembus sepoi-sepoi dan membikin kantuk, maka kapal pun akan berlayar mulus.

Penolakan yang sudah dilontarkan kubu Jokowi tidak menjadi masalah. Toh, selama ini gaya komunikasi politik Jokowi yang enigmatik sudah sangat dihafal.

Boleh saja dia berbicara sesuatu, tetapi kenyataannya bisa saja berbeda. Misalnya, soal pemecatan pegawai KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) melalui TWK (tes wawasan kebangsaan) yang kontroversial, Jokowi sudah berbicara, tetapi teryata proyek itu jalan terus, dan Jokowi diam saja.

Anak-anak BEM (badan eksekutif mahasiswa) UI (Universitas Indonesia) rupanya jengkel dengan gaya politik Jokowi.

Mereka lalu menganugerahkan gelar kepada Jokowi sebagai "The King of Lips Service" atau Sang Raja Layanan Bibir.

Tentu saja ini kenakalan dan kekritisan khas mahasiswa yang bisa mengundang senyum.

Para mahasiswa itu melihat ketidakkonsistenan Jokowi antara yang dibicarakan dengan kenyataan di lapangan.

Apa yang dibicarakan Jokowi tidak lebih dari sekadar pemanis bibir. Karena itu mereka menjuluki Jokowi sebagai The King of Lips Service.

Gegara unggahan itu para mahasiswa itu dipanggil dan diperingatkan oleh pimpinan universitas.

Lengkap sudah isi Istana Negara. Ada The Three Musketeers yang menjadi pembisik kepercayaan, ada juga sang raja yang bergelar "The King of Lips Service.

Seperti semboyan terkenal Three Musketeers "one for all and all for one", satu untuk semua dan semua untuk satu. Satu dibagi rata, dan semua dibagi rata. (*)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur & Reporter : Adek

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler