Lockdown berkepanjangan di Sydney dan Melbourne menyebabkan banyak orangtua murid kini khawatir dengan dampak belajar dari rumah bagi pendidikan anak-anak mereka.
Metode belajar dari rumah dapat berdampak lebih berat bagi keluarga migran, dengan adanya hambatan bahasa dan budaya bagi para orang tua untuk memahami kurikulum anak-anaknya.
BACA JUGA: Sejumlah Perawat di Filipina Mengancam Mundur Saat Kasus Varian Delta Terus Meningkat
Situasi ini mendorong sebagian keluarga mencari solusi di luar sistem sekolah.
Orangtua tunggal Jin Hua telah merogoh kantong untuk membayar tutor bagi putrinya, yang kini bersiap menghadapi ujian akhir mata pelajaran (VCE) Bahasa Mandarin dan Biologi di salah satu sekolah negeri di Melbourne.
BACA JUGA: Eks Dubes Australia untuk Indonesia Desak Pemerintahnya Genjot Bantuan untuk Asia Tenggara
Jin Hua yang pindah dari Tiongkok di tahun 2004 dan mengalami kesulitan pendengaran, khawatir kondisinya itu serta kurangnya pemahaman pada sistem pendidikan di Victoria, akan membuat anaknya ketinggalan.
Dia mengaku lockdown telah dirasakannya sangat berat, karena tak dia merasa kurang mampu membantu putrinya yang harus belajar dari rumah.
BACA JUGA: Kisah Cinta Perawat Amerika dan Tentara Afghanistan, Terpisah Gegara Taliban
"Rasanya putri saya lahir pada waktu yang tidak tepat untuk menghadapi tantangan ini," ujar Jin.
"Saya selalu bilang betapa beratnya membesarkan dia seorang diri, sehingga masa depannya tergantung pada dia sendiri," katanya.
Jin bukan satu-satunya orang tua murid yang membutuhkan bantuan. Selama pandemi ini, makin banyak orang tua lainnya yang membutuhkan tutor.
Sebuah perusahaan penyedia jasa tutor di Sydney menjelaskan peserta didik yang mereka tangani semakin bertambah saat lockdown.
Menurut Han Wenzhu, yang mengajar di sekolah negeri dan swasta di Australia lebih dari 15 tahun, makin banyak keluarga migran yang merasa khawatir dengan prestasi belajar anak-anaknya.
"Berebut rangking ATAR (mirip dengan Ujian Akhir Nasional di Indonesia) memicu tekanan mental bagi kalangan orang tua migran dan para murid," kata Han. Lebih berat bagi keluarga dengan banyak anak
Whitney Tavu'i-leota bekerja sebagai petugas penghubung masyarakat di SMA Cabramatta High School di Sydney.
Dia menyebutkan ada sekirar 11 persen siswa di sekolah ini berlatar-belakang penduduk dari negara-negara Pasifik.
Menurut Whitney, transisi ke pembelajaran jarak jauh sangat sulit bagi sejumlah siswa migran asal Kepulauan Pasifik.
"Sebagian dari mereka tinggal dengan keluarga besar. Untuk menemukan ruang belajar yang tenang sangat sulit bagi mereka," katanya.
Belajar dari rumah di saat lockdown menjadi tantangan tersendiri bagi keluarga yang tidak memiliki akses laptop atau wi-fi di rumah.
"Ada satu keluarga dengan tiga anak di sekolah menengah berbagi satu laptop dan anak lainnya belajar dengan menggunakan HP," jelas Whitney.
Untuk membantu keluarga-keluarga tersebut, SMA Cabramatta telah menyiapkan laptop atau perangkat wi-fi saku bagi siswa Kelas 12 jika mereka membutuhkannya.
Siswa yang lebih junior diberikan materi pembelajaran untuk digunakan selama penguncian.
Whitney yang keturunan Samoa dan Polandia mengatakan dia bisa memahami kondisi yang dialami keluarga migran asal Kepulauan Pasifik.
Sejak lockdown terakhir, dia sendiri bekerja di rumah yang beranggotakan 10 orang.
"Rumah saya bisa berubah sangat kacau dalam beberapa hari dan ada anak-anak kecil yang butuh perhatian saat saya sibuk," katanya.
"Ini hanya pekerjaan yang sedang berjalan, Anda hanya harus mencoba dan menemukan keseimbangan itu," tambahnya. Cuti menenangkan diri akan membantu
Tantangan bagi keluarga dengan anak-anak sekolah yang belajar dari rumah juga dialami dr. Erika Annisa Mustika, asal Indonesia, yang memiliki empat anak.
Dokter Erika tinggal di Melbourne yang kini kembali menjalani lockdown .
Dia mengaku tantangan terberat baginya adalah menyeimbangkan urusan pendidikan anaknya yang berusia 6 dan 11 tahun dengan tugas rumahtanga.
"Permintaannya sangat tinggi. Saya harus mengikuti jadwal sekolah setiap saat, mengecek kapan mereka harus bertemu gurunya, PR apa yang harus dikerjakan, kapan PR itu harus dikumpulkan," ujarnya.
"Saya melakukannya bersama suami karena kami tidak punya keluarga di sini," kata dr. Erika.
Dia berharap pemerintah bisa mengalokasikan satu hari dalam seminggu jatah cuti untuk menenangkan diri, agar bisa membantu orang tua murid mengatasi permasalahan pendidikan anak-anaknya selama lockdown.
"Saya merasa jenuh melihat layar komputer tiap hari, yang sangat berdampak pada kesehatan mental anak-anak dan orang tua," katanya.
"Andaikan ada 'wellbeing day' nasional, jadi katakanlah ada satu hari dalam seminggu yang ditetapkan pemerintah di mana kita bebas dari segala kegiatan online," ujarnya. Orangtua diharapkan mempercayai pihak sekolah
Pemerintah Victoria telah mengalokasikan dana tambahan bagi sekolah negeri untuk mempekerjakan tutor dalam membantu siswa yang tertinggal selama pembelajaran jarak jauh.
Selain itu juga telah diambil langkah-langkah pembelajaran jarak jauh untuk membantu siswa dengan latar belakang budaya dan bahasa berbeda (CALD).
“Ini termasuk kelanjutan pelajaran Bahasa Inggris sebagai Bahasa Tambahan (EAL) dan guru bantu dwibudaya dalam mendukung siswa dan keluarga mereka,” kata juru bicara dari Departemen Pendidikan Victoria kepada ABC.
“Apabila siswa dari latar belakang CALD dianggap rentan, mereka dapat masuk sekolah seperti biasa,” jelasnya.
Di SD Abbotsford Primary School, salah satu sekolah yqng menggunakan dua bahasa (bilingual) Mandarin-Inggris di Victoria, kepala sekolah Stanley Wang telah memanfaatkan dana tambahan untuk menyiapkan program bimbingan belajar mata pelajaran bahasa Inggris, Matematika, dan Mandarin.
Dia menyebut kegiatan ini telah berjalan dan berharap orangtua untuk mempercayai pihak sekolah.
"Jika kesejahteraan murid didukung dengan baik di rumah, saya pikir orangtua pun harus memiliki kepercayaan pada sekolah dan menyerahkan sisi kemajuan akademik anak-anaknya pada profesionalisme guru," katanya.
Wang mengatakan orangtua dapat memainkan peran penting dalam membantu anak-anak "menjalani rutinitas" dan "menciptakan lingkungan kondusif untuk belajar".
"Khususnya ketika kita berbicara tentang pembelajaran jarak jauh, orangtua memiliki kesempatan dan tanggung jawab untuk berperan lebih aktif dibanding sebelumnya," katanya.
Simak artikelnya dalam bahas Inggris di sini.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Teknologi Drone Digunakan untuk Menyalurkan Bantuan kepada Pasien COVID-19 di Makassar