jpnn.com - Menjelang libur Natal dan tahun baru serbuan pandemi gelombang ketiga melanda Eropa dan Amerika. Seluruh dunia pun bersiaga mengantisipasi serangan baru.
Sejumlah lockdown terbatas diterapkan di beberapa negara Eropa, tetapi publik bereaksi keras dan menolak pembatasan itu.
BACA JUGA: Lockdown Melbourne Pecahkan Rekor Dunia, Pemerintah Australia Klaim Wabah Mulai Reda
Pandemi yang sudah berlangsung hampir dua tahun membuat orang bosan. Hidup dalam keterkekangan yang terus-menerus dan dalam pengawasan ketat setiap hari adalah perampasan yang sulit diterima oleh masyarakat di negara bebas mana pun.
Di Belanda demonstrasi menentang lockdown parsial meluas di beberapa kota besar seperti Rotterdam, Den Haag, dan Groningen. Ribuan orang turun ke jalan dan terjadi beberapa bentrokan dengan polisi. Demonstran membakar ban di jalanan dan sebuah sekolah dasar dibakar oleh massa yang marah.
BACA JUGA: Pemerintah Putuskan Level PPKM Berbasis Vaksinasi
Demonstrasi besar juga terjadi di Austria. Ribuan orang turun ke jalan tanpa memakai masker dan tidak memedulikan pembatasan jarak. Mereka menentang lockdown dan menolak vaksinasi.
Di negara-negara Eropa Timur bekas komunis tingkat vaksinasi terhitung rendah karena banyak yang masih berada di kisaran di bawah 50 persen.
BACA JUGA: Airlangga Hartarto: Capaian Vaksinasi Menjadi Parameter Level PPKM di Luar Jawa-Bali
Negara-negara bekas pecahan Uni Soviet termasuk yang paling rendah tingkat vaksinasinya, yaitu pada kisaran di bawah 30 persen. Di Ukraina tingkat vaksinasi hanya 19 persen, dan menjadikannya sebagai salah satu negara dengan tingkat vaksinasi paling rendah di dunia.
Eropa menadi episentrum penularan baru. Munculnya varian virus baru AY.4.2 membuat ancaman gelombang ketiga makin menakutkan. Inggris mengalami lonjakan penularan, tetapi belum menerapkan lockdown.
Jerman menjadi negara dengan kasus penularan tertinggi sampai lebih dari 30 ribu kasus setiap hari. Belanda mencatat kasus 20 ribu setiap hari. Tren ini terlihat makin naik menjelang puncak liburan Natal dan tahun baru.
Tidak ada ada cara lain yang dianggap efektif untuk menghentikan serbuan gelombang ketiga ini kecuali lockdown. Upaya vaksinasi yang gencar dilakukan rupanya mendapat respons yang tidak memuaskan.
Target 70 persen vaksinasi untuk mencapai kekebalan kelompok masih sulit dijangkau.
Pengekangan melalui lockdown selalu berisiko mendapatkan perlawanan dari masyarakat. Gelombang demonstrasi di Eropa diperkirakan akan makin luas menjelang liburan Natal dan tahun baru. Masyarakat yang sudah terkekang selama hampir dua tahun merasa bosan dan tidak lagi percaya terhadap strategi penanganan pandemi oleh pemerintah.
Belum pernah dalam sejarah dunia terjadi pengekangan dan pengawasan masal di seluruh dunia seperti sekarang ini. Eropa pernah mengalami masa suram seperti ini pada masa-masa perang dunia pertama pada 1930-an dan perang dunia kedua pada 1942-1945. Negara-negara Eropa Timur dan wilayah Uni Soviet mengalami pengekangan sampai 1990.
Namun, dalam sejarah belum pernah terjadi pengekangan dan pembatasan total seluas sekarang. Pembatasan dan pengekangan ini masih dibarengi lagi dengan pemaksaan vaksinasi dan penerapan protokol kesehatan. Pelaksanaan vaksinasi memang sukarela, tetapi dalam praktiknya adalah pemaksaan, karena mereka yang tidak divaksin akan ditolak untuk memasuki fasilitas umum seperti kafe dan restoran.
Berbagai pengekangan ini mendapat perlawanan luas. Orang-orang liberal pecinta kebebasan berada di garis terdepan melawan perampasan hak azasi ini. Orang-orang konservatif pun lebih keras menentang, karena pengekangan ini dianggap sebagai konspirasi kapitalisme internasional untuk menangguk untuk dengan mempolitisasi dan mengeksploitasi isu pandemi.
Arus kanan dan kiri yang biasanya berseberangan, kali ini bertemu pada hilir yang sama menghadapi isu pandemi. Kepercayaan publik terhadap pemerintah mengalami erosi karena selama dua tahun terakhir terbukti kebijakannya tidak efektif dalam mengatasi pandemi.
Di Eropa, gerakan politik sayap kanan yang konservatif makin menguat menentang pengekangan yang berkepanjangan. Para aktivis gerakan kiri juga menentang pengekangan. Pertemuan dua arus kuat ini bisa menimbulkan persoalan politik yang serius di Eropa.
Di Indonesia, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah juga mengalami erosi, karena munculnya kasus bisnis PCR yang dianggap telah menggarong puluhan triliun uang rakyat. Pemerintah dianggap terlibat dalam bisnis itu, atau setidaknya tidak tegas dalam menangani kasus itu.
Dugaan keterlibatan Luhut Panjaitan dan Erick Thohir--yang nota bene adalah dua orang kepercayaan Jokowi—membuat kredibilitas pemerintah tergerus di mata rakyat. Desakan dari beberapa kalangan agar pemerintah mengusut kasus itu tidak mendapatkan respons yang memuaskan.
Kalangan menengah--yang menjadi tulang punggung civil society--tidak mendapatkan penyaluran aspirasi yang memuaskan. Sementara itu, penyaluran lewat oposisi resmi menemui jalan buntu. Oposisi formal praktis mati suri. Suara kritis dari parlemen nyaris tak terdengar. Kalau pun ada suara protes atau interupsi akan diabaikan atau mik dimatikan.
Suara arus bawah yang diwakili oleh aktivis buruh masih terdengar meskipun agak lamat-lamat. Beberapa demonstrasi yang dilakukan aktivis buruh tidak secara langsung menyasar ke kebijakan penanganan pandemi, karena gerakan buruh lebih sekarang lebih fokus pada tuntutan kenaikan upah minimum daerah.
Beberapa waktu terakhir gerakan buruh muncul serentak di berbagai daerah. Gerakan ini bisa menjadi luas karena respons pemerintah dianggap tidak terlalu memuaskan. Said Iqbal--salah satu pemimpin buruh yang sekarang menjadi ketua umum Partai Buruh Indonesia—menyatakan akan melakukan demo yang lebih besar supaya aspirasi buruh didengar.
Gerakan mahasiswa juga masih terjadi sporadis dan belum terkoordinasi secara masal. Pembatasan aturan selama pandemi membuat gerakan mahasiswa mudah dipatahkan. Gerakan protes digital yang dilakukan beberapa mahasiswa di beberapa perguruan tinggi terkemuka juga bisa dihentikan dengan relatif mudah.
Semua pintu protes sudah diportal dengan ketat. Arus atas yang diwakili oposisi formal di parlemen sudah diamankan. Arus tengah yang diwakili civil society dan gerakan mahasiswa sudah dijaga dengan ketat. Arus bawah yang diwakili gerakan buruh sesekali masih menemukan momentum untuk bergerak.
Serbuan gelombang ketiga pandemi memunculkan gerakan demonstrasi luas di Eropa. Gerakan ini sangat mungkin akan memengaruhi gerakan yang sama di banyak negara. Sampai sekarang di Indonesia belum ada indikasi munculnya protes seperti di Eropa.
Indonesia sudah bersiap-siap menerapkan PPKM level tiga pada libur Natal dan tahun baru ini. Seluruh Indonesia akan diterapkan pembatasan level yang sama. Sejauh ini tidak ada tanda-tanda munculnya protes atau penolakan. NAmun, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa ada indikasi akan ada penolakan terhadap penerapan PPKM nasional kali ini.
Kalangan buruh sudah merencanakan akan mengadakan demontrasi besar-besaran secara nasional akhir November ini. Kenaikan upah minimum yang hanya 1,09 persen membuat buruh kecewa.
Said Iqbal mengatakan bahwa kali ini enam konfederasi buruh besar di seluruh Indonesia siap bergabung dalam demonstrasi.
Gerakan ini akan fokus pada tuntutan kenaikan upah minimum. Namun, tidak tertutup kemungkinan agenda gerakan akan meluas pada penolakan rencana PPKM nasional.
Gerakan arus bawah buruh ini juga sangat mungkin diikuti oleh gerakan arus tengah sehingga memunculkan gabungan arus yang lebih besar. (*)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror