LPSK: Saatnya Negara Ambil Keputusan

Selasa, 10 Desember 2019 – 22:34 WIB
LPSK. Foto: dok jpnn

jpnn.com, JAKARTA - Seluruh negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional pada 10 Desember. 

Di balik setiap perayaannya, pemerintah Indonesia masih memiliki segudang pekerjaan rumah yang menumpuk untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu.

BACA JUGA: Jaksa Agung: 12 Perkara Pelanggaran HAM Berat Belum Selesai

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu ini tidak mudah.

Serentang perjalanannya, upaya pemerintah menuntaskan kasus-kasus HAM berat di masa lalu menemui hambatan, baik secara teknis maupun politis.

BACA JUGA: Habib Aboe: Penanganan Kasus HAM Belum Maksimal

"Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban berpendapat inilah saatnya negara mengambil keputusan dengan mempertimbangan beberapa jalur atau mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu," kata Edwin, Selasa (10/12).

Ia menilai pernyataan pemerintah melalui Menko Polhukkam Mahfud MD yang akan melakukan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu ini dengan cara non-yudisial tanpa mengabaikan mekanisme yudisial, atau sebaliknya perlu mendapat dukungan.

BACA JUGA: Momen Peringatan Hari HAM, Pemerintah Wajib Memenuhi Hak Warga Negara

Dia menjelaskan langkah pemerintah menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu mungkin bisa dimulai dengan bertanya kepada para korbannya, model penyelesaian seperti apa yang mereka kehendaki.

Setelah mendengar, pemerintah harus segera mengambil keputusan model yang diterapkannya. Apa pun model penyelesaian yang dipilih berpotensi menimbulkan pro dan kontra. Namun, bila sulit sampai pada pilihan mekanisme yang ideal, jalan tengahnya adalah mekanisme yang paling mungkin untuk diterapkan.

“Di sini pemerintah dituntut untuk memiliki keberanian dalam mengambil keputusan," ujarnya.

Ia menyarankan supaya lebih progresif, ada baiknya imajinasi dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu tidak dibatasi mekanisme formil yudisial maupun non-yudisial. Sebab, ujar dia, hal itu akan berkonsekuensi pada proses yang panjang, penuh tantangan serta berpotensi menuai banyak polemik.

"Namun demikian, pemerintah tetap harus menyediakan ruang pada mekanisme penyelesaian yang menggunakan pendekatan hukum baik melalui pengadilan HAM dan atau KKR sebagai jalan pengungkapan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi," paparnya.

Menurut Edwin, upaya sinergi yang bisa dilakukan oleh negara di luar proses formil itu adalah memenuhi hak para korbannya dan mengenang peristiwa kemanusiaan yang pernah terjadi untuk tidak terulang.

Sejatinya, negara tidak sepenuhnya alpa kepada para korban. Setidaknya sejak 2010 hingga saat ini negara melalui LPSK telah memberikan bantuan medis dan psikologis kepada korban pelanggaran HAM berat. "Tidak kurang 3.700 korban dari tujuh peristiwa pelanggaran HAM berat telah mendapatkan bantuan tersebut," katanya.

Edwin mengatakan LPSK mengusulkan setidaknya ada tiga langkah yang bisa ditempuh pemerintah dalam rangka menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Pertama, setiap pelanggaran HAM berat menimbulkan hak atas reparasi (pemulihan) bagi korbannya. Salah satu bentuk reparasi yaitu permintaan maaf. Pemerintah dapat menyampaikan permohonan maaf secara terbuka atas peristiwa pelanggaran berat HAM yang pernah terjadi.

“Permintaan maaf ini setidaknya merupakan bentuk keinsyafan negara pernah memperlakukan warganya secara tidak manusiawi, yang bertentangan dengan kewajiban negara untuk menghormati dan menjamin HAM," ujarnya.

Kedua, pemerintah dapat membuat memorialisasi. Pembuatan memorialisasi ini sebagai bagian dari upaya pemerintah memberikan hak satisfasi kepada korban.

"Langkah ini dapat dijadikan momentum bersama sebagai bangsa untuk mempertahankan ingatan dan peringatan agar peristiwa yang sama tidak terulang," kata dia.

Ketiga, pemerintah dapat memberikan bantuan kepada para korban dengan pendekatan rehabilitasi psikososial.

Dia menjelaskan rehabilitasi psikososial  merupakan salah satu hak bagi korban pelanggaran HAM yang berat selain bantuan medis dan psikologis yang diberikan negara kepada korban melalui LPSK seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan terhadap UU Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Rehabilitasi sosial ditujukan untuk membantu meringankan, melindungi, dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual korban sehingga mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar. Seperti pemenuhan sandang, pangan, papan, bantuan memperoleh pekerjaan, atau bantuan kelangsungan pendidikan.

"Pemenuhan rehabilitasi psikososial hanya mungkin bila terjadi kerja sama antara LPSK dan kementerian/lembaga terkait," ungkap Edwin.

Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution menambahkan, ada baiknya pemerintah juga memfasilitasi affirmative action kepada para korban pelanggaran HAM berat ini untuk mendapatkan kebutuhan mendasar berupa jaminan kesehatan atau BPJS Kesehatan kelas satu.

"Mengingat usia sebagian besar korban yang makin senja. Pemerintah daerah juga bisa membuat kebijakan pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai salah satu keistimewaan hak yang diperoleh para korban pelanggaran HAM berat," paparnya. 

LPSK berpendapat ini saatnya pemerintah melakukan aksi nyata dengan menyediakan mekanisme pengungkapan peristiwa pelanggaran HAM berat dan mengakhiri impunitas (peniadaan hukuman). Selain itu, juga mengenang peristiwa tersebut untuk menjadi memori bersama dan sekaligus memenuhi hak para korban sebagai langkah yang simultan dan tak saling menyandera.

"Sudah saatnya kita memuliakan kedudukan para korban sebagaimana mandat konstitusi untuk menjamin HAM setiap warganya," pungkasnya.(boy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler