LPSK Telaah Permohonan Perlindungan Saksi Penembakan 6 Laskar FPI

Justice Collaborator Kasus Korupsi Menurun

Jumat, 15 Januari 2021 – 10:49 WIB
LPSK. Foto: dok jpnn

jpnn.com, JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyampailan Laporan Kerja Tahun 2020 yang bertajuk "Separuh Napas Perlindungan Saksi dan Korban di Tengah Pandemi: LPSK Menolak Menyerah” yang digelar di ruang Abdul Muis, gedung DPR, Senayan, Jakarta.

Pembahasan difokuskan pada upaya perlindungan LPSK terhadap perkara korupsi, kekerasan seksual perempuan dan anak, penyiksaan dan penganiayaan berat.

BACA JUGA: Jenderal Andika Dukung Upaya LPSK Lindungi Saksi-Korban di Kasus Polsek Ciracas

Menurunnya angka permohonan pada perkara korupsi di tahun 2020 menjadi perhatian penting bagi LPSK.

Penurunan jumlah permohonan yang sebelumnya sebanyak 72 di 2019 menjadi 48 di 2020, menjadi salah satu bahan evaluasi penting bagi LPSK.

BACA JUGA: Tindak Lanjuti Temuan Komnas HAM Soal Penembakan Laskar FPI, Kapolri Langsung Bentuk Timsus

Khususnya, untuk permohonan menjadi saksi, pelapor atau saksi pelaku (justice collaborator). 

Wakil Ketua LPSK Achmadi mengatakan upaya dan langkah proaktif lembaganya menawarkan perlindungan dan koordinasi dengan penegak hukum, untuk merekomendasikan saksi-saksi yang terindikasi mendapatkan ancaman/intimidasi kerap dilakukan selama 2020.

BACA JUGA: LPSK Telah Berkoordinasi dengan FPI, Tetapi Belum Direspons

“Kami terus memantau perkara korupsi yang terjadi, terutama yang menarik perhatian publik seperti perkara Joko Tjandra, benur lobster hingga perkara bantuan sosial selama pandemi yang melibatkan menteri,” ujar Achmadi dalam siaran pers LPSK, Jumat (15/1).

Ia menambahkan jumlah terlindung perkara korupsi juga mengalami penurunan hingga sekitar 50 persen pada 2020. Jumlahnya hanya 53 terlindung. Pada 2019, mencapai 115 terlindung.

Terbanyak, status hukum terlindung adalah sebagai pelapor, kemudian  saksi. 

"Untuk yang berstatus sebagai saksi pelaku masih sangat minim, di tahun ini hanya 5 orang saksi pelaku yang menjadi terlindung, padahal peran justice collaborator sangat vital untuk menguak tabir kasus korupsi yang sering mengalami kendala,” ujar Achmadi.

Untuk itu, Achmadi berpendapat perlunya ada kesamaan pandangan dalam mekanisme penetapan, penghargaan dan perlindungan terhadap justice collaborator dari seluruh aparat penegak hukum.

Karena itu, lanjut dia, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,  bersama LPSK tengah menyusun regulasi berupa peraturan presiden sebagai upaya penyamaan pandangan terhadap justice collaborator.

“Rancangan Perpres tentang justice collaborator sudah diusulkan LPSK dan saat ini telah masuk dalam tahapan pembahasan di tingkat panitia antar-kementerian," pungkas Achmadi.

Untuk perkara kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, LPSK mencatat penurunan permohonan sebanyak 31,75 persen bila dibandingkan dengan angka tahun sebelumnya.

Pada 2020, permohonan hanya sebesar 245, sedangkan tahun sebelumnya mencapai 359.

Wakil Ketua LSPK Livia Iskandar mengatakan terdapat beberapa kendala dalam penerimaan permohonan perkara kekerasan seksual.

Antara lain, faktor psikis korban yang masih mengalami trauma sehingga dibutuhkan treatement khusus dalam penanganan.

Selain itu, banyak pula dijumpai pengunduran diri pemohon karena sudah dlakukan perdamaian dengan pelaku.

Livia menambahkan melihat kekerasan seksual menjadi ancaman yang serius, pada 2020 LPSK secara aktif menyuarakan pentingnya mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) menjadi produk UU.

"Kami sebetulnya cukup menyesalkan keputusan DPR mengeluarkan RUU PKS dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020," tambah Livia.


Namun demikian, Livia mengapresiasi Presiden Jokowi yang menerbitkan Perpres 75 tentang Pelaksanaan Hak Anak Korban dan Anak Saksi di tahun 2020.

Menurutnya, LPSK akan menggunakan Perpres 75 Tahun 2020 sebagai acuan operasional dalam memberikan jaminan hak–hak anak korban dan anak saksi yang tersangkut kasus pidana. 

“Perpres ini juga akan menjadi acuan dan pijakan penting bagi LPSK untuk segera mengembangkan kantor perwakilan daerah agar layanan bagi anak saksi dan anak korban semakin mudah diakses,” pungkas Livia.

Perkara penyiksaan di tahun 2020 juga mengalami penurunan 54 persen dibanding 2019.

Meskipun begitu, secara kualitas terdapat kasus penyiksaan di tahun 2020 yang menyita perhatian publik yang ditangani oleh LPSK, yakni perkara penyiksaan Pendeta Yeremiah di Intan Jaya, Papua.

Kasus ini direspons pemerintah dengan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentukan Menko Polhukam Moh Mahfud MD.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu yang juga anggota TGPF Intan Jaya mengatakan keterlibatan LPSK dalam pencarian fakta kasus Intan Jaya memperlihatkan kesadaran pemerintah akan pentingnya peran saksi-saksi dalam mengungkap kebenaran.

LPSK kemudian menindaklanjuti permohonan para saksi-saksi dalam kasus tersebut.

“LPSK juga mengapresiasi respons positif TNI AD dalam menyikapi fakta temuan TGPF. Penegakan hukum yang dilakukan POM AD merupakan contoh yang baik bahwa kita tidak memberi toleransi kepada kejahatan,” tambah Edwin.

Selain itu, LPSK tengah melakukan penelaahan terhadap permohonan yang diajukan para saksi atas peristiwa tewas 6 orang Laskar FPI yang dikenal sebagai Peristiwa KM 50.

Temuan Komnas HAM dalam perkara ini, dapat menjadi jalan adanya proses hukum. Karena, Komnas HAM meminta kematian 4 dari 6 orang tersebut ditindaklanjuti dengan mekanisme pidana.

"Sebaiknya Polri melakukan penegakan hukum terhadap oknum anggotanya atas peristiwa KM 50 tersebut, sebagaimana KSAD dengan tegas memproses hukum oknum TNI di peristiwa Intan Jaya,” ujar Edwin. 

Secara umum masih terdapat tantangan terkait penanganan kasus penyiksaan perlu dicarikan solusi.

Menurut Edwin, salah satu kendalanya yakni tidak dikenalnya penyiksaan dalam KUHP.

Sehingga, kata dia, penyiksaan cenderung disamakan dengan penganiayaan.

Untuk itu, Edwin merekomendasikan dibuatnya regulasi yang memasukkan penyiksaan sebagai tindak pidana.

Termasuk termasuk mempertimbangkan penyidikan oleh pihak yang dinilai netral agar hak-hak  korbannya lebih memungkinkan dipenuhi. 

Terkait tindak kekerasan di 2020, Edwin menyoroti cukup tingginya permohonan dari korban kejahatan itu seperti penganiayaan, pencurian dengan kekerasan dan KDRT yang totalnya mencapai 208 pemohon.

Hal paling banyak dimohonkan oleh korban kepada LPSK, yakni bantuan medis.
Ini disebabkan tidak dijaminnya pelayanan medis para korban tindak pidana oleh BPJS Kesehata .

Tercatat 40 persen dari korban tindak kekerasan yang mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK akibat tidak diberikannya jaminan kesehatan oleh BPJS. 

"Semestinya BPJS yang menanggung, tetapili dengan adanya Peraturan Presiden 82 Tahun 2018, tanggung jawab memberi jaminan kesehatan kepada korban kejahatan justru dilepas," ujarnya.

Menurut dia, bila jaminan kesehatan kepada korban tindak pidana tidak dijamin BPJS, mestinya pemerintah mengalokasikan anggaran kepada LPSK untuk memberikan bantuan medis kepada para korbannya dengan rasio jumlah korban tindak pidana di Indonesia.

"Karena LPSK bukan Lembaga penjamin kesehatan. Perpres 82/2018 ini membuat negara absen atas kewajiban kepada korban kejahatan," kata Edwin.

Sebagai informasi, tampil sebagai penanggap laporan kinerja LPSK 2020, Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan, Direktur Hukum Bappenas Prahesti Pandanwangi, pakar hukum Pidana Chairul Huda dan Direktur ICJR Erasmus Napitupulu. (*/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler