jpnn.com - JAKARTA - Omongan LSM Rumah Kajian dan Advokasi Kerakyatan (Raya) Indonesia mengenai rokok kretek bukan warisan budaya Indonesia terus menuai protes. Termasuk pernyataan yang menyebutkan bahwa tembakau bukanlah tanaman asli Indonesia.
Kritikan itu datang dari pengajar Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Ghifari Yuristiadhi. Menurutnya, omongan dari peneliti RAYA Indonesia tidak detail menganalisa soal kretek.
BACA JUGA: Bank Mandiri Terbitkan Obligasi Lagi
Ghifari menyebut ada dua hal yang diabaikan. Pertama, LSM yang konon terima kucuran dana dari Bloomberg Initiative itu tidak punya bacaan yang luas sehingga tidak mengetahui bahwa ada tembakau yang varietasnya dari India dan Amerika Selatan, namun juga ada varietas lokal.
“Mereka perlu jalan-jalan juga ke Candi Borobudur untuk melihat relief yang menunjukkan bahwa tradisi konsumsi tembakau sudah ada sejak masa klasik di Nusantara. Jika Borobudur berdiri sekitar abad ke-8, maka tradisi konsumsi tembakau sudah ada sejak zaman itu. Dan, jauh lebih awal dari kedatangan Portugis di abad ke-15,” jelas dia dalam keterangan pers di Jakarta, Minggu (24/04).
BACA JUGA: REI Target Jual 500 Rumah
Kedua, lanjut dia, konsep kepusakaan tidak hanya dilihat dari asal, namun dalam buku Use of Heritage(2006) bahwa kepusakaan dilihat dari materialitas, usia, estetika, dan sifat monumental.
Dia menegaskan, yang dikatakan sebagai warisan budaya bukan tembakaunya, tetapi "tradisi mengolah tembakau menjadi kretek".
BACA JUGA: Jorjoran Demi Maksimalkan Pengembangan Sagu
“Dalam kontek ini, LSM Raya Indonesia sepertinya kurang membaca referensi yang luas dan punya landasan yang kuat dalam berpendapat,” tandasnya.
Karenya, Ghifari menyebut peneliti RAYA Indonesia sempit berpikir dan tidak memahami konsep pewarisan budaya. Dijelaskannya, jika membuka 7 unsur kebudayaan, maka diketahui bahwa sistem teknologi dan sistem pencaharian menjadi bagian di sana.
Hadirnya kretek sejak awal abad 20 sebagai sebuah temuan yang origin dari seorang bumiputera bernama Haji Djamhari di Kudus dengan mencampur tembakau dan cengkeh sehingga menjadi solusi untuk sesak nafas yang dirasakannya.
Temuan tersebut yang kemudian diadaptasi banyak orang, dan menjadi bagian dari sistem pencaharianya yang turun temurun adalah bagian dari kebudayaan yang sebagaimana dimaksudkan oleh Koentjaraningrat.
“Sehingga jelas bahwa olahan tembakau dan cengkeh tak terbantahkan sebagai sebuah warisan budaya setidaknya bagi masyarakat yang hidup berpuluh-puluh bahkan beratus tahun tergantung padanya,” pungkas salah satu penulis buku ‘Kretek Indonesia, dari Nasionalisme Hingga Warisan Budaya’. (jpg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Dianggap Cueki Potensi Sagu
Redaktur : Tim Redaksi