Luar Biasa, Ini Lapas Bukan Sembarang Lapas

Minggu, 08 Januari 2017 – 04:34 WIB
Mengenakan baju koko, peci, dan bersarung, warga binaan LPKA Kelas II A Martapura memperdalam ilmu agama. Foto: Muhammad Amin/Radar Banjarmasin/JPNN.com

jpnn.com - jpnn.com - Pukulan rebana atau terbangan disertai lantunan syair berisi pujian kepada Nabi Muhammad SAW sayup-sayup terdengar dari corong musala Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak (LPKA) Kelas II A Martapura, Kabupaten Banjar, Kalsel.

MUHAMMAD AMIN, Martapura

BACA JUGA: Terpidana Mati Mary Jane Sebut Opo hingga 4 Kali

Harmoni pukulan dari penabuh terbangan yang terdengar sebelum jam besuk, jadi bukti para warga binaan cukup lihai serius berlatih memainkan alat musik itu.

Warga binaan itu juga ada yang berani tampil menyambut tamu penting saat berkunjung ke Lapas. Sarungan dan berpeci putih lengkap dengan baju koko, mereka terlihat percaya diri memperlihatkan keterampilannya.

BACA JUGA: Lapas Luncurkan Program Partnership

Di sana, di dalam Lapas itu, mereka juga mendapatkan pendidikan agama.

“Beginilah mereka sehari-hari sebelum dan semenjak Pesantren At Taubah diresmikan di Lapas Martapura, mereka tetap kami didik berbasis agama,” kata Kepala LPTKA Kelas II A Martapura, Tri Saptono, saat Radar Banjarmasin (Jawa Pos Group) berkunjung ke Lapas yang terletak di Jalan Pintu Air Martapura tersebut.

Kehidupan gaya pesantren terasa melekat pada lingkungan Lapas Martapura.

Penyebutan santri warga binaan cukup memengaruhi gaya bergaul di dalam jeruji besi. Kendati belum full time menjalankan kurikulum karena baru diresmikan, gaya pembinaan yang diadopsi dari Lapas Cianjur dan sebagian besar Lapas di Jabar itu, justru mendapat dukungan santri warga binaan.

“Kegiatan sejak Senin sampai Kamis, ada tiga hari untuk belajar agama dan satu hari untuk kegiatan istighosah. Bila ada yang tidak serius, tentu kami berikan sanksi, biasa, satu yang mengganggu kegiatan dan tidak serius bisa memengaruhi jamaah yang lain,” terangnya.

Guru agama, ujarnya, sengaja didatangkan dari MUI Banjar sebanyak 20 orang, terdiri dari tujuh ustazah dan sisanya ustaz.

Semua warga binaan wajib dapat giliran menjadi santri, pelajarannya pun yang dasar-dasar dari ilmu fikih mulai belajar wudu, bacaan salat, gerakan salat, membaca tulis Alquran, serta ceramah.

”Kami harus memilah-milah juga warga binaan yang punya ilmu agama dan tidak, termasuk warga binaan anak-anak dan sudah dewasa. Semakin lama di Lapas, tentu semakin banyak ilmu yang didapat,” tutur Tri Saptono lagi sembari menerangkan total santri berjumlah 1.195 orang, wajib mengikuti jadwal pondok.

Jadwalnya pun dimulai sejak pukul 08.00 Wita dan baru berakhir sekitar pukul 09.30 Wita. Selesai kegiatan pondok pesantren, mereka baru bisa dibesuk, jadi, waktu besuk diundur dan jauh hari telah diumumkan kepada keluarga warga binaan.

Tingkat kesulitan mendidik santri warga binaan, tambah Saptono, sangat tinggi. Karena itu, sangat penting menciptakan kesan lingkungan seperti pondok sehingga mereka takut berbuat yang aneh di Lapas.

”Kata ulama Martapura, tingkat keberhasilan di bawah 10 persen sudah cukup luar biasa. sewaktu bebas tidak mengulangi lagi tentu kami mengucapkan rasa syukur,” ujarnya.

Sebagai ilustrasi di Cianjur, terang Saptono, selama lima tahun lebih berjalan pendidikan berbasis pondok pesantren, sangat kecil eks warga binaan yang begitu bebas, berbuat jahat dan kembali ke Lapas.

Keterangan itu diperkuat dari polsek setempat, bahwa eks warga binaan yang telah menjalani hukuman di Lapas Cianjur sangat minim terjaring kejahatan.

“Dulu, salah satu napi yang dipindah ke Cianjur dari Lapas lain mendadak kaget dan minta pindah ke Lapas lain. Alasannya tidak mudah mendapat “sesuatu” (narkoba) yang selama ini mudah didapat. Setelah ditolak, dia malah terbiasa dan jadi baik dan saat ini sudah bebas,” kata Saptono.

Sedangkan Amang Zaini salah salah satu santri warga binaan mengaku bahagia sejak kehadiran pembinaan berbasis pesantren.

Dirinya mengaku ingin tobat dan tidak mau mengulanginya kejahatan yang enggan disebutkannya. Zaini yang memiliki keterampilan mengaji dan bisa diandalkan menjadi guru mengaji untuk sesama warga binaan. Bahkan, sering menjadi tempat curhat warga binaan.

“Mereka sering mengeluh tidak bisa mengaji. Sekarang malah bebas mengaji berkat dibuatkan lingkungan seperti gaya pondok. Tidak seperti dulu, sekarang Salat Jumat juga wajib diikuti seluruh warga binaan,” tuturnya.

Warga binaan yang mengaku sudah hafal beberapa juz Alquran itu membenarkan, memang warga binaan khususnya anak-anak patut mendapat perhatian.

Mereka kurang segala-galanya, kurang pendidikan, kurang kasih sayang, dan kurang mendapat lingkungan yang baik. Selama ini anak-anak banyak jadi korban narkoba.

”Alhamdulillah, mereka berniat ingin bisa mengaji dan tobat. Saya juga Pak, hanya ingin tobat, pastinya menyesal,” pungkasnya. (yn/ram)

 


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler