jpnn.com - "Berikan saya 100 peti mati, 99 untuk koruptor dan satu untuk saya, kalau saya melakukan korupsi."
Ungkapan itu begitu terkenal di seluruh dunia, dan menjadi jargon anti-korupsi paling kuat dan paling dihafal di seluruh dunia.
BACA JUGA: Luhut Sebut KPK Tidak Perlu Sering OTT, Mardani: Pernyataan Aneh
Semua tahu, kalimat itu diungkapkan oleh pemimpin China Zu Rongji ketika dilantik pada 1998.
Sejak itu, perang melawan korupsi menjadi salah satu program utama Pemerintah China.
BACA JUGA: Otto Hasibuan: Peradi akan Terus Memperjuangkan Wadah Tunggal
Ibaratnya, hari anti-korupsi diperingati dan diterapkan setiap hari di China, bukan setahun sekali seperti di bagian dunia lainnya, termasuk di Indonesia.
Pemberantasan korupsi di Indonesia maju mundur. Kadang maju, kadang mundur, tetapi lebih sering mundur.
BACA JUGA: Saudara Luhut Sebaiknya Belajar Lagi, OTT Terbukti Efektif Ungkap Modus Korupsi
Komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi diragunkan banyak pihak.
Tonggaknya terjadi ketika pemerintah merevisi Undang-Undang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) pada 2019.
Ketika itu terjadi unjuk rasa besar-besaran di berbagai kota besar di Indonesia, tetapi unjuk rasa itu tidak mengaruh, dan DPR tetap mengesahkannya.
KPK mengalami pelemahan, karena lembaga yang seharusnya independen sekarang berada di bawah presiden.
Selain itu, dibentuk Dewan Pengawas yang dianggap membelenggu langkah KPK.
Seharusnya Dewan Pengawas menjadi lembaga yang mengawasi KPK supaya konsisten dengan semangat pemberantasan korupsi.
Alih-alih, Dewan Pengawas menjadi lembaga yang tidak bergigi dan tidak bertaji.
Salah satu indikator pelemahan KPK yang paling mencolok adalah pemecatan sejumlah penyidik andal yang dikenal dengan sebutan ‘’Raja OTT’’ alias raja operasi tangkap tangan.
Para penyidik di bawah kepemimpinan Novel Baswedan dan Harun Al-Rasyid dikenal berintegritas tinggi dan tangguh dalam mengungkap kasus-kasus korupsi berskala raksasa.
Tim ini disingkirkan melalui mekanisme seleksi yang lebih mirip lelucon.
Betapa komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia maju mundur bisa dilihat dari polemik yang terjadi beberapa hari terakhir.
Polemik ini bermula dari pidato Luhut Binsar Panjaitan dalam acara Peluncuran Aksi Pencegahan Korupsi 2023-2024 yang digelar KPK dan sejumlah kementerian/lembaga lainnya, Selasa (20/12).
Awalnya, Luhut memaparkan upaya pemerintah dalam melakukan digitalisasi di berbagai sektor.
Menurutnya, digitalisasi mampu menekan praktik kecurangan, termasuk korupsi.
Jika upaya ini berhasil, intensitas KPK dalam melalukan OTT akan berkurang.
Hal ini dinilai penting lantaran menurut Luhut OTT tak bagus buat citra negara.
Kata Luhut, Indonesia sudah mendaptkan nama yang bagus dari dunia internasional karena sukses menggelar konferensi G-20.
Akan tetapi, karena banyak OTT nama baik itu bisa menjadi jelek.
Luhut pun meminta KPK tidak terlalu sering melakukan OTT.
Luhut malah menambahkan bahwa korupsi tipis-tipis masih oke.
Kalau mau bersih silakan ke surga.
Sehari kemudian pernyataan Luhut dimentahkan oleh Wakil Presiden K.H Ma’ruf Amin.
Menurutnya, OTT masih dibutuhkan untuk menindak kejahatan korupsi.
OTT diperlukan sepanjang pendidikan dan pencegahan korupsi belum maksimal.
Kalau ini masih belum berhasil, pendidikan dan pencegahan, akibatnya akan ada penindakan.
Akan tetapi, pernyataan Luhut mendapat pembelaan dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Mahfud mengatakan, tak ada yang salah dengan ucapan Luhut. Daripada selalu dikagetkan oleh OTT, lebih baik dibuat digitalisasi dalam pemerintahan agar tidak ada celah korupsi.
Kalau di antara wakil presiden dan dua menteri koordinator saja beda pendapat, bagaimana mungkin pemberantasan korupsi di Indonesia punya arah dan haluan yang jelas.
Presiden Joko Widodo sulit diharapkan bisa menengahi persilangan pendapat di antara anak buahnya seperti ini. Alih-alih, Jokowi lebih suka menghindar dan menghilang.
Korupsi di Indonesia terjadi karena pengaruh budaya yang melekat.
Banyak pejabat yang tidak bisa membedakan kepentingan pribadi dengan kepentingan negara.
Pesta mantu Presiden Jokowi ketika menikahkan anak ragilnya, Kaesang Pangarep, menjadi salah satu contoh betapa kaburnya batas itu dalam budaya Jawa.
Sampai sekarang tidak ada penjelasan resmi dari Jokowi terhadap kritik mengenai penerapan keamanan ketat yang melibatkan lebih dari 10.000 personel dari TNI, Polri, dan ASN.
Selain itu, pencetakan uang mahar dengan seri khusus oleh BI (Bank Indonesia) juga disorot, karena dianggap membahayakan keamanan pencetakan uang negara. Jokowi, seperti biasanya, diam seribu bahasa.
Pernyataan terbaru Luhut Panjaitan menunjukkan lemahnya komitmen terhadap pemberantasan korupsi.
Cara berpikir dan mentalitas Luhut masih sangat kental terpengaruh oleh ciri-ciri rezim Orde Baru, yang menoleransi korupsi yang ‘’terkendali’’.
Di era Orde Baru, korupsi menjadi penyakit sistemik yang ditoleransi dan bahkan diatur distribusinya oleh rezim.
Pendapat Luhut bahwa nama Indonesia bisa jelek di mata internasional karena banyak OTT bertolak belakang dengan realitas empiris di dunia internasional.
Tidak usah jauh-jauh, lihatlah jiran kita Malaysia, Singapura, Hong Kong, maupun China.
Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menjadikan pemberantasan korupsi dan pemerintahan yang bersih sebagai target utama.
Anwar mencontohkan ‘’leading by example’’, memimpin dengan memberi contoh.
Dia menolak menerima gaji dan tidak memakai mobil dinas yang mewah.
Dengan memberi contoh semacam ini, seluruh jajaran pemerintahan bisa menunjukkan komitmen yang kuat yang dimulai dari diri sendiri.
Singapura sudah khatam dengan urusan pemberantasan korupsi.
Thanks to mendiang Lee Kuan Yew yang memberi contoh dengan keras dan tegas dalam komitmen pemberantasan korupsi.
Singapura selalu berada pada tiga besar negara dengan indeks korupsi paling rendah di seluruh dunia.
Karena pemerintahnya efisien dan bersih dari korupsi, Singapura menjadi negara yang paling menarik bagi investasi asing.
Singapura adalah negara kecil dengan penduduk empat juta dan tidak mempunyai sumber daya alam sama sekali, tetapi sekarang menjadi salah satu negara paling makmur di dunia.
Kemakmuran dan kesejahteraan Singapura konsisten bertahan sejak era 90-an sampai sekarang. Rakyat Singapura bahkan lebih makmur ketimbang Inggris yang pernah menjajahnya.
Komitmen Lee Kuan Yew terhadap pemberantasan korupsi sangat kuat dan tidak tergoyahkan.
Sahabat dekat yang menjadi rekan perjuangannya pun dipecat dan dimasukkan ke penjara karena terbukti melakukan korupsi.
Pejabat tinggi yang melakukan abuse of power, penyewengan kekuasaan, langsung dipecat oleh Lee.
Apakah nama Singapura jelek di mata internasional, karena sikapnya yang keras terhadap korupsi? Tidak.
Justru Singapura menjadi daya tarik investasi asing dari berbagai penjuru dunia.
Lee Kuan Yew dikagumi sebagai pemimpin yang sukses menjadikan Singapura negara yang bersih dari korupsi.
Lee diundang ke berbagai negara untuk memberi nasihat bagaimana negara bisa menarik bagi investor asing. Jurus Lee hanya satu, birokrasi harus efisien dan bebas korupsi.
China menjadi contoh bagaimana negara besar dengan penduduk 1,4 miliar ternyata bisa bersih dari korupsi.
Budaya korupsi sudah mengakar sejak era dinasti, yang diperkirakan mulai dari Dinasti Zhou (1027-771 SM).
Setelah revolusi komunis 1949--yang berhasil menumbangkan sistem kekaisaran--korupsi di China masih tetap marak, malah menjadi-jadi dan bahkan telah mewabah.
Pada masa pemerintahan Deng Xiaoping, muncul slogan ‘’getting rich is glorious’’ atau menjadi kaya adalah mulia, yang mendorong masyarakat untuk mengejar kemakmuran hidup. Akan tetapi, slogan ini membawa efek negatif dengan maraknya korupsi di pemerintahan.
Operasi pembersihan korupsi di China memperoleh momentum pada 1998.
Zhu Rongji dilantik sebagai pemimpin China dan langsung menjadikan pemberantasan korupsi sebagai program utama.
Ungkapannya mengenai 100 peti mati untuk koruptor bukan sekadar slogan kosong.
Banyak pejabat tinggi yang dihukum mati karena terlibat korupsi.
Zhu tidak pernah pandang bulu. Dia juga mengirim “peti mati” kepada koleganya sendiri, yaitu Hu Chang-ging yang terbukti menerima suap berupa mobil beserta permata bernilai sekitar Rp 5 miliar.
Eksekusi mati terhadap Hu Chang-ging dilakukan 24 jam setelah permohonan kasasinya ditolak oleh Mahkamah Agung.
Pada akhir 2000, China membongkar jaringan penyelundupan dan korupsi yang melibatkan 100 pejabat Tiongkok di Provinsi Fujian.
Sebanyak 84 orang di antaranya terbukti bersalah dan 11 orang diberikan “peti mati”.
Berkat jasa Zhu Rongji, China sekarang menjadi salah satu negara yang bersih dari korupsi.
Nama China bukannya jelek di mata internasional, tetapi malah makin harum.
Luhut Binsar Panjaitan yang sudah bolak-balik berkunjung ke China pasti tahu soal itu. Cuma kali ini, mungkin, dia lupa. (**)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror