JADI ingat kalimat dari mulut pengusaha terkenal Bob Sudino yang sudah almarhum itu. "Orang goblok sulit dapat kerja, akhirnya buka usaha sendiri. Saat bisnisnya berkembang, orang goblok mempekerjakan orang pintar.” Di Surabaya, Lasiman yang lulusan SD menjadi contoh pas untuk kalimat itu.
----------
Laporan Priska Birahy, Surabaya
-----------
MENCIUM peluang, lalu membuka peluang bisnis. Itulah kunci sukses Lasiman, pengusaha besar antena di Surabaya. Meski banyak yang sudah berlangganan TV kabel, dia melihat masih banyak warga yang membutuhkan antena. Sebab, TV kabel kadang tidak menayangkan beberapa stasiun televisi nasional.
BACA JUGA: Priscilla Sitienei, Nenek Usia 90 Tahun jadi Murid SD
’’Banyak TV warga Surabaya yang punya dua saluran. Satu TV kabel, satu TV antena,’’ terang pria bernama lengkap Lasiman Muhammad Nursal itu.
Ide bisnis antena tersebut tercetus dari pengalamannya. Gambar di layar televisinya sering buram. Hal itu juga menjadi problem para tetangga Lasiman. Akibatnya, mereka harus repot naik ke atap untuk menggeser-geser antena demi gambar yang jernih.
BACA JUGA: Andrea Paresthu, Arsitek dan Pengusaha Kopi yang Juga Koki
Rasanya makin menjengkelkan kalau yang ditayangkan itu acara sangat menarik seperti Piala Dunia yang ditayangkan salah satu stasiun TV swasta nasional. Keseruan menonton aksi para pemain bisa terganggu jika mendadak gambar buram.
’’Kalau bisa membuat antena yang bisa menayangkan semua stasiun TV nasional dengan jernih, pasti laku,’’ pikir pria yang hanya lulusan SD itu.
BACA JUGA: Suasana Haru Saat Jenderal Sutarman Melepas Jabatannya
Berbekal pengetahuan di bidang elektronika, dia mengutak-atik dan melakukan percobaan membuat antena. Cerita selanjutnya adalah cerita sukses. Hanya, perjuangan hidup Lasiman sebelum meraih sukses seperti sekarang terbilang panjang.
Pada 1994, lelaki asal Gedangan, Kabupaten Malang, itu merantau ke Surabaya. ’’Apa saja saya kerjakan. Bekal saya hanya surat keterangan sebagai pencari kerja dari kelurahan,’’ ucapnya.
Usaha agak serius pertamanya adalah berjualan kacamata 3D. Kebetulan saat itu dua stasiun TV swasta nasional, RCTI dan SCTV, menayangkan siaran yang khusus ditonton dengan kacamata 3D. Kacamata 3D tersebut dibelinya dari Bandung dan dijual dengan harga Rp 3 ribu per buah.
Untuk penjualan pertama, dia langsung mengambil 1.000 buah. Usahanya laris. Tak dinyana, kacamata itu langsung ludes. Keesokannya dia mengambil lagi 2.000 biji yang habis dalam waktu seminggu. Lasiman untung besar dari bisnis tersebut. ’’Sekitar Rp 15 juta,’’ ucapnya.
Sadar bahwa usaha kacamata 3D tidak akan langgeng, dia beralih ke home industry elemen teko (ceret listrik) aluminium. Selama setahun dia menggeluti usaha tersebut. Namun, untungnya tidak seperti yang diharapkan. ’’Tidak sampai rugi, tapi hanya cukup untuk hidup sehari-hari,’’ terangnya.
Makin hari keuntungannya menipis. Hingga pada 1997, dia belajar membuat antena TV. Yang pertama dipahami adalah besar kekuatan pemancar (Db) antena. Merasa sudah paham dasar-dasarnya, Lasiman membuka usaha produksi antena. ”Setelah itu, saya mulai bikin antena sendiri. Saya sendiri yang menjual ke beberapa pasar besar di Surabaya,” ungkapnya.
Bisnis antena itu ternyata menjadi cikal bakal produk Ante Radar, nama perusahaan miliknya. Pada malam, saat orang-orang bersantai dan beristirahat, tangan Lasiman tetap sibuk merangkai komponen.
Paginya dia tidak beristirahat, tetapi langsung berjualan di stan yang dibelinya di Pasar Turi. ’’Maklum, modal terbatas. Jadi, saya harus ngalahi lebih sibuk dibanding pengusaha lainnya,’’ ucap ayah enam anak itu, lalu tertawa.
Lambat laun, stan usahanya di Pasar Turi berkembang. Stan di JMP dan Pasar Besar miliknya kebanjiran order. Lasiman pun tidak lagi sanggup mengerjakan sendiri. Lalu, dia mulai merekrut pegawai. ”Dari situ saya ajak tetangga buat ikut bikin. Ada juga karyawan dari luar kota,” sambung pria yang beralamat di kawasan Sukomanunggal itu.
Untuk pembuatan rangkaian, dia memberdayakan ibu-ibu yang nganggur menanti suaminya di rumah. Para ibu biasanya membikin rangkaian ferit yang bakal dijadikan induktor. Batang lunak berbahan karbon itu dililitkan pada kotak plastik. ”Biasanya, kerja borongan. Satu pekerja bisa bikin sekitar 2.000 dalam dua hari,” imbuh kakek dua cucu itu.
Lasiman tidak hanya fokus membuat antena. Awalnya, sebagian elemen antena dia beli, lalu dirangkai. Namun, seiring berkembangnya usaha, Lasiman memproduksi sendiri elemen itu. Misalnya, boks plastik dan ferit. Boks plastik dikerjakan karyawan pria di sebuah tempat yang disebutnya pabrik kecil.
Lasiman menjelaskan, boks plastik itu dibuat dari sampah gelas plastik yang diolah menjadi bijih plastik. Setelah itu, bijih plastik tersebut dicampur pewarna dan bahan tertentu untuk dicetak menjadi boks. ”Saya buat sendiri karena kalau beli, harganya tak seimbang dengan harga jual,” jelasnya.
Setelah semua rampung, antena siap diedarkan. Harga satu antena dibanderol Rp 15.000. Hasil usahanya itu kini dipasarkan hingga ke luar pulau.
”Di Surabaya sudah ada supplier yang ambil,” tuturnya yang saat diwawancarai tengah menyiapkan 230 koli antena untuk dikirim ke Palembang, Balikpapan, dan Jakarta.
Sejak tiga bulan terakhir, Lasiman juga membuat ferit. Itu adalah komponen elektronik yang biasanya digunakan pada pesawat penerima gelombang. Sebelumnya, dia mengimpornya dari Tiongkok. Tapi, tiga bulan terakhir, dia mampu memproduksinya. ”Di Indonesia belum ada yang produksi. Ya, mungkin baru saya yang punya ide bikin ferit,” katanya.
Keuntungan berlimpah berkat produksi ferit itu. Banyak yang antre memesan puluhan ribu ferit darinya. Dari hasil kerja kerasnya tersebut, kini Lasiman memiliki setidaknya 13 rumah. Pemberdayaan perekonomian warga pun membaik.
Bahkan, dia diajak untuk memberdayakan warga di Jalan Jarak oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. ’’Saya pasti mau. Sebab, tempat di mana saya mendapat rezeki, warga sekitar juga harus merasakan manfaatnya,’’ katanya. (*/c6/ayi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sosok Sutarman di Mata Plt Kapolri Badrodin Haiti
Redaktur : Tim Redaksi