Lumpuh sejak Umur 4 Tahun, Risnawati Sukses Berjuang Wujudkan Mimpinya (2-Habis)

Rela Nongkrongin Seharian di Kantor Menkeu

Rabu, 11 Mei 2011 – 16:46 WIB

Risnawati Utami prihatinSebab, menurut data WHO, jumlah anak yang menderita cacat alias difabel (different ability) di Indonesia 6,4 juta orang

BACA JUGA: Lumpuh sejak Umur 4 Tahun, Risnawati Sukses Berjuang Wujudkan Mimpinya (1)

Tapi, yang banyak membantu kursi roda gratis malah negara asing
Ini pun, kata Risnawati, masih dipersulit oleh rumitnya birokrasi

BACA JUGA: Kisah Satu Keluarga Polisi yang Tewas dalam Kecelakaan Pesawat Merpati



     AINUR ROHMAH, Jogjakarta

KEPADA Jogja Raya (JPNN Group), Risna (panggilan akrab Risnawati) menunjukkan bunyi pasal 20 konvensi hak-hak difabel atau Convention on the Rights of Persons with Disabilities
Bunyi pasal itu: ”Setiap anak-anak difabel mempunyai hak dan kebebasan untuk bermobilitas secara mandiri

BACA JUGA: Merlion, Ikan Berkepala Singa yang Sedang Jadi Hotel Mewah Satu Kamar

Pemerintah berkewajiban menciptakan lingkungan yang mendukung, serta menyediakan alat-alat bantu yang memung-kinkan difabel untuk dapat melakukannya.”

Kata Risna, pemerintah RI ikut meneken konvensi itu pada 2007”Tapi, sampai saat ini belum diratifikasi,” kata perempuan 38 tahun itu di kantornya di eks gedung registrasi UGM, Jl Kaliurang Km 4,5 Sumilir, Jogjakarta, Senin lalu (9/5)

Padahal, lanjut dia, menurut data WHO pada 2010, terdapat 6,4 juta anak difabel di IndonesiaNamun, hanya 50 ribu yang bisa bersekolahSembari menunggu ratifikasi yang entah kapan terealisasi, Risna lantas mendirikan UCP Wheels for Humanity (UCPWFH) di Indonesia pada 2009Singkatnya, UCPWFH Indonesia adalah bagian dari struktur organisasi UCPWFH, organisasi nonprofit di Amerika Serikat yang menangani distribusi, penyediaan, dan pelayanan kursi roda individu secara khusus di seluruh dunia

Sejak berdiri pada 1996, lembaga itu sudah mendistribusikan lebih dari 50.000 kursi roda di 69 negaraMeski memiliki misi sosial, Risna sempat kesulitan mendirikan UCPWFH Indonesia Rintangan bukan datang dari organisasi internasional yang akan menjadi donaturnya, tapi lebih kepada budaya dan birokrasi di Indonesia”Aneh, ya, negeri kitaYang memberikan kursi roda untuk anak Indonesia malah orang asing,” kata Risna

Dia lantas menceritakan ihwal berdirinya lembaga yang dipimpinnya ituPada 2008, Risna yang baru lulus S-2 dari Brandeis University di Waltham, AS, pulang ke Indonesia dan melakukan penelitian di daerah asalnya, Gunung Kidul, Jogja

Dari 50 kasus difabel yang dia teliti, hampir setengahnya disebabkan kesehatan reproduksi si ibu yang buruk”Bahkan, ada keluarga yang tiga anaknya lumpuh semua,” katanyaKenyataan lain yang menyedihkan adalah budaya masyarakat yang menganggap difabel sebagai aibOrang tua kadang masih ”menyembunyikan” anaknya yang difabel
Terkadang masyarakat juga masih memandang sebelah mata bahwa difabel tidak bisa apa-apa”Apa dosa difabel?” keluh RisnaApalagi, kebijakan pemerintah yang belum berpihak kepada difabel”Sampai saat ini konvensi hak difabel belum diratifikasi pemerintah,” tambah aktivis yang memiliki jaringan advokasi hak-hak difabel di seluruh negara berkembang itu

Dari penelitian itulah, disusun proposal yang selanjutnya diajukan kepada UCPWFH di AS agar membuka cabang di IndonesiaBersama David Richard, presiden UCP Internasional, Risna memformulasikan program UCP Indonesia dan mencari gedung untuk berkantorPilihan jatuh ke eks gedung registrasi UGM, Jalan Kaliurang Km 4,5, Sumilir, JogjakartaUCP lebih memprioritaskan bantuan kepada anak-anak yang tidak mampu.

Dipilih anak-anak karena merekalah yang paling memerlukan”Masa depan mereka masih panjang,” tegas RisnaDengan memakai kursi roda, anak-anak itu lebih leluasa bergerak”Bisa bermain, sekolah, dan tumbuh layaknya anak normal,” tambah wanita berjilbab itu

Adapun umur anak yang bisa dibantu antara 3–18 tahunMeski sudah berdiri, rintangan lain munculKetika kali pertama mendatangkan kursi roda dari Amerika, kontainer UCP Indonesia sempat ditahan di pelabuhan”Agar bisa bebas, saya harus nembusi (meneruskan) ke empat kementerian,” ujar Risna

Empat kementerian itu adalah kementerian perdagangan, keuangan, sosial, dan kesehatanBerbekal keberanian, Risna datang sendirian ke JakartaMenggunakan kruk, setiap hari dia mendatangi kementerian yang bersangkutanYang paling sulit, Risna harus mendapat tanda tangan Sri Mulyani, menteri keuangan saat itu”Saya menunggu Bu Sri Mulyani seharian,” kenang Risna

Sayang, dia tidak pernah bertemu wanita ”penting” ituSetelah hampir putus asa, jalan datang dari ”orang kepercayaan” Sri Mulyani yang memintakan tanda tangan si ibu menteri”Akhirnya dapat surat sakti dari Bu Sri Mulyani,” ucap lulusan UNS (Universitas Negeri Sebelas Maret) itu.

Risna tidak habis pikir, mengapa harus izin sana-sini untuk mengambil barang yang jelas-jelas charity (sumbangan)Menurut dia, kegiatan sosial seharusnya didukung, bukan dipersulitToh, kursi roda itu bukan barang daganganKini UCP yang berbasis di Jogja itu masih menjadi satu-satunya penyalur kursi roda untuk anak difabel di Indonesia

Semua kursi roda itu bantuan dari UCP Internasional bekerja sama dengan USAID yang juga lembaga donor AS untuk IndonesiaSejak didirikan, UCP Indonesia sudah menyalurkan 1.500 kursi roda ke seluruh NusantaraMereka yang dibantu kebanyakan penderita cerebral palsy (sakit panas tinggi yang menyerang saraf), anak kurang gizi, dan incest (anak hasil perkawinan sedarah)Ada pula penerima yang masih produktif, namun cacat karena gempa bumiKarena akan digunakan anak-anak ”istimewa”, kursi roda itu pun didesain istimewaDesainnya tidak seperti yang sering terlihat di rumah sakit.

Kursi roda itu berdasar kebutuhan si difabelMisalnya, ketika anak difabel memiliki kaki bengkok, kursi roda akan didesain sedemikian rupa agar kaki anak itu normal kembaliSelain itu, agar nyaman, kursi roda didesain sesuai dengan tinggi si anak

Karena itu, sebelum kursi roda dibuat, orang tua atau yang mewakilkan harus mendaftarkannya dahuluCaranya dengan mengajuan surat permohonan, biodata si anak, foto seluruh badan, dan kartu keluargaSetelah itu dilakukan pengukuran”Syarat mendapatkan kursi cuma satu, orang tua harus mengisi membership fee,” tutur RisnaMembership fee adalah dana yang dibayarkan orang tua setiap anaknya berganti kursi roda baruBiasanya 3-4 tahun sekaliBesarnya bergantung pada penghasilan orang tua

Jika mereka berpenghasilan Rp 500 ribu per bulan, membership fee yang harus dibayarkan Rp 15 ribuKalau gajinya lebih besar dari itu, membership fee pun akan naik”Itu kami berlakukan agar mereka tidak terbiasa mendapat segala sesuatu dengan gratis,” terang RisnaSelain itu, orang tua secara berkala wajib melaporkan keadaan anaknya kepada UCP.

Hal itu untuk memonitor kesehatan si anak sendiriSaat ini, selain pemberian pelayanan, UCP Indonesia pun gencar melakukan advokasi kepada pemerintah agar secepatnya meratifikasi konvensi hak difabelGerakan yang dimulai pada 11 Januari 2011 itu bernama Konsorsium Hak Difabel

Dimotori Risna, konsorsium itu akan memformulasikan rekomendasi kepada pemerintah dalam upaya pemenuhan hak difabelBahkan, Risna mengaku ingin bertemu kepala negara, Susilo Bambang Yudhoyono, untuk membicarakan nasib difabel(*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menyaksikan Keprihatinan di Pulau Kramian di Ujung Paling Utara Jatim


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler