jpnn.com, JAKARTA - Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merespon Mahkamah Agung yang memutuskan mengurangi hukuman penjara mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengaku sangat kecewa atas putusan kasasi MA tersebut.
BACA JUGA: Berita Terkini Harun Masiku dari Pimpinan KPK, Oalah
Mantan hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi itu menilai putusan MA tersebut tidak mencerminkan keagungan sebuah mahkamah.
“Memang beberapa putusan MA terkait perkara-perkara yang ditangani KPK ini, dari sisi kami memang sangat mengecewakan tentu saja terhadap pertimbangan-pertimbangan yang dibuat majelis hakim MA yang rasa-rasanya, kok, tidak mencerminkan keagungan sebuah mahkamah," kata Alexander Marwata di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (11/3).
BACA JUGA: Dugaan Bagi-Bagi Lahan di IKN Nusantara, Guspardi: KPK Jangan Hanya Melontarkan Isu
Seperti diketahui, MA mengurangi hukuman penjara Edhy Prabowo menjadi lima tahun dari sebelumnya sembilan tahun.
Terdapat sejumlah hal yang menjadi pertimbangan majelis kasasi sehingga mengurangi vonis Edhy Prabowo tersebut.
BACA JUGA: Kampanye Pakai Anggaran KPK, Firli Bahuri Kembali Dilaporkan ke Dewas
Pertimbangan itu antara lain Edhy Prabowo sudah bekerja dengan baik, dan telah memberi harapan yang besar kepada masyarakat, khususnya nelayan.
Menurut hakim, Edhy Prabowo mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/PERMEN-KP/2016 tanggal 23 Desember 2016 dan menggantinya dengan Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 12/PERMEN-KP/2020.
Permen tersebut mensyaratkan pengekspor untuk mendapat benih bening lobster (BBL) dari nelayan kecil penangkap BBL.
"Ini, kan, sebetulnya sebuah kebijakan, ya, kebijakan menteri yang lalu seperti itu, kebijakan menteri yang sekarang seperti itu. MA ini seolah-olah hakimnya men-judge menghukum kebijakan yang lalu itu tidak benar, kan, seperti itu. Makanya, dikoreksi dan dianggap itu sebagai suatu hal yang baik," ujar Alexander.
Meskipun demikian, Alexander tetap menghormati putusan kasasi MA terhadap Edhy Prabowo tersebut.
"Seburuk apa pun putusan hakim itu tetap harus kami akui dan harus melaksanakan, aturannya seperti itu. Tidak ada upaya hukum yang lain, tetapi dengan Undang-Undang Kejaksaan yang baru, saya kira apakah nanti KPK akan melakukan peninjauan kembali (PK) kami lihat, karena di Undang-Undang Kejaksaan yang baru, kan, dimungkinkan," kata Alexander.
Lebih lanjut Alexander Marwata menyatakan KPK akan mempelajari terlebih dahulu, setelah menerima putusan lengkap dari MA.
"Tentu kami akan melihat setelah menerima putusan lengkapnya seperti apa karena di dalam berita kami tidak melihat apakah ganti rugi tersebut juga dikoreksi. Kalau di putusan pertama, kan, ada kewajiban untuk membayar uang pengganti. Apakah itu juga dihapus, kami belum tahu," tuturnya.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) KPK menuntut Edhy Prabowo divonis lima tahun penjara ditambah denda Rp 400 juta subsider enam bulan kurungan, kewajiban untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 9.687.457.219,00 dan USD 77.000, serta pencabutan untuk dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun sejak selesai menjalani hukuman.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 15 Juli 2021 menjatuhkan vonis yang sama dengan tuntutan, yaitu lima tahun penjara ditambah denda Rp 400 juta subsider enam bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti dan pencabutan hak dipilih selama dua tahun.
Namun, pada 21 Oktober 2021, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonis Edhy Prabowo menjadi sembilan tahun penjara, ditambah denda Rp 400 juta subsider enam bulan kurungan, membayar uang pengganti sejumlah Rp 9.687.457.219,00 dan USD 77.000, serta pencabutan untuk dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun.
Atas putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut, Edhy Prabowo mengajukan kasasi pada 18 Januari 2022.
Dalam perkara ini, Edhy Prabowo terbukti menerima suap senilai USD 77.000 dan Rp 24.625.587.250,00 dari pengusaha terkait ekspor BBL. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy