jpnn.com - SURABAYA - Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surya Sembada berencana menaikkan tariff. Saat ini perusahaan tersebut sedang menggodok kenaikan tarif baru.
Harap maklum, karena selama sepuluh tahun terakhir tarif tersebut tidak pernah mengalami revisi. Padahal, di sisi lain, beban operasional yang ditanggung perusahaan terus mengalami kenaikan.
PDAM kali terakhir menaikkan tarif pada 2006. Besaran tarif yang ditagih kepada pelanggan berbeda-beda sesuai dengan kelompoknya. Mulai yang termurah Rp 350 per meter kubik hingga yang termahal Rp 10 ribu per meter kubik.
Sejak sebulan lalu, dibentuk tim khusus untuk mengkaji kenaikan tarif. Tim tersebut akan menentukan besaran tarif yang pas yang bisa diterapkan. Meski demikian, warga dengan penghasilan rendah (MBR) tidak perlu khawatir.
BACA JUGA: Panas! Kang Aher Minta Dewan tak Asal Ngomong
''Subsidi tetap ada, cuman kami arahkan agar lebih tepat sasaran,'' kata Sayyid M. Iqbal, sekretaris PDAM Kota Surabaya.
Iqbal tidak memungkiri PDAM mengalami tren penurunan pendapatan setiap tahun, meski masih terhitung untung. Lihat saja setoran dividen Rp 110 miliar pada 2014 yang menurun menjadi Rp 108 miliar pada 2015.
Laba juga mengalami penurunan. Semula Rp 211 miliar pada 2014 menjadi Rp 207 miliar pada 2015. Kondisi itu tidak berbanding lurus dengan jumlah pelanggan yang semakin meningkat tiap tahun.
Meski pelanggan PDAM semakin bertambah, jelas Iqbal, perusahaan tidak mendapat keuntungan. Sebab, dari 15 ribu hingga 20 ribu pelanggan baru setiap tahun, 95 persen adalah pelanggan rumah tangga.
BACA JUGA: Kembangkan Pupuk Organik, BUMN ini Gandeng Pemkot Balikpapan
Sebanyak 90 persen di antaranya pelanggan kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Artinya, semakin besar pula jumlah subsidi yang harus dikeluarkan PDAM.
''Sangat sedikit sekali pertambahan pelanggan yang kategori komersial,'' kata Iqbal.
Selain alasan bertambahnya beban subsidi, PDAM ternyata menghadapi problem lain. Yaitu, masalah operasional. Ada dua yang dikeluhkan Iqbal. Yakni, masalah listrik dan suplai bahan kimia pengolah air.
PDAM harus membayar Rp 10 miliar tiap tahun ke PLN hanya untuk operasional listrik. Hal itu, menurut Iqbal, tidak fair. Sebab, PDAM maupun PLN adalah perusahaan milik negara. Orientasinya pun pada kesejahteraan masyarakat, bukan profit. Bahkan, menurut Iqbal,
BACA JUGA: Kakek Sering Ajak Cucu ke Semak-semak, Ya Ampuuunnnn....
''Kami diperlakukan seperti perusahaan swasta, padahal ke BUMN lain tidak begitu,'' keluhnya.
Yang kedua adalah urusan baku mutu air. Selama ini PDAM juga terkena beban menyetor retribusi ke Jasa Tirta. Mereka menghabiskan Rp 3,2 miliar setiap bulan untuk mengambil air dari Kali Surabaya.
Padahal, menurut penilaian PDAM, baku mutu air di Kali Surabaya adalah kategori C. Standar dari pemerintah, baku mutu air minum harus kategori A. Pemprov sendiri menilai baku mutu air untuk Kali Surabaya masih pada taraf B. Dengan demkian, PDAM masih harus melakukan proses pengolahan air dengan bahan kimia khusus.
''Kalau retribusi kami nurut saja, tapi tolong ikut menjaga kualitas air. B saja itu sangat membantu kita,'' pungkas Iqbal.(tau/c17/git/flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ibu Curiga Lihat CD Anaknya Basah, Ternyata Pelakunya Sang Paman
Redaktur : Tim Redaksi