jpnn.com - Rencana Menteri Pendidikan Nadiem Makarim merevisi undang-undang sistem pendidikan nasional memantik reaksi publik yang keras, karena madrasah tidak dicantumkan secara eksplisit sebagai bagian dari satuan sistem pendidikan nasional.
Dalam draf undang-undang itu tidak ada satu kata pun yang merujuk pada madrasah sebagai bagian dari satuan pendidikan. Hal ini dianggap sebagai sebuah kesengajaan untuk menghilangkan atau mengaburkan peran madrasah dalam sistem pendidikan nasional.
BACA JUGA: HNW: Penghapusan Madrasah dalam RUU Sisdiknas Tidak Sesuai Konstitusi
Menteri Nadiem sudah menjelaskan bahwa tidak ada upaya penghilangan peran madrasah dalam draf belied itu. Sistem madrasah dicantumkan dalam penjelasan undang-undang.
Penjelasan Nadiem ini dianggap tidak cukup. Tuntutan muncul sangat besar untuk mengubah draf itu dan mencantumkan secara eksplisit madrasah pada tubuh undang-undang.
BACA JUGA: Polemik RUU Sisdiknas, Prof Zainuddin Mengingatkan Nadiem Makarim, Tegas
Soal pendidikan Islam menjadi masalah yang sensitif. Cara pandang Nadiem terhadap pendidikan nasional sangat liberalistis dan sekularistis dengan meminimalisir pelajaran agama di sekolah dan menyerahkannya kepada pendidikan keluarga dan masyarakat.
Kalangan Islam menolak keras liberalisasi dan sekularisasi pendidikan nasional ini, dan menuntut agar peran pendidikan Islam diakui secara resmi sebagai bagian dari pendidikan nasional.
BACA JUGA: Sekolah & Madrasah Dihapus dari RUU Sisdiknas? Ini Penjelasan Pejabat Kemendikbudristek
Perdebatan ini berakar jauh pada cara pandang para pendiri bangsa terhadap pondasi sistem tata negara Indonesia menjelang merdeka.
Tarik menarik antara kalangan religius Islam dan nasionalis terjadi sangat kuat sampai terjadi deadlock. Kalangan religius bersikukuh agar Islam dijadikan sebagai dasar negara, dan kalangan nasionalis bertahan dengan gagasan Pancasila sebagai dasar negara.
Pancasilan akhirnya ditetapkan sebagai dasar negara dengan banyak catatan. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ditaruh pada tempat teratas dengan menghilangkan tujuh kata ‘’Piagam Jakarta’’.
Sila ketuhanan ditaruh di posisi tertinggi untuk memberi ruh religius pada dasar negara. Empat sila lain Pancasila secara filosofis mempunyai warna sekular karena berdasarkan pada humanisme dan nasionalisme.
Konsensus nasional ini rapuh dan dari masa ke masa goyah oleh berbagai kontroversi. Kompromi yang dicapai adalah kesepakatan yang tanggung dan menggantung.
Kedua kubu seperti saling intip dan saling intai mencari-cari kesempatan untuk memperkuat dominasi.
Sistem pendidikan nasional menjadi ajang pertarungan ideologis antara dua kubu dalam format yang berbeda. Pengaburan sistem pendidikan Islam dalam rancangan undang-undang pendidikan ini membuka luka lama.
Rasa terpinggirkan dan terkalahkan di kalangan umat Islam muncul lagi dengan adanya RUU ini.
Madrasah dan pendidikan Islam memainkan peran penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. Jauh sebelum Indonesia berwujud, kalangan Islam sudah melakukan upaya pendidikan bangsa melalui pesantren dan madrasah.
Madrasah sebagai nama bagi suatu lembaga atau wadah yang mewadahi proses transformasi ilmu telah mengalami perkembangan pemaknaan dalam rentang sejarah perkembangan umat Islam Indonesia.
Madrasah dimaknai sebagai istilah yang menunjuk pada proses belajar dari yang tidak formal sampai yang formal.
Padanan kata madrasah dalam bahasa Indonesia adalah sekolah. Ditinjau dari etimologi Bahasa Arab, madrasah menunjuk pengertian tempat belajar secara umum, tidak menunjuk suatu tempat tertentu, dan bisa dilaksanakan di mana saja, di rumah, di surau, langgar, masjid, atau di tempat lain sesuai situasi dan kondisi.
Tempat-tempat tersebut dalam sejarah lembaga-lembaga pendidikan Islam memegang peranan sebagai tempat transformasi ilmu bagi umat Islam.
Dalam perkembangannya, madrasah dikonotasikan secara sempit, yakni suatu gedung atau bangunan tertentu yang dilengkapi fasilitas, sarana dan prasarana pendidikan untuk menunjang proses belajar ilmu agama.
Di masa kolonial, pendidikan Islam hanya terbatas pada pesantren dan surau dan masih bersifat tradisional.
Kemudian pada 1909 madrasah pertama di Indonesia muncul yaitu Madrasah Abadiyah di Kota Padang, Sumatera Barat, didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad. Setelah itu madrasah-madrasah lain pun bertumbuhan.
Madrasah Shcoel didirikan pada 1910 di Kota Batusangkar, Sumatera Barat oleh Syekh M. Talib Umar. Kemudian pada 1912 berdiri Muhammadiyah dengan fokus perjuangan pada pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah dengan sistem modern dengan memadukan kurikulum agama dan umum.
Berturut-turut setelah itu pada 1913 ada Madrasah Al Irsyad di Jakarta, didirikan oleh Syeikh Ahmad Sukarti. Kemudian pada 1915 muncul Diniyah Schoel di Kota Padang Panjang, Sumatera Barat, didirikan oleh Zainuddin Labai el Janusi.
Berikutnya pada 1926, salah satu organisasi Islam terbesar Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU) didirikan di Surabaya oleh K.H. Hasyim Asyari, K.H. Wahab Hasbullah dan setelah itu mulai banyak mendirikan madrasah.
Pendidikan Islam melalui madrasah dan pesantren adalah bentuk perlawanan kultural dan ideologis paling konkret yang dilakukan oleh umat Islam terhadap penjajah.
Pendidikan melalui sekolah umum oleh Belanda dianggap sebagai pendidikan kafir dan karena itu harus dilawan dengan pendidikan Islam.
Seiring dengan lahirnya gerakan pembaruan Islam di Timur Tengah, pengaruh reformasi pendidikan mempunyai gaung yang besar di Indonesia. Madrasah Thawalib di Sumatra menjadi pusat pendidikan keilmuan sekaligus pendidikan politik yang memunculkan kesadaran untuk bangkit melawan penjajah.
Lembaga pendidikan Islam tidak hanya menjadi basis gerakan kultural, tetapi juga menjadi basis gerakan politik dan perlawanan. Perang Padri di Sumatera Barat pada 1825 berawal dari benturan antara ulama tradisionalis dengan ulama pembaru.
Belanda kemudian menginfiltrasi konflik ini sehingga kemudian pecah perang besar antara ulama pembaru melawan penjajah.
Pemberontakan Paderi bisa dipadamkan dengan kekerasan, tetapi semangat perlawanan tumbuh makin kukuh. Peran ulama dan madrasah dalam menumbuhkan semangat nasionalisme-religius makin penting. Jargon ‘’hubbul wathan minal iman’’, cinta tanah air adalah bagian dari iman yang dimunculkan oleh K.H Hasyim Asy’ari menjadi salah satu sumber kekuatan dalam perang besar 10 November 1945.
Dengan semangat nasionalisme religius itulah K.H Hasyim Asy’ari menyerukan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Para santri dari berbagai daerah di Jawa Timur kemudian berbondong-bondong bergerak ke Surabaya menjadi milisi yang fanatik melawan pasukan Belanda yang ingin kembali menjajah.
Penjajahan kolonialisme akhirnya bisa disingkirkan. Namun, penjajahan ideologis masih dirasakan oleh kalangan umat Islam sampai sekarang. Hegemoni ideologis muncul dalam bentuk neo-imperialisme dan neo-liberalisme yang makin kuat.
Imperialisme model lama didasari oleh semangat ‘’gold, glory, gospel’’, yaitu kepentingan penguasaan sumber daya ekonomi, kepentingan kekuasaan politik, dan kepentingan misi kristiani.
Misi terakhir ini dianggap sebagai pendompleng dalam kekuatan imperialisme. Karena itulah perang kemerdekaan oleh para pemimpin Islam disebut sebagai ‘’Perang Sabil’’ atau jihad fi sabilillah melawan kekuatan kafir.
Madrasah dan pesantren menjadi bagian tidak terpisahkan dari sejarah panjang perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Upaya untuk meminggirkan atau memarjinalkan peran madrasah dalam sejarah bangsa akan memunculkan perlawanan yang keras dari kalangan Islam.
Nadiem Makarim tidak mempertimbangkan pemahaman sejarah yang komprehensif ketika menyusun rancangan undang-undang pendidikan yang baru. Terlihat ada upaya memisahkan pendidikan agama dari sistem pendidikan nasional, dan hal ini dianggap sebagai sikap yang ahistoris, tidak memahami sejarah.
Rancangan undang-undang ini akan memantik luka lama dan memunculkan semangat lama untuk menentang penjajahan baru dalam bentuk liberalisme dan sekularisme.
Mas Menteri harus banyak belajar sejarah. (*)
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror