Mager

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 10 Agustus 2022 – 21:25 WIB
Ilustrasi jalan kaki. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Biar lambat asal selamat, atau alon-alon waton kelakon. 

Peribahasa itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia tidak menyukai ketergesaan. 

BACA JUGA: Polisi dan TNI Rela 3 Jam Berjalan Kaki Demi Tangkapan Besar, Total 13 Ton!

Kelambatan diutamakan di atas keselamatan, dan kelambatan ditoleransi yang penting urusan selesai.

Anak-anak milenuial punya kosakata sendiri untuk menggambarkan menggambarkan rasa malas. 

BACA JUGA: 6 Jam Berjalan Kaki, Anak Buah Brigjen Roy Temukan 2 Ladang Ganja, Luas Banget

Ada yang menyebut rebahan, mager atau malas gerak, gabut alias gaji buta, dan masih banyak lagi istilah lain yang bisa menggambarkan kemalasan orang Indonesia. 

Soal aktivitas fisik, jangankan berolahraga, jalan kaki saja pun malas rasanya.

BACA JUGA: Merangsek ke Hutan dengan Berjalan Kaki, Polisi dan TNI Lalu Mencambuki

Bahasa mencerminkan budaya dan budaya menjadi cermin bangsa. 

Manusia Indonesia pun dinobatkan sebagai bangsa paling malas di dunia, setidaknya malas berjalan.  

Sebuah studi yang pekan ini dipublikasikan oleh Stanford University, Amerika Serikat, mengungkap bahwa Indonesia merupakan negara paling malas berjalan kaki di seluruh dunia. 

Studi tersebut menyebut bahwa rata-rata orang Indonesia berjalan kaki hanya 3.513 langkah per hari. 

Angka ini menjadi yang paling rendah di seluruh dunia.

Penelitian ini menggunakan data menit per menit dari 700.000 orang di seluruh dunia dengan menggunakan aplikasi di telepon seluler yang bisa memantau aktivitas orang setiap hari. 

Hasilnya, 3 negara tercatat paling malas di dunia, yaitu Indonesia sebagai juara termalas, Arab Saudi sebagai runner up, dan Malaysia di urutan ketiga.

Aktivitas langkah Indonesia sangat jauh di bawah rata-rata. 

Rata-rata global langkah perhari adalah 4.961, Indonesia berada jauh di bawah standar rata-rata.  

Inilah membuat Indonesia dijuluki sebagai negara paling malas.

Arab Saudi sebagai negara terbesar kelima di Asia dan negara kedua terbesar di Dunia Arab menjadi negara paling malas kedua di dunia. 

Kondisi geografis mungkin bisa menjadi penjelasan. 

Arab Saudi berada di sepanjang pesisir yakni Laut Merah dan Teluk Persia. 

Selain itu, sebagian besar wilayah Arab Saudi merupakan gurun pasir.

Dengan teknologi dan infrastruktur yang dimiliki membuat masyarakatnya malas berjalan kaki. 

Penelitian itu menunjukkan bahwa Arab Saudi memiliki jumlah langkah sebanyak 3.807 setiap harinya. 

Malaysia yang bertetangga dengan Indonesia ternyata sama-sama punya penduduk paling malas. 

Dua negara itu juga sama-sama mempunyai penduduk dengan ras yang sama yaitu Melayu. 

Ini, mungkin,  menjadi alasan kultural mengapa dua negara itu sama-sama paling malas.

Malaysia punya luas wilayah 330.803 kilometer persegi dengan penduduk 32.730.000 jiwa yang mayoritas Melayu. 

Penduduk di Negeri Jiran ini tercatat memiliki jumlah langkah 3.962 per hari. 

Meski lebih tinggi dari Indonesia dan Arab Saudi, jumlah ini tetap bisa membawa Malaysia melewati batas langkah kaki global.

Studi ini melibatkan aktivitas penduduk seluruh dunia, dan ternyata yang dinobatkan sebagai bangsa paling trengginas dan peling rajin berjalan di dunia adalah Hong Kong. 

Masyarakat Hong Kong rata-rata berjalan kaki 6.880 langkah atau 6 kilometer per hari. 

Hal itu tercermin dari aktivitas keseharian di Hongkong yang selalu penuh dengan orang yang berjalan berjubelan dengan penuh ketergesaan.

Di bawahnya ada China dengan rata-rata masyarakat berjalan kaki 6.189 langkah per hari. 

Di posisi ketiga, ada Ukraina (6.107), keempat Jepang (6.010), dan posisi kelima Rusia (5.969). 

Amerika agak jauh di bawah dengan 4.774 langkah sehari.

Studi ini juga mengungkap korelasi antara mager dengan kegemukan atau obesitas. 

Studi menemukan kesenjangan di setiap negara antara penduduk yang paling rajin beraktivitas dan paling mager. 

Makin besar kesenjangan di negara tersebut, kian besar pula taraf obesitas di antara penduduk.

Swedia misalnya, kesenjangan aktivitas antara si malas dan si rajin di Swedia sangat rendah. 

Dengan begitu, negara tersebut memiliki tingkat obesitas yang lebih rendah. 

Para peneliti menemukan fakta bahwa kesenjangan aktivitas juga didorong berdasarkan gender. 

Di negara yang penduduknya paling malas berjalan kaki, wanita cenderung lebih mager ketimbang pria. 

Sementara di negara yang rajin berjalan kaki, seperti Jepang, antara wanita dan pria berjalan kaki dengan jumlah yang sama setiap harinya.

Ketika kesenjangan aktivitas lebih besar, perempuan cenderung lebih malas melakukan aktivitas ketimbang pria. 

Karena itu, perempuan lebih banyak mengalami obesitas.

Fenomena malas ini sudah menjadi objek studi para peneliti sejak lama. 

Sosiolog Syed Hussein Alatas dalam buku ’’Mitos Pribumi Malas’’ (1977) mengungkapkan pandangan penguasa kolonial yang menganggap para pribumi malas. 

Pandangan ini oleh ALatas dianggap sebagai mitos ketimbang fakta.

Apa yang dianggap penguasa kolonial sebagai tabiat pemalas dari masyarakat pribumi merupakan bentuk perlawanan pasif terhadap penjajahan kolonialisme. 

Perlawanan ini menjadi semacam counter-culture perlawanan kultural terhadap kultur Eropa yang serbacepat dan tergesa-gesa.

Syed Alatas mengaji budaya masyarakat pribumi di Filipina, Malaysia, dan Indonesia. tetapi, fokus kajian Syed Alatas adalah Indonesia di masa penjajahan Belanda. 

Alatas adalah ilmuwan Malaysia kelahiran Bogor, Indonesia. 

Dia memahami konteks budaya kedua negara dengan sangat baik.

Dia menemukan bahwa dalam dokumen Belanda sejak abad ke-17 hingga ke-18 amat sedikit yang menyinggung kemalasan pribumi. 

Baru setelah diterapkannya sistem Tanam Paksa, mulai muncul tuduhan dari kolonial mengenai malasnya masyarakat pribumi terutama di Jawa.

Sistem tanam paksa memungkinkan Belanda mengatur langsung tenaga kerja di Jawa. 

Mereka dipaksa menanam berbagai jenis tanaman yang bernilai ekspor tinggi dengan target-target yang sangat membebani. 

Kebijakan itu dijalankan dengan tangan besi dan banyak korban berjatuhan akibat kebijakan itu.

Perang Diponegoro, atau yang sering disebut sebagai Perang Jawa, yang berlangsung pada 1825-1830 membuat Belanda nyaris bangkrut karena harus mengelurakan biaya tinggi untuk mengatasi perlawanan Pangeran Diponegoro. 

Setelah perlawanan bisa dipadamkan, Belanda harus memutar otak untuk mengatasi kas yang kosong. 

Perang sedahsyat itu sebelumnya tidak pernah dihadapi Belanda di Jawa. 

Itulah yang memicu Belanda untuk menerapkan Tanam Paksa. 

Korban jiwa mencapai 200 ribu orang Jawa dan 8.000 tentara Belanda. 

Tak kurang dari 20 juta gulden Belanda habis demi memadamkan perjuangan Pangeran Diponegoro.

Untuk menyelamatkan kas negara, Amsterdam menugaskan gubernur jenderal yang bertabiat keras dan tidak kenal belas kasihan. 

Maka dipilihlah Jenderal Van den Bosch sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda. 

Van den Bosch menerapkan politik tanam paksa dengan sangat keras. 

Hubungan penjajah dengan bangsa yang terjajah makin buruk dan gap kaya miskin kian lebar. 

Hubungan sosial antara penjajah dengan terjajah memburuk karena stigma penjajah yang menganggap warga pribumi malas dan tidak bisa bekerja sesuai standar yang diterapkan oleh penjajah.

Tuduhan-tuduhan yang tak mendasar kian gencar tertuju kepada masyarakat Jawa. 

Van den Bosch malah membuat stigma bahwa nalar bangsa Jawa tak ubahnya bocah Belanda usia 12 atau 13 tahun. 

Terjadi perdebatan politik keras di parlemen Belanda. 

Sebagian politisi Belanda membela politik tanam paksa dengan argumen negatif bahwa  masyarakat Jawa lebih suka kerja paksa daripada kerja bebas. 

Orang Jawa lebih bahagia ditindas daripada bebas menentukan pilihannya sendiri.

Belanda menghukum penguasa Jawa yang dianggap malas karena tidak memenuhi target. 

Hal ini dilakukan oleh pemimpin di Jawa sebagain protes terhadap sistem tanam paksa yang tidak mereka setujui. 

Penjajah Belanda dengan serta merta menyebut pemimpin Jawa sebagai pemalas, padahal sebenarnya mereka hanya enggan mengikuti sistem tanam paksa.

Akan tetapi, banyak juga politisi dan elite Belanda yang membela penduduk pribumi. 

Dalam masa inilah seorang humanis Belanda, Eduard Douwes Dekker, menulis novel fenomenal, Max Havelaar (1860) yang membuktikan kekejaman Belanda yang tiada tara yang menyebabkan penduduk pribumi menderita dan tidak bisa bekerja secara maksimal.

Syed Hussein berpendapat, karya ini dengan sendirinya membuyarkan mitos pribumi malas. 

Kebijakan Belanda yang tidak berperikemanusiaan menjadi penyebab pribumi tidak bersedia bekerja dengan sungguh-sungguh.

Syed Hussein Alatas bisa mematahkan mitos pribumi malas itu. 

Akan tetapi, penelitian terbaru dari Stanford University ini kembali memunculkan stigma bahwa bangsa Indonesia ternyata memang pemalas, setidaknya jika diukur dari intensitas berjalan kaki. (*)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler