Muhammad Nuh Setelah Tak Jadi Menteri

Dedikasikan Diri Kembangkan Kombinasi Ilmu Kedokteran dan Teknik

Sabtu, 23 Mei 2015 – 18:51 WIB
Muhammad Nuh. Foto: Angger Bondan/Jawa Pos

jpnn.com - Setelah tidak lagi menjabat menteri pendidikan dan kebudayaan, Muhammad Nuh kembali ke kampusnya, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Tidak hanya mengajar, Nuh juga mengembangkan laboratorium biocybernetic yang berguna bagi pengembangan ilmu teknik biomedika.

Dinda Lisna Amilia, Surabaya

BACA JUGA: Kisah Darwati, Pembantu Rumah Tangga Peraih Gelar Sarjana

TUJUH tahun Muhammad Nuh tidak mengajar. Tepatnya, sejak mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono memintanya menjadi menteri komunikasi dan informatika pada 9 Mei 2007. Lalu dia menjadi menteri kebudayaan dan pariwisata. Terakhir, Nuh menjabat menteri pendidikan dan kebudayaan.

Namun, sejatinya Nuh tidak melupakan kampusnya. Sesekali saat ada tugas di Surabaya, Nuh menyempatkan mampir. Apalagi, sejak 2012 dia mengembangkan biocybernetic, sebuah laboratorium yang membantu pengembangan salah satu cabang disiplin ilmu dari teknik elektro, yaitu biomedika.

BACA JUGA: Kisah Ngeri Pengungsi Rohingya, Saling Bunuh di Kapal, yang Takut Berkelahi Nyebur ke Laut

Saat ditemui pada Jumat lalu (8/5), Nuh sedang menilik satu per satu karya mahasiswanya. ’’Laboratorium ini selalu ramai sampai malam, termasuk saat saya sedang sibuk di Jakarta,’’ papar suami drg Laily Rahmawati tersebut.

Laboratorium itu adalah salah satu impian Nuh yang tercapai. Nuh menyadari, dirinya tidak akan selamanya berada di kementerian. Sebagai akademisi, dia harus kembali mengajar dan meneliti.

BACA JUGA: Kisah SMK 1 Juarai Lomba Pidato dan Poster Design di Thailand dan Hongkong

Karena sejak menjabat menteri Nuh merindukan disiplin ilmu aslinya, jadilah pada pertengahan 2012 dia mendirikan laboratorium biocybernetic. Dia dibantu para sahabatnya. Yaitu, Dr Muhammad Arifin M Eng, Hilman Fatoni, dan Muhammad Abdul Hadi. Bila Nuh tidak ada di Surabaya, merekalah yang mengurusi mahasiswa di laboratorium tersebut.

Laboratorium yang terletak di lantai 2 gedung Jurusan Teknik Elektro ITS itu menjadi pengembangan teknik biomedika. Bidang ilmu itulah yang didalami Nuh sejak S-1 hingga mendapatkan gelar master dan philosophy doctor dari Universite Science et Technique du Languedoc (USTL) Montpellier, Prancis.

Ayah Rachma Rizqina Mardhotillah tersebut menjelaskan bahwa secara sederhana, teknik biomedika adalah kombinasi ilmu kedokteran (life science) dan teknik (rekayasa). Ilmu teknik biomedika banyak berperan dalam ilmu kedokteran. Mulai mendesain hingga mengembangkan peralatan kesehatan. Misalnya, medical ultrasonic, pacemaker (alat pemacu detak jantung), CT scan, hingga MRI.

’’Kami yang mengembangkan alat diagnosis dan terapinya, dokter yang mendiagnosis dan memberikan dosis terapi untuk pasien,’’ papar penghobi wisata kuliner tersebut.

Nuh lantas menunjukkan satu per satu alat yang sudah dikembangkan di laboratoriumnya itu. Salah satunya robot tangan yang bisa digerakkan mengikuti gerakan tangan asli. Caranya, seseorang yang menjalankan robot tangan harus menggunakan sarung tangan yang sudah didesain khusus.

Dalam sarung tangan itu ada penghantar sinyal dari saraf yang dipancarkan tubuh. Sinyal elektrik tersebut diterima motor (mesin) dalam robot tangan hingga jari-jari robot mengikuti gerakan jari orang yang menjalankannya. Menurut Nuh, robot tangan itu bisa menangkap sinyal hingga radius 15 meter.

Ada juga portable wireless brain monitoring system yang lebih sering dikenal dengan elektroensefalogram (EEG). Yakni, berupa tutup kepala mirip helm dengan dilengkapi kabel-kabel yang ditempelkan untuk merekam aktivitas otak.

’’Ini memang EEG. Kami yang mengembangkan alat menyadari bahwa gambarnya menunjukkan anomali. Tapi, kami tetap tidak bisa mendiagnosis,’’ papar Nuh yang merupakan pengagum Susilo Bambang Yudhoyono tersebut.

Hari itu Nuh mengumpulkan para mahasiswa yang menciptakan berbagai peralatan biomedik. Misalnya, Nada Fitriatul Hikmah, mahasiswa S-2 Teknik Elektro ITS, yang menciptakan alat gabungan dari EEG (untuk merekam aktivitas elektrik dalam otak), elektrokardiografi (ECG untuk merekam aktivitas jantung), dan karotin (untuk mengukur tekanan nadi).

Menurut Nuh, di era serbapraktis sekarang, ide menciptakan alat seperti itu sangat bagus. ’’Nada kapan sidang? S-1 dulu di mana,’’ kata Nuh yang menyapa Nada.

Meski bertanya dengan nada santai, para mahasiswa terlihat tegang. Mereka mencoba menguasai diri dan menjelaskan temuannya kepada Nuh. Untuk mencairkan suasana, sesekali Nuh melempar joke atau pertanyaan ringan lain.

Soal karya, para dosen tidak mau kalah. Salah satu yang dihasilkan dosen adalah wearable human movement. Gunanya, mengukur konsistensi gerakan tubuh. Biasanya alat itu digunakan dokter spesialis ortopedi atau rehabilitasi medik.

Nuh berharap laboratorium tersebut nanti bisa mengembangkan alat kesehatan. Selain beruntung dengan pengembangan ilmu, ada dua keuntungan lain mengembangkan peralatan biomedik. Yakni, dari sisi bisnis potensinya sangat tinggi. Lalu dari sisi idealisme, bisa membantu manusia. Baik untuk menegakkan diagnosis maupun alat terapi.

Sekarang yang diusahakan Nuh adalah membuat teknik biomedika menjadi program studi. ITS sudah mempunyai 10 staf pengajar ahli biomedik. Izin masih diproses di Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti).

Ada tiga perguruan tinggi negeri (PTN) lain yang juga memproses izin prodi teknik biomedika. Yaitu, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Gadjah Mada.

Kenapa tidak menetapkannya sebagai prodi saat masih menjabat Mendikbud? ”Saat itu memang belum waktunya. Saya tidak ingin memaksakan daripada nanti dikira aji mumpung,” jawabnya.

Sekarang Nuh yang senang karena bisa kembali berkutat dengan disiplin ilmunya, terus meneliti biomedik. Untuk menyisihkan waktu lebih banyak pada penelitian, dia pun memilih hanya mengampu tiga mata kuliah. Yakni, pratugas akhir untuk S-1, optimalisasi sistem, dan pengolahan sinyal untuk S-2.

Di sela waktunya, Nuh tetap aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Segala kesibukan itu, menurut dia, lebih baik daripada bergabung dalam ranah politik. ’’Saya paham politik, tapi tak berarti saya harus bergabung dengan partai politik,’’ ucap Nuh yang mengaku sudah ditawari masuk beberapa parpol tersebut.

Bagi Nuh, jalannya tetap di kampus. Menghabiskan waktu dengan cara mengajar, meneliti, dan membaca itu adalah rangkaian kegiatan yang tak tergantikan. Dalam sehari, Nuh selalu menyempatkan membaca.

Buku terakhir yang dibacanya adalah Return on Character karya Fried Kiel yang diterbitkan Harvard Business Review. Dalam buku tersebut diceritakan bagaimana pengembangan ilmu juga penting dibarengi oleh pengembangan karakter. Dengan pengembangan karakter, ke depan bukan hanya status hidup yang didapat, tapi juga kemuliaan dan kesejahteraan.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jembatan Lantainya Terbuat dari Batu Bacan, tak Ada yang Berani Mencukil


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler