Setelah dimulainya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 31 Desember 2015,  Persatuan Pelajar Indonesia University of Queensland (UQISA) mengadakan diskusi dalam tema Indonesia's opportunities and challenges in the ASEAN Economic Community (AEC atau MEA) pekan lalu.

Menurut Taruna Fadillah Ketua Divisi Akademik UQISA, dengan diberlakukannya MEA, maka masalah dari dugaan banyaknya perusahaan asing yang dapat beroperasi di Indonesia, serta masuknya pekerja asing untuk bekerja di Indonesia menjadi perbincangan hangat di Indonesia.

BACA JUGA: VIDEO: Kanguru Menganggap Seorang Polisi Sebagai Induknya

"Hal-hal ini berpotensi mengancam pasar, industri serta lapangan pekerjaan di Indonesia. Oleh karena itu kami mengadakan diskusi dengan menampilkan para mahasiwa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Australia guna membahas hal tersebut." kata Fadillah kepada wartawan ABC Australia Plus Indonesia L. Sastra Wijaya.

Salah seorang yang berbicara adalah Raditya Kusumaningprang, staf Kementerian Luar Negeri yang sedang mengambil PhD di UQ.

BACA JUGA: Menjelang F1 2016: Pebalap Australia Daniel Ricciardo Masih Berjuang

"MEA merupakan salah satu dari tiga Pilar Komunitas ASEAN disamping Masyarakat Politik-Keamanan ASEAN, dan Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN. Melalui Komunitas ASEAN, para Pemimpin Negara-negara Asia Tenggara berupaya menciptakan sebuah kawasan yang aman, damai, kompetitif, terintegrasi, berkeadilan sosial dan memiliki satu identitas." kata Raditya.


Raditya Kusumaningprang sedang menjelaskan program program ASEAN Foto: UQISA

BACA JUGA: Iran Akan Terima Kembali Pencari Suaka yang Gagal Jadi Pengungsi di Australia

Dalam hal jasa keuangan, Chandra Kusuma, PhD Student UQ yang juga bekerja di Kementrian Keuangan berpendapat bahwa pemerintah tidak akan membiarkan warga atau masyarakatnya dirugikan dalam MEA.

"Pemerintah secara maksimal akan terus memperhatikan perkembangan industri jasa keuangan domestik dan mengambil langkah-langkah regulasi yang tepat dalam rangka menghadapi persaingan melalui MEA ." katanya.

"Beberapa inisiatif liberalisasi jasa keuangan sebagaimana yang dimuat dalam MEA tidak serta merta Indonesia ikut di dalamnya. Pemerintah bersikap selektif dan memperhatikan kondisi industri jasa keuangan di Indonesia, seperti misalnya dalam hal pembukaan cabang bank asing di Indonesia atau liberalisasi arus portofolio melalui pasar modal." kata Chandra Kusuma.

Untuk mensukseskan MEA, pemerintah harus meningkatkan daya saing masyarakat serta membuka industri bahan baku setengah jadi. Hal ini dikatakan oleh Ari Margiono, PhD student di QUT yang juga faculty member di Binus University Business School.

"Sudah saatnya pemerintah tidak hanya mengekspor bahan mentah, misalnya minyak sawit/kelapa, kita seharusnya lebih aktif dan mengekspor beragam bahan setengah jadi, termasuk juga komponen untuk industri. Bertambahnya industri kelas menengah yang ada di Indonesia, akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat." kata Ari Margiono.


Ari Margiono sedang memaparkan kompetisi di negara negara intra ASEAN. (Foto: UQISA)

Pada sesi diskusi, beberapa sektor kerjasama mendapatkan khusus perhatian dari peserta. Menanggapi pertanyaan Tarinadiyya, seorang mahasiswi UQ tingkat Master dibidang Tourism, dijelaskan bahwa pariwisata merupakan salah satu sektor dibawah kerjasama perdagangan jasa MEA.

Pada saat ini, beberapa kerjasama kongkrit yang didorong adalah peningkatan kapasitas pelaku industri pariwisata, promosi produk serta obyek pariwisata serta mendorong penyusunan suatu ASEAN Single Visa yang diharapkan dapat mengoptimalkan kunjungan wisatawan dari negara ketiga (diluar ASEAN) untuk dapat berkunjung ke beberapa negara ASEAN sekaligus.

Potensi besar ASEAN sebagai sentra produksi barang, juga telah dilirik dan dinikmati oleh beberapa perusahaan multinasional. Salah satu perusahaan otomotif terkemuka telah berhasil menikmatinya dengan membangun beberapa pabrik komponen suku cadang dan perakitan di negara-negara anggota ASEAN dan menjadikannya satu production system yang sinergis dan terintegrasi.

Contoh tersebut juga menunjukan kurangnya pemanfaatan berbagai fasilitas yang berikan MEA oleh perusahaan-perusahaan lokal di ASEAN.

Hal ini juga didukung oleh data statistik yang menunjukkan bahwa pemanfaatan fasilitas perdagangan bebas diantara Negara-negara anggota ASEAN relatif lebih kecil dibandingkan dengan mitra dagang lainnya seperti Tiongkok, Jepang dan Amerika Serikat.

Hal ini dijuga diungkapkan oleh Gunaro Setiawan dari Griffith University dan Bryan Brama dari UQ.

Menurut mereka, semenjak 2003 sampai dengan sekarang, perdagangan intra negara ASEAN hanya sekitar 25% sedangkan ASEAN dengan China meningkat terus sepanjang tahun. Maka dari itu ASEAN harus melakukan pembenahan yang progresif supaya dapat mengoptimalkan potensi yang dimiliki dan menghindari adanya intervensi berlebih atau dominasi dari negara lain.

Melalui pemberdayaan UKM, Indonesia juga semestinya dapat mendorong peningkatan nilai produk-produk pertanian yang menjadi unggulannya sehingga tidak lagi mengekspor barang mentah, namun dapat mengekspor barang olahan seperti asinan dan manisan yang dikemas secara baik dan professional.

Terkait dengan hal tersebut, Temi Miranda, peneliti LIPI, juga menyoroti peningkatan penguasaan perusahaan dan tanah oleh investor asing di sektor pertanian yang dapat menggeser peranan petani lokal. Hal itu juga dikhawatirkan dapat mempengaruhi upaya pemerintah untuk mencapai swasembada pangan.

Disamping berbagai sektor industri tradisional, Indonesia juga perlu mewaspadai perkembangan aplikasi teknologi dan informasi dalam dunia usaha.

Beberapa aplikasi berbasis internet yang berkembang belakangan ini mendapatkan respons yang baik di kalangan masyarakat. Dalam mengantisipasi tren tersebut, beberapa negara tetangga telah menyiapkan technopreneur mereka dengan berbagai ilmu dan keterampilan sedari dini.

Asri Yusrina selaku moderator dan peneliti Smeru Research Institute menyimpulkan, MEA ini menjadi daya tarik negara di luar ASEAN untuk turut bermitra dengan negara-negara ASEAN. Indonesia mendapat peluang untuk berinteraksi dengan negara-negara di luar ASEAN dengan meningkatkan daya saing industrinya.

Namun, tidak kalah penting adalah mempertahankan pasar Indonesia untuk industri Indonesia dan memberikan nilai tambah produk produk Indonesia agar dapat bersaing secara global.


Suasana diskusi Bincang Asik UQISA yang berlangsung hangat.(Foto: UQISA)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Upaya Hindari Operasi Caesar Bisa Berujung pada Cedera Persalinan

Berita Terkait