Dahlia Rera Oktasiani tiba di Australia bulan November tahun lalu untuk berkuliah di bidang manajemen di sebuah sekolah bisnis di Sydney.

Namun mahasiswi berusia 33 tahun asal Bali tersebut mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri hidup di sini meski dia sebelumnya pernah tinggal dan belajar di Amerika Serikat.

BACA JUGA: Australia Sangat Membutuhkan, tetapi Banyak Pekerja Terampil Lebih Memilih Hengkang

Ketika pertama kali tiba di Australia, Dahlia membayar sewa kamar A$110 (sekitar Rp1,1 juta) per minggu. Itu harga sewa sekamar berdua. Namun sekarang harga sewa tersebut sudah naik menjadi A$185 (sekitar Rp1,85 juta).

"Sewa kamar saya naik tiap minggu atau tiap dua minggu. Saya sekarang bekerja di dua tempat," katanya.

BACA JUGA: Menlu Amerika Serikat Ungkap Keprihatinan soal KUHP Indonesia

"Saya harus pintar-pintar mencari makanan yang murah, misalnya dengan masak di rumah atau mencari harga murah di pasar," katanya.

Dahlia adalah satu dari banyak mahasiswa internasional yang merasakan tingginya biaya hidup di Australia saat ini.

BACA JUGA: Redam Pengaruh Tiongkok di Pasifik, Australia Umumkan Alokasi 3.000 Visa Baru per Tahun

Dia sebelumnya pernah bekerja di Bali selama masa pandemi dan berhasil menabung untuk membiayai sekolahnya.

Namun sekarang dia harus pintar berhemat sehingga uang tabungannya cukup untuk membayar sewa kamar dan makanan.

Dahlia juga mengatakan dia harus pintar-pintar mengatur keuangannya.

Pada tahun 2020 di saat pandemi, Perdana Menteri Australia ketika itu, Scott Morrison, mendesak mahasiswa internasional pulang ke nagara mereka bila mereka tidak bisa membiayai diri mereka sendiri selama di Australia.

Pada 2022, pemerintah mencabut batasan larangan bekerja bagi mahasiswa internasional dan mengizinkan mereka bekerja lebih dari 40 jam per dua minggu seperti aturan sebelumnya, sehingga mahasiswa seperti Dahlia bisa bekerja tanpa batas.

Namun ketentuan tersebut akan berakhir bulan Juni 2023, dan jumlah jam kerja bagi pemegang visa pelajar bisa kembali dikurangi menjadi 20 jam saja per minggu.

"Saat ini saya bekerja sekitar 40 jam per minggu, dan itu baru pas-pasan untuk mencukupi kebutuhan hidup saya," katanya.

Kekhawatiran utama Dahlia adalah situasi ekonomi yang tidak menentu di Australia dan bagaimana situasi tersebut bisa memengaruhi biaya hidup di bulan-bulan mendatang.

"Saya harus menabung dan mempersiapkan biaya tambahan karena saya tidak tahu apa yang akan terjadi," katanya.

"Harga-harga bisa naik 10 persen, 20 persen atau berapalah."

Dahlia berharap ada tempat tinggal yang biayanya terjangkau untuk membantu mahasiswa internasional.

Dia mendengar ada seorang temannya yang tinggal sekamar bertiga, dalam sebuah rumah tiga kamar yang diisi oleh 12 orang.

Menurut survei yang dilakukan University of Technology Sydney di tahun 2019, beberapa mahasiswa internasional melakukan apa yang disebut "hot-bedding" di mana mereka hanya memiliki tempat tidur hanya dalam waktu beberapa jam saja untuk beristirahat.

Survei yang mengguakan sampel tujuh ribu mahasiswa dari sekitar 750 ribu mahasiswa internasional yang ada di Sydney dan Melbourne memperkirakan sekitar 3 persen (atau lebih dari 200 mahasiswa) menyewa tempat tidur selama beberapa jam sehari.'Ini situasi yang melelahkan'

Di Adelaide, Kevin Vuong dan saudara kembarnya Nick lebih beruntung. Mereka tinggal bersama keluarga pamannya, walau juga membayar sewa, sambil belajar di University of South Australia.

Si kembar yang berusia 20 tahun tersebut berasal dari Ho Chi Minh City dan sudah tinggal di Australia selama lima tahun sejak duduk di sekolah menengah.

Walau biaya akomodasi mereka lebih rendah dibandingkan mahasiswa internasional lain pada umumnya, mereka tetap harus merogoh kocek untuk makanan dan asuransi kesehatan pribadi.

"Kami harus membayar biaya kesehatan dari kantong pribadi karena mahasiswa internasional tidak ditanggung oleh Medicare," kata Kevin.

Kevin baru saja kembali dari liburan mengunjungi keluarganya di  Vietnam, perjalanan pulang pertama sejak pandemi.

Dia berharap bisa memiliki usaha sendiri nantinya.

Sebelumnya, Kevin bekerja sebagai penarik kereta belanja di supermarket, tetapi sekarang ia sedang mencari pekerjaan lain seiring dengan bertambahnya beban kuliah.

"Karena saya di tahun kedua kuliah, saya harus memastikan saya memiliki waktu untuk belajar," katanya.

Di sisi lain, Kevin juga berusaha mengurangi beban keuangan orangtuanya yang memiliki bisnis membuat pot di Vietnam yang juga masih harus membiayai sekolah adik perempuannya yang berusia 15 tahun. 

Biaya kuliah tahunan untuk mereka masing-masing adalah A$30 ribu (sekitar Rp300 juta), sehingga keluarganya harus menanggung biaya sekitar Rp1,8 miliar untuk tiga tahun kuliah.

"Saat ini orangtua kami masih bisa membiayai kami namun mereka sekarang mulai juga mengalami kesulitan karena situasi ekonomi di Vietnam belum sepenuhnya pulih setalah COVID," kata Kevin.

"Ini situasi yang sulit bagi orangtua saya."

Di Australia, kegiatannya adalah belajar dan kerja, tanpa ada waktu cukup untuk kegiatan lain. 

"Ini situasi yang melelahkan. Kami harus belajar, kalau sedang tidak belajar, kami bekerja," katanya.

"Saat kami tidak bekerja, kami harus belajar. Setelah selesai semuanya kami kembali ke rumah kelelahan, lalu tidur. Keesokannya bangun dan mengulang hal yang sama lagi."'Saya memerlukan pekerjaan sekarang'

Bersantai juga tidak ada di benak Sachit Jain saat ini.

Sejak tiba dari India bulan Juli tahun lalu setelah kuliah online selama satu semester, mahasiswa berusia 27 tahun yang sedang mengikuti kuliah di University of Melbourne ini harus segera menemukan pekerjaan untuk bisa bertahan hidup.

Untuk membiayai kuliah S2 di bidang administrasi publik, Sanchit harus meminjam uang dari lembaga keuangan di India sebanyak A$35 ribu (sekitar Rp350 juta).

"Saya tidak memiliki sumber dana lain untuk membiayai kuliah saya, itulah sebabnya saya mengambil pinjaman, dan saya diharapkan mulai membayar pinjaman tersebut setelah studi saya selesai di akhir tahun 2023," katanya.

Dia semula menganggarkan biaya sekitar A$200 sampai A$300 (Rp2 sampai Rp3 juta) per minggu untuk membayar sewa rumah, namun Sanchit sekarang membayar A$460 per minggu.

Harga sewa sudah naik hampir 30 persen di kota-kota besar di Australia dalam setahun terakhir.

Salah satu portal sewa dan jual-beli rumah, Domain, melaporkan harga rata-rata sewa apartemen satu kamar di pusat kota Melbourne kini mencapai A$480 per minggu.

Harian Financial Review mengutip SQM Research melaporkan bahwa harga sewa mingguan rumah dan unit di Sydney adalah A$744 per minggu, A$549 di Melbourne, dan A$514 di Adelaide.

Sanchit sempat berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya selama seminggu ketika dia belum mendapatkan tempat sewaan baru sementara ia sudah harus keluar dari tempat sebelumnya.

"Saya tidak bisa tinggal di Airbnb karena saya tidak memiliki uang yang cukup untuk akomodasi seperti itu, jadi saya tinggal bersama orang-orang yang berbeda selama enam hari."

Situasi lapangan kerja, khususnya bagi mahasiswa internasional, bisa menjadi semakin sulit dengan semakin banyaknya mahasiswa asal Tiongkok yang sebelumnya belajar online sekarang harus kembali ke Australia untuk berkuliah kuliah tatap muka.

Meski menghadapi situasi ekonomi yang sulit, Sanchit mengatakan dia senang bisa belajar di Melbourne karena dia mendapat lebih banyak manfaat dengan kuliah langsung di kelas.

Namun hal yang cukup mengecewakan baginya adalah menemukan opsi makanan yang sehat di kampus sesuai dengan kemampuan kantongnya.

"Hal yang paling mengecewakan bagi saya sejauh ini adalah saya tidak bisa menemukan harga makanan yang cocok dengan harga terjangkau di kampus," katanya.Kesejahteraan mahasiswa adalah 'prioritas utama'

Direktur Eksekutif Universities Australia, sebuah lembaga yang menaungi semua universitas, Catriona Jackson, mengatakan dia senang melihat mahasiswa internasional banyak yang kembali lagi selama 12 bulan terakhir.

Tetapi dia juga mengakui adanya masalah yang mereka hadapi.

"Kesejahteraan mahasiswa adalah prioritas utama bagi universitas  dan kami mendorong siapa saja yang mengalami masalah untuk mencari bantuan dengan menghubungi institusi mereka," katanya.

Dia mengatakan ada berbagai layanan bantuan yang tersedia bagi mahasiswa yang mengalami masalah akademis, keuangan, atau pun masalah pribadi.

"Kami akan terus bekerja sama dengan pemerintah untuk memastikan mahasiswa mendapatkan kesempatan untuk memetik manfaat sistem pendidikan universitas di Australia."

Dr Andrew Deucher, peneliti masalah pendidikan dari University of Melbourne mengatakan profil mahasiswa internasional yang datang ke Australia berubah dari waktu ke waktu.

"Dulu di masa awal kedatangan mahasiswa ke Australia di tahun 1990-an atau di awal tahun 2000-an, pada umumnya hanya mereka yang punya privilege dan datang berasal dari kota-kota besar, terutama dari Tiongkok atau negara besar lainnya," katanya.

"Sekarang hal tersebut berubah, kita melihat bukan saja mahasiswa datang dari negara-negara yang beragam, tapi juga latar belakang yang beragam meski dari negara yang sama."

"Karena latar belakangnya berbeda, jelas posisi mereka saat mengatasi kesulitan di sini juga berbeda-beda."

Dia mengatakan masalah yang dihadapi oleh mahasiswa internasional sebenarnya sama dengan yang dialami oleh warga Australia pada umumnya.

Namun mahasiswa asing menghadapi masalah tambahan karena bahasa Inggris bukan bahasa pertama dan ketika mereka harus berbagi tempat tempat tinggal dengan budaya yang baru.

Dr Deuchar mengatakan penelitiannya mengenai mahasiswa internasional yang dilakukan selama bertahun-tahun menemukan bahwa dukungan yang paling penting yang mereka dapat - entah bantuan ekonomi, sosial atau emosional - kebanyakan berasal dari komunitas mereka sendiri.

"Dukungan yang paling kuat dan paling efektif yang mereka dapat berasal dari mahasiswa internasional lainnya," katanya.

Sebagai contoh katanya adalah grup WhatsApp, di mana mahasiswa bisa bertemu dan saling berbagi informasi sesama mereka.

"Yang harus diperhatikan oleh institusi adalah bukan menciptakan dukungan yang baru tetapi belajar dari para mahasiswa internasional itu sendiri dan menciptakan sesuatu dari apa yang sudah mereka lakukan."Menerima dengan tangan yang lebih terbuka

Semua mahasiswa yang dihubungi oleh ABC mengatakan bahwa mereka yang datang ke Australia untuk belajar merasa dimanfaatkan untuk mengisi lowongan kerja yang tidak diminati orang Australia. 

Namun di sisi lain, mereka juga mengakui sistem pendidikan di Australia lebih baik dibandingkan di negara mereka masing-masing.

"Mahasiswa internasional semacam sapi perah bagi mereka. Biaya kuliah di sini tiga atau empat kali lipat lebih mahal dibandingkan mahasiswa lokal," kata Sanchit Jain.

"Ya [situasi] yang timbal-balik. Saya merasa dimanfaatkan, tapi di saat yang sama saya ke sini untuk belajar karena kualitas di sini lebih baik dibandingkan di negara saya.'

Kevin Vuong di Adelaide berharap universitas dan pemerintah menurunkan biaya kuliah dan membantu meringankan biaya kesehatan.

Nancy Arthur, Dekan Masalah Penelitian di UniSA Business di Adelaide mengatakan sudah banyak melakukan penelitian mengenai transisi ke lapangan kerja bagi mahasiswa internasional.

Dia mengatakan dengan semakin banyak mahasiswa internasional yang sudah kembali lagi, Australia harus "menyambut dengan tangan yang lebih terbuka dan tidak hanya memperlakukan mereka sebagai komoditas.

"Kita harus berpikir lebih luas dari sekadar bagaimana mendatangkan mahasiswa internasional," katanya.

"Ini terkait kualitas pengalaman mereka ketika mereka tinggal dan belajar di negara tujuan dan bagaimana tanggung jawab negara tujuan memperlakukan mereka."

Professor Arthur mengatakan harus ada lebih banyak interaksi antara mahasiswa lokal dengan mahasiswa internasional.

"Kita sering berpikir kita harus bepergian ke negara lain untuk belajar mengenai budaya yang beragam," katanya.

"Padahal kita memiliki mahasiswa yang bisa berinteraksi satu sama lain di saat mereka berada di perguruan tinggi. Ini cara terbaik bagi kita untuk mendukung pertukaran [budaya] yang kaya ini."

Juru bicara Departemen Pendidikan Australia mengatakan kepada ABC bahwa pemerintah Australia menyambut baik kedatangan mahasiswa internasional dan mengatakan penyelenggara pendidikan bertanggung jawab atas dukungan bagi kesehatan dan kesejahteraan mereka.

Dia menambahkan bahwa perkiraan mengenai biaya hidup di Australia bisa dilihat di situs Study Australia

Soal pembatasan jam kerja untuk mahasiswa internasional, juru bicara tersebut merujuk kepada rilis kepada media di bulan September.

"Jumlah jam kerja masih menjadi bahan diskusi dengan melihat keseimbangan antara kerja dan studi," kata rilis tersebut.

"Pemerintah terus mempertimbangkan masalah ini dan pengumuman lebih lanjut akan dikeluarkan pada waktunya," kata juru bicara tersebut.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Australia Utara Kekurangan Pekerja Terampil Hingga Mendatangkannya dari Inggris

Berita Terkait