Sejak pulang ke Jakarta tahun lalu, Trisha Ramadhania tak pernah menyangka harus menjalani lebih dari separuh masa kuliahnya di perguruan tinggi Australia secara online atau daring.
Trisha yang kuliah di Melbourne kembali ke Indonesia selama kota itu menjalani 'lockdown', karena saat itu ia tak mengira Australia akan menutup perbatasan.
BACA JUGA: Wabah COVID-19 di Melbourne Belum Mencapai Puncaknya
Mahasiswi S1 jurusan Ilmu Komunikasi dan Studi Media pada University of Melbourne ini mengaku stress akibat kuliah online yang dijalaninya dan membuat dirinya lelah.
"Saya mulai merasakan beban dengan banyaknya tugas-tugas kuliah yang kian menumpuk sampai saya enggak bisa keluar rumah," kata Trisha kepada ABC.
BACA JUGA: Imigrasi Australia Diminta Persulit Pendatang yang Tak Mahir Berbahasa Inggris
"Saya merasa terisolasi, seolah saya benar-benar sendirian. Saya sering merasa kewalahan."
"Ada masa-masa ketika saya juga merasakan gangguan mental," ujar Trisha.
BACA JUGA: Friends: The Reunion Ditayangkan 27 Mei
Dia membutuhkan waktu selama berbulan-bulan untuk beradaptasi dengan realitas barunya dengan bantuan teman dan keluarga. Tapi dia masih khawatir karena tidak tahu kapan bisa kembali ke kampusnya di Melbourne.
"Kadang saya masih merasa cemas memikirkan kemungkinan menyelesaikan sisa perkuliahan secara online dan tidak tahu kapan perbatasan akan dibuka atau kapan semua ini akan berakhir," katanya.
Lembaga Council of International Students Australia (CISA) melakukan survei terhadap mahasiswa internasional yang tercatat di Australia namun tertahan di negaranya masing-masing.
Dari survei tersebut ditemukan sekitar 93 persen dari 607 responden mengaku mengalami gangguan kesehatan mental dengan perkuliahan online.
Sembilan dari 10 mahasiswa mengatakan mereka mengalami stress, dan lebih dari dua pertiga mengalami kecemasan atau depresi yang didiagnosis sendiri.
Lebih dari seperempat mahasiswa bahkan mengaku memiliki pikiran untuk menyakiti diri sendiri.
CISA menyarankan Pemerintah Australia bisa menemukan cara yang lebih baik dalam menyampaikan perkuliahan online, serta memberikan kejelasan kapan mahasiswa asing dapat masuk kembali.
Lembaga ini juga mengusulkan kepada Pemerintah dan industri terkait agar membebaskan biaya perpanjangan visa dan asuransi kesehatan serta penalti akibat pelanggaran sewa tempat tinggal.
Ketua CISA, Belle Lim menyatakan pihaknya sangat prihatin dengan bantuan yang tersedia di negara asal mahasiswa, karena "seringkali ada stigma soal gangguan kesehatan mental" dan kurangnya infrastruktur pendukung".
Belle menyebut adanya layanan konseling dapat dilakukan melalui aplikasi Zoom dari Australia, namun tidak semua dukungan klinis dapat dilakukan secara online.
"Yang kami dengar dari para mahasiswa yaitu selain tekanan finansial, alasan utama mengapa mereka mengalami isu kesehatan mental ini adalah soal adanya ketidakpastian," jelasnya.
"Kehidupan mereka telah tertunda selama lebih dari setahun sekarang. Kami sangat sulit untuk membayangkan hidup dalam ketidakpastian seperti itu, karena yang dipertaruhkan adalah pendidikan dan masa depan mereka," kata Belle.
Dalam sebuah pernyataan, University of Melbourne menyebutkan pihaknya menyadari adanya dampak kesehatan mental pada mahasiswa mereka yang kini berada di luar negeri akibat penutupan perbatasan.
"Pihak universitas terus mendorong pemerintah agar mahasiswa internasional dapat kembali masuk dengan aman ke kampus-kampus kami," kata pernyataan itu.
"Pihak universitas menyediakan sejumlah layanan dukungan kesehatan mental untuk semua mahasiswanya yang melibatkan konselor, psikolog, dokter, perawat kesehatan mental, dan psikiater," tambahnya.
Secara terpisah, Departemen Pendidikan Australia menjelaskan kepada ABC jika kalangan universitas dan penyedia pendidikan memberikan berbagai dukungan, dan meminta para mahasiswa menghubungi perguruan tinggi masing-masing.
"Mahasiswa internasional juga dapat menghubungi penyedia asuransi kesehatan mahasiswa asing untuk mendapatkan penjelasan tentang perlindungan kesehatan dan layanan yang tersedia bagi mereka di Australia," katanya.
Dikatakan, Pemerintah Australia sedang mengembangkan Strategi Pendidikan Internasional yang baru menanggapi perubahan dan mempertahankan posisi sebagai mitra tepercaya dalam sektor pendidikan internasional. Kuliah subuh dan mati lampu
Data dari Kementerian Dalam Negeri menunjukkan hampir 39.400 visa pelajar internasional diterbitkan antara 1 Juli 2020 dan 30 April 2021, meskipun Australia sedang menutup perbatasannya bagi semua pendatang yang bukan warga negara atau penduduk tetap.
Pemerintah memutuskan akan menutup perbatasan hingga pertengahan tahun 2022, namun khusus mahasiswa asing akan diterima kembali secara bertahap mulai akhir tahun ini.
Hingga saat itu, para mahasiswa ini harus tetap membayar biaya kuliah untuk melanjutkan kuliah mereka secara daring, tanpa mengetahui secara pasti kapan mereka bisa kembali ke kampus.
Ketika Rahul Gupta diterima untuk kuliah di sebuah universitas di Queensland awal tahun lalu, agennya menyampaikan perbatasan Australia akan dibuka kembali paling lambat Maret 2021.
Rahul pun mulai kuliah S1 di jurusan Teknologi Informasi secara online dari rumahnya di New Delhi sejak bulan November 2020.
Kini sudah enam bulan berlalu, ditambah lagi faktor perbedaan waktu empat jam, menyebabkan Rahul harus bangun subuh agar bisa ikut kuliah pertama jam 9 pagi waktu Australia atau sekitar jam 5 pagi waktu India.
"Kadang mati lampu, dan komputer saya kehabisan baterai," katanya kepada ABC.
Rahul yang kuliah di Griffith University menyebutkan kampusnya menawarkan konseling dan dukungan keuangan, namun hal itu tak cukup untuk menutupi stress akibat belajar jarak jauh dan hilangnya pengalaman kuliah di kampus.
Dia pun mulai mempertanyakan apakah biaya mahal pendidikannya ini sebanding dengan apa yang didapatkannya, sehingga kini mempertimbangkan untuk cuti kuliah selama beberapa bulan.
"Saya hanya duduk di rumah, tak bisa menggunakan fasilitas perpustakaan atau kafe, atau pengalaman kerja," ujar Rahul.
"Di India kami terjebak dalam rumah akibat situasi COVID-19. Kami tak bisa keluar. Ini sangat berat bagi saya." 'Tak banyak yang saya dapatkan dari kelas'
Data Pemerintah Australia yang dirilis bulan ini menyebutkan mahasiswa asing yang kini mengikuti perkuliahan dari negaranya masing-masing akibat pandemi COVID telah mengurangi anjloknya pendaftaran mahasiswa baru secara keseluruhan di Australia.
Para mahasiswa asing tersebut telah menyumbang pemasukan dari biaya kuliah sebesar AU$3,3 miliar tahun lalu.
Juru bicara Depdagri menjelaskan kepada ABC bahwa visa yang diberikan kepada mahasiswa asing yang berada di luar negeri akan memungkinkan mereka untuk mengikuti perkuliahan secara online.
"Hal itu akan memberikan kepastian kepada mahasiswa bahwa mereka dapat masuk ke Australia bila keadaan telah memungkinkan dan pembatasan dilonggarkan," kata jubir Depdagri.
Mahasiswi lainnya, Clarissa Ardelia, kini juga menjalani perkuliahan online dari rumahnya di Jakarta.
Clarissa adalah mahasiswi program Bachelor of Science pada University of Melbourne, yang mengajukan permohonan visa pelajar pada bulan Oktober tahun lalu.
Saat itu dia sudah mengetahui bahwa perbatasan Australia masih ditutup untuk mahasiswa internasional.
"Ketika perbatasan nantinya dibuka, saya tak perlu khawatir untuk mengajukan visa lagi dan langsung bisa pergi ke Australia," katanya.
Dia mengatakan tidak keberatan membayar karantina hotel untuk masuk ke Australia dan menghadiri kuliah di kampus.
"Saat saya memutuskan untuk kuliah di Australia, saya berharap bisa mendapatkan pengalaman, bagaimana rasanya tinggal dan kuliah di sana," ujarnya.
"Tak banyak yang saya dapatkan dari kelas (online), dan sangat sulit membangun pertemanan dari kuliah online." Mempertimbangkan kuliah di negara lain
Ketua kelompok mahasiswa Asian International Students of Australia, Kalyan Cherukuti, menyebutkan reputasi negara ini sebagai penyedia jasa pendidikan sedang terancam.
"Saat ini situasinya sangat jelek dari segi branding," ujarnya kepada ABC.
"Ambil contoh kasus India. Dalam beberapa bulan terakhir mereka ramai-ramai menggunakan tagar #LetUsBacktoAus di Twitter. Mereka juga melakukan aksi damai di New Delhi."
Namun seorang agen pendidikan di Jakarta, Janto Sugiharto, mengatakan banyak calon mahasiswa di Indonesia tetap ingin kuliah di luar negeri di tengah situasi pandemi.
Dia mengaku banyak kliennya merasa "optimis" dengan pembukaan perbatasan tak lama setelah mendapatkan visa mereka. Namun ada pula yang menunda masa studinya demi menghindari kuliah online.
"Sejumlah calon mahasiswa memilih kuliah di Indonesia, atau Amerika Serikat dan Inggris karena perbatasan mereka tetap terbuka," jelasnya.
Akibat tak bisa kembali masuk ke Australia, Akshit Basin, akhirnya memutuskan pindah kuliah ke AS.
Mahasiswa asal Haryana, India, ini meninggalkan Sydney untuk liburan singkat ke negaranya pada Maret 2020, tanpa menyadari dia tak akan bisa masuk lagi ke Australia untuk sementara.
Akshit tak bisa mendapatkan pengecualian untuk masuk dan masih memiliki mobil, barang, pekerjaan, dan studinya di bidang otomotif yang tak bisa dilakukan secara online.
"Kuliah saya lebih banyak praktek. Saya telah mengajukan (pengecualian) sebanyak lima kali," ujarnya kepada ABC.
Akshit mengaku telah mendapat beasiswa untuk kuliah bidang mekanik pada New York State University di AS mulai tahun depan.
"Saya pikir Australia tidak akan membuka perbatasannya dalam waktu dekat ini," katanya.
"Tak ada harapan bahwa pemerintah (Australia) akan membantu mahasiswa internasional," ujar Akshit lagi.
Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Amerika Serikat Memberikan Izin Vaksin Pfizer untuk Anak Usia 12 sampai 15 Tahun