Topik pencari suaka dan migrasi kerap hangat dibicarakan antara Indonesia dan Australia. Darwin menjadi salah satu kota yang memiliki peranan penting dalam masalah ini, karena letaknya yang paling dekat dengan Indonesia. Sejumlah mahasiswa asal Indonesia datang ke Darwin untuk mempelajari hukum mengenai migrasi dan suaka.
Sekitar 20 mahasiswa asal Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, sedang berada di Darwin, Kawasan Australia Utara.
BACA JUGA: Beredar Email Penipuan Soal Serangan ISIS di Sydney
Mereka melakukan kunjungan ke Charles Darwin University (CDU), di Darwin.
"Lewat program Colombo Plan yang digagas pemerintah Australia, beberapa mahasiswa dari CDU pernah berkunjung ke Indonesia. Mereka mempelajari soal property rights dan kejahatan transnasional," jelas Ardian Budhi Nugroho, Sekretaris 1 Pelaksana Fungsi Penerangan, Sosial, dan Budaya di Konsulat Jenderal Kawasan Australia Utara.
BACA JUGA: Aktivis HAM Australia Tak Ingin Charlie Hebdo Disensor di Negaranya
Mailinda Eka Yuniza, salah satu pengelola Program Internasional di Fakultas Hukum, UGM yang mendampingi para mahasiswa mengatakan kunjungan ini juga adalah bagian dari kursus singkat mengenai hukum migrasi dan suaka.
BACA JUGA: Kebun Binatang Adelaide Rawat 9 Bayi Kanguru Korban Kebakaran Semak
"Kita memiliki double degree [dual gelar] dengan CDU jadi anak-anak bisa mengenal sistem pendidikan disini, selanjutnya kalau mereka tertarik bisa melakukan program pertukaran pelajar maupun double degree," ujar Mailinda kepada Erwin Renaldi dari ABC International.
"Jika berbicara soal Darwin dan Indonesia, kita tidak bisa lepas dari salah satu topik yang paling hangat adalah tentang pencari suaka dan migrasi, jadi memang sengaja kita fokus ke topik tersebut agar para mahasiswa bisa melihat perspektif dari Australia."
Topik ini kadang memicu ketegangan antara pemerintah Australia dan Indonesia, karena dilihat dari sejarah Australia menandatangani konvensi Jenewa tentang penerimaan pencari suaka, sementara Indonesia tidak melakukannya.
Menurut Mailinda, Indonesia tidak menandatangani konvensi mengenai pencari suaka karena kondisi internal belum memungkinkan, misalnya secara ekonomi.
"Tetapi, saya melihat ada niat yang sangat baik dari pemerintah Indonesia, meski tidak ikut menandatangi seperti Australia, misalnya banyak lembaga swadaya masyrakat yang ikut membantu para pencari suaka," jelas Mailinda.
Melalui kunjungan seperti ini diharapkan para mahasiswa kedepannya dapat terlibat dalam diskusi-diskusi intensif soal pencari suaka dan migrasi.
Sehingga kedepannya bisa lebih banyak kesepakatan diantara Indonesia dan Australia yang menguntungkan banyak pihak-pihak terkait.
Salah satu mahasiswa UGM yang ikut dalam program ini adalah Bram Purwadi, yang mengambil fokus pada hukum bisnis.
"Ada satu hal yang baru lewat program ini, jadi bisa mengetahui soal hukum migrasi dan suaka," ujar Bram.
"Masalah pencari suaka dan migrasi ini bisa mempengaruhi kondisi ekonomi suatu negara, karena berhubungan juga dengan anggaran negara, terutama bagi negara-negara yang telah meratifikasi konvensi Jenewa," jelas Bram.
Bram juga mengaku ada perbedaan ketika mempelajari hukum persemakmuran di Australia, dibandingkan dengan mempelajarinya di Indonesia.
Dari sistem kuliah pun, Bram mendapatkan pengalaman tersendiri.
"Setiap kuliah terbagi menjadi dua kegiatan. Yang pertama adalah melalui internet, dimana bisa diakses semua mahasiwa. Ada pula kuliah tatap muka yang membahas topik-topik dengan lengkap," jelas Bram.
Selama berada di Darwin, para mahasiswa juga akan berkunjung ke Gedung Parlemen Kawasan Australia Utara dan Penggadilan Tinggi.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gunung di Tonga Meletus, Maskapai Australia dan Selandia Baru Batal Terbang