Mahasiswa UTA 45 Ajak Pelajar Jakarta Utara Bedah Isu Pemenuhan Hak Disabilitas

Kamis, 17 Oktober 2024 – 20:15 WIB
Seminar "Keselamatan Hak dan Keselamatan Penyandang Disabilitas", Rabu (16/10). Foto: Source for jpnn.com

jpnn.com - JAKARTA - Mahasiswa Prodi Administrasi Publik Universitas 17 Agustus 1945 (UTA’45) Jakarta mengajak puluhan pelajar dari 10 sekolah tingkat SMA dan SMK di Jakarta Utara, membedah isu pemenuhan hak disabilitas dalam seminar "Keselamatan Hak dan Keselamatan Penyandang Disabilitas", Rabu (16/10).

Sekitar 50 siswa yang diundang dalam seminar itu dibagi menjadi lima kelompok, dengan menyertakan tiga mahasiswa Prodi Administrasi Publik UTA’45 sebagai pembimbing.

BACA JUGA: KND Dorong Mahasiswa & Pelajar jadi Agent of Power Pengikis Stigma Negatif terhadap Penyandang Disabilitas

Setiap kelompok mencoba menganalisis kasus-kasus terkait pemenuhan hak maupun kerentanan keselamatan penyandang disabilitas.

Selanjutnya, mereka mempresentasikan solusi yang mungkin bisa dilakukan. 

BACA JUGA: KPU Perlu Siapkan TPS yang Ramah Penyandang Disabilitas

Sebelum adu analisis, 150 mahasiswa dan pelajar terlebih dahulu mendapatkan pemahaman mengenai pentingnya pemenuhan disabilitas dari tiga narasumber.

Para narasumber itu ialah Asminra Sekko Administrasi Jakarta Utara Muhammad Andri, Dosen Administrasi Publik Sisman Prasetyo, dan Komisioner Komisi Nasional Disabilitas (KND) Kikin Tarigan. 

BACA JUGA: Penyandang Disabilitas Tunanetra di RI Capai 4 Juta, Baru 1 Persen yang Bekerja di Sektor Formal

Selain itu hadir pula peneliti BRIN Tyas Yulianti sebagai narasumber melalui cuplikan video.

Di hadapan ratusan mahasiswa dan pelajar, Kikin menekankan pentingnya inklusi di berbagai bidang, khususnya di sektor pendidikan. 

Dia berharap generasi muda, dalam hal ini mahasiswa dan pelajar, dapat menjadi agen perubahan yang mengikis stigma negatif terhadap penyandang disabilitas. 

“Kelompok muda ini kelompok terpelajar, melek informasi, melek teknologi. Saya yakin mereka menjadi agent of power bagi disabilitas," kata Kikin. 

Menurut dia, masalah disabilitas tidak hanya bisa diselesaikan oleh dunia disabilitas itu sendiri. 

Generasi muda juga bisa mendorong pemerintah daerah, kementerian/lembaga untuk lebih peduli kepada penyandang disabilitas. 

Dosen Administrasi Publik Angella Rosha menyampaikan tujuan dari kegiatan ini adalah meningkatkan kesadaran mahasiswa dan pelajar dalam memperlakukan penyandang disabilitas. 

"Kami dari para dosen dan mahasiswa ingin peningkatan kesadaran itu akan bermuara pada mereka (mahasiswa dan pelajar) calon generasi bangsa ke depan," katanya. 

"Mereka mulai bisa memikirkan ide-ide solutif, kebijakan inklusif, spesifiknya persoalan disabilitas. Jadi, bisa memikirkan solusi dan permasalahan dalam bentuk kebijakan,” tambahnya. 

Aturan Belum Menghapus Stigma

Tyas Yulianti mengatakan munculnya stigma negatif terhadap penyandang disabilitas akibat cara pandang yang keliru. 

Misalnya, cara pandang yang menganggap disabilitas lemah, tidak berdaya, dan tak mampu melakukan apa pun. 

Menurut dia, hal ini berdampak pada tindakan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. 

Tyas menyatakan bahwa stigma negatif sangat menghambat penyandang disabilitas untuk berperan aktif dalam setiap proses pembangunan. 

“Kita sudah tahu sebagian besar bahwa ada syarat sehat jasmani dan rohani yang menghambat disabilitas mendapat pekerjaan. Nah, ini adalah salah satu contoh penyandang disabilitas tidak dapat dengan mudah mengakses pekerjaan karena syarat itu," kata Tyas dalam keterangannya, Rabu (16/10). 

"Hanya jenis pekerjaan-pekerjaan tertentu yang bisa diberikan penyandang disabilitas, kemudian dibatasi kuota. Oke, itu sebagai bentuk afirmasi, tetapi bila memandang sebagai hak warga negara, seharusnya jenis pekerjaan apa pun yang bisa dilakukan penyandang disabilitas bisa dibuka seluas-luasnya,” tambah Tyas.

Lebih lanjut Tyas juga menilai perihal inklusi terkait penyandang disabilitas di Indonesia telah menunjukkan perbaikan, terutama soal peraturan. 

“Kita memiliki undang-undang, kemudian punya PP (peraturan pemerintah) turunannya (UU). Kemudian, diusungkan PP tentang konsensi yang akan disahkan. Jadi, sudah lengkap," katanya. 

Namun demikian, dia mengakui, aturan-aturan yang ada tersebut belum seutuhnya mampu menghapus stigma negatif terhadap penyandang disabilitas.

"Kami menemukan bahwa peraturan-peraturan yang sudah ada tersebut belum menjamin terselenggaranya perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas dengan baik. Terutama mungkin kita bisa melihat bahwa saat ini peraturan-peraturan disabilitas banyak dibuat, tetapi juga banyak melemahkan disabilitas. Kami menganggap stigma itu masih ada dan itu yang menghambat inklusi di Indonesia,” paparnya. (*/boy/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler