jpnn.com - JAKARTA – Berbicara mengenai UU ASN 2023 pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Menko Polhukam Mahfud MD mengakui pemerintah dibikin pusing dengan masalah honorer.
Diketahui, salah satu substansi UU ASN 2023 ialah tentang penyelesaian masalah honorer, yang arahnya akan diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja atau PPPK.
BACA JUGA: Zaman SBY 870 Ribu Honorer Langsung jadi PNS, PP Turunan UU ASN 2023 Mulai Dibahas
Semula, Mahfud MD mengatakan UU ASN yang telah disahkan para Rapat Paripurna DPR RI pada 3 Oktober 2023 akan mengakhiri masalah honorer di Indonesia.
Mahfud MD mengatakan perekrutan tenaga honorer di berbagai daerah yang tidak bisa dibendung selama ini cukup membuat anggaran pemerintah kewalahan.
BACA JUGA: Status K2 Hilang setelah Resume Pendaftaran PPPK, Honorer Panik
"Baru-baru ini kita membuat undang-undang pembaruan Undang-Undang ASN untuk menyetop masalah ini agar tidak ada eksploitasi," kata Mahfud MD di Universitas Gadjah Mada (UGM), Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, Jumat (6/10).
Mahfud MD menilai, masalah tenaga honorer muncul sejak masa Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono.
BACA JUGA: 6 Hal terkait Honorer Bodong, Bikin Ruwet Pengangkatan Non-ASN jadi PPPK
SBY dalam kampanye Pilpres 2024 menjanjikan bakal mengangkat seluruh tenaga honorer yang ada di Indonesia menjadi ASN.
"Pak SBY memenuhi janjinya. Pada waktu itu diangkat 870 ribu orang honorer langsung menjadi PNS. Masih ada sisanya kalau enggak salah 50 ribu orang yang mau diangkat pada tahun itu tapi masih disuruh memenuhi syarat apa gitu," kata Mahfud MD.
Namun, kata Mahfud, saat ini jumlah tenaga honorer itu justru semakin membengkak menjadi jutaan orang lantaran hampir setiap kepala daerah yang baru membawa tim suksesnya untuk menjadi tenaga honorer.
"Ada keponakannya, ada anaknya dititip di sana semua (menjadi tenaga honorer) sehingga pemerintah jadi kewalahan," ujar tokoh asal Sampang, kelahiran 13 Mei 1957 itu.
Mahfud MD menjelaskan, dahulu sebetulnya sudah ada kebijakan bahwa di seluruh kantor pemerintahan tidak boleh ada tenaga honorer.
Namun, kata dia, banyak bupati atau gubernur baru yang tetap melanjutkan pengangkatan tenaga honorer tanpa bisa dibendung.
"Bupati baru, gubernur baru tetap mengangkat terus enggak bisa dibendung sehingga jumlahnya jadi jutaan maka pemerintah sekarang jadi goyang. Ini bagaimana menyelesaikannya, diselesaikan sekarang muncul lagi di sini, sudah dilarang masih muncul lagi," kata dia.
Selain itu, katanya, pemerintah daerah masih harus melanjutkan penggajian tenaga honorer yang diangkat bupati atau gubernur periode sebelumnya.
"Itu yang terjadi sehingga kita (pemerintah, red) dibikin pusing.” Kata Mahfud MD.
“Yang angkat bupati periode lalu udah berhenti, tinggalan masa lalunya harus diselesaikan, begitu terus," sambungnya.
Honorer di Zaman SBY
Di zaman pemerintahan SBY, memang ada pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS, yang diatur PP Nomor 48 tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS.
PP tersebut diteken SBY pada 11 November 2005, atau sekitar 1 tahun setelah resmi menjadi presiden.
Pengangkatan honorer menjadi PNS di zaman Pak SBY, berdasar PP 48 Tahun 2005, menggunakan prinisp memprioritaskan honorer usia paling tua dan masa pengabdian paling lama.
Hanya honorer dengan masa pengabdian minimal 20 tahun yang diangkat menjadi CPNS melalui seleksi administrasi.
Untuk honorer dengan masa pengabdian 5 tahun hingga 20 tahun, mekanisme seleksi dengan menjawab pertanyaan soal tata pemerintahan. Begitu juga bagi honorer dengan masa pengabdian 1 tahun hingga 5 tahun.
Ketentuan tersebut diatur di Pasal 3 dan Pasal 4 PP 48 Tahun 2025.
Disebutkan juga di PP 48/2005 bahwa pengangkatan honorer menjadi CPNS dilakukan secara bertahap hingga 2009.
“Sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi dilarang mengangkat tenaga honorer atau sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah,” demikian bunyi Pasal 8 PP 48 Tahun 2005.
Nah, jika ternyata jumlah tenaga honorer terus bertambah dan membengkak seperti saat ini yang mencapai 2,3 juta, salah siapa?
Bukankah gubernur, bupati, dan walikota sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) secara struktural juga bagian dari pemerintah?
Mengapa mereka bisa leluasa merekrut honorer? Juga, apakah salah ketika suatu sekolah misalnya mengalami kekurangan guru, lantas merekrut honorer? Apakah harus menunggu seleksi CPNS yang tidak setiap tahun ada?
Banyak sekali honorer sudah mengabdi puluhan tahun dengan bayaran ratusan ribu rupiah per bulan.
Banyak pula pejabat yang mengakui bahwa keberadaan tenaga honorer memang dibutuhkan.
Namun, begitu mereka menuntut peningkatan kesejahteraan melalui pengangkatan jadi ASN, pemerintah mengaku pusing. Salah siapa? (sam/antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Soetomo Samsu