Mahoyak Tabuik, Pesta Pantai Terbesar di Pantai Barat Sumatera

Minggu, 16 Oktober 2016 – 19:59 WIB
Suasana di Simpang Tabuik, Pariaman. Foto: Wenri Wanhar/JPNN.com.

jpnn.com - HARI ini, orang Pariaman, Sumatera Barat Mahayohak Tabuik.  Pesta pantai yang sudah berlangsung sejak 1826. Kisahnya bermula dari sini… 

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Hikayat Tole Iskandar (3/habis)

17 Maret 1824. Inggris dan Belanda meneken Traktat London. Isinya, Inggris menyerahkan Sumatera ke Belanda dan Belanda menyerahkan Singapura serta Malaka ke Inggris.

Pasukan Sipahi atau Serdadu Cipai--tentara bayaran Inggris yang berkedudukan di Bengkulu diberi pilihan; tetap di Bengkulu dan menjadi tentara Belanda atau dipulangkan ke negeri asalnya, India. Boleh juga pergi kemana pun sesuka hati.    

BACA JUGA: Hikayat Tole Iskandar (2)

Ada yang kembali ke India. Sebagian tinggal di Bengkulu. Sebagian lagi mengikuti pelayaran niaga. Satu di antara bandar niaga yang terkenal pada waktu itu adalah Pariaman. 

Serdadu Cipai yang dipimpin Kadar Ali ke Pariaman. Mereka penganut Islam Syi'ah. Karena berkulit hitam, penduduk setempat menyebutnya urang kaliang.

BACA JUGA: Hikayat Tole Iskandar (1)

Sebelum kedatangan rombongan Kadar Ali, di tempat itu sudah ada urang kaliang. Sehingga mudah saja bagi mereka untuk berbaur.

Sekadar catatan, saat masih menjadi kota pelabuhan, Pariaman didiami oleh beragam suku bangsa. Selain urang awak, juga bermukim orang Cina, orang India (kaliang) dan lain sebagainya. 

Makanya sampai hari ini masih ada daerah bernama Kampuang Cino (Kampung Cina)--meski orang Cina sudah tak ada di Pariaman. Mereka dibantai dan diusir habis dari kota itu saat Perang Dunia Kedua.  

Sedangkan urang kaliang masih ada hingga hari ini. Kebanyakan mereka tinggal di Kampuang Kaliang--persis di bibir pantai Pariaman. 

"Mereka inilah keturunan Kadar Ali, pelopor perayaan Tabuik Piaman," tulis Asril Muchtar dalam buku Sejarah Tabuik.

Pariaman, 1826. Dua tahun setelah Traktat London…

Kadar Ali dan rombongannya yang notabene penganut Syi'ah, membuat ritual Tabuik untuk mengenang kematian Husain cucu Nabi Muhammad yang dimutilasi dalam perang Karbala, 10 Muharam 61 Hijriah atau 680 Masehi. 

Tabuik berasal dari kata tabut yang secara harifiah berarti kotak atau peti. Ritual ini merujuk pada peristiwa setelah kematian Husain. Legendanya, turunlah arak-arakan Buraq dari langit. Membawa peti (tabut) untuk mengumpulkan dan mengangkat jasad Husain.

Seorang pengikut setia Husain yang berasal dari Cipai bergantung di salah satu peti. Di tengah perjalanan antara langit dan bumi, ada malaikat yang mencium aroma manusia hidup. 

"Kalau kamu memang cinta pada Imam Husain, tetaplah berada di dunia. Lakukanlan apa yang kamu lihat dan saksikan ini setiap tahun sebagai rasa sayang dan cintamu pada Saidina Husain," begitu kata Malaikat dalam legenda yang dikisahkan turun temurun.

Dalam perkembangannya, ritual yang diselenggarakan setahun sekali tiap awal Muharam--tahun baru Islam--tersebut dikembangkan oleh masyarakat setempat menjadi pesta budaya.

"Untuk menghilangkan pengaruh Syi'ah, khususnya pada bagian yang bersifat pemujaan terhadap Husain, sekitar 1908-1909, Tabuik Piaman digubah berdasarkan falsafaf Minangkabau," tulis Asril Muchtar.

Bentuk tabuik yang semula sederhana, yakni kotak persegi empat diberi menara beserta buraq, dibuat lebih atraktif. Masyarakat Pariaman bersama-sama membuatnya.

"Konstruksi tabuik, mulai bawah sampai puncak dibuat oleh orang Minang. Dekorasinya ditangani orang Cina. Musik pengiringnya orang India," kata Azwar Mursid, 50 tahun, kepala rombongan pembuat Tabuik, kepada JPNN.com.

"Warna-warna ini," sambung Azwar sembari menunjukkan kain warna merah dan warna emas, saat membuat Tabuik pekan lalu, "pengaruh Cina," katanya.

Nah, Tabuik dengan berbagai versi juga ditemui di Pidie, Banda Aceh, Meulaboh, Trumon, Singkil, Bengkulu, Padang, Painan, Maninjau, Padang Panjang dan Solok. 

Namun yang bertahan hingga sekarang hanya di Pariaman dan Bengkulu. Jika di Pariaman disebuat tabuik, di Bengkulu disebut tabot.

Dan tadi, Minggu (16/10) meski Pariaman dan sekitarnya diguyur hujan lebat, kota tua di pesisir Barat Sumatera itu tetap semarak. 

Sesuai dengan dendang lagu Piaman tadanga langang/batabuik makonyo rami…orang-orang menyemut Mahoyak Tabuik, merayakan pesta pantai terbesar di sepanjang Pantai Barat Sumatera. (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sumatera, Negeri Seribu Batang Air


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler