jpnn.com, JAKARTA - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menduga ada strategi yang salah dalam intervensi pemerintah menurunkan harga minyak goreng.
Ketua Harian YLKI Tulus Abadi menyebut hal itu menyebabkan perilaku panic buying yang dilakukan konsumen dalam membeli minyak goreng satu harga.
BACA JUGA: YLKI Nilai Kenaikan Tarif KRL Pahit Bagi Konsumen, tetapi
"Tidak menukik pada hulu persoalan yang sebenarnya, yakni adanya dugaan praktik kartel di pasar minyak goreng," ujar Tulus dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (25/1).
Tulus menilai panic buying minyak goreng merupakan kegagalan pemerintah dalam membaca perlaku konsumen Indonesia.
BACA JUGA: Minyak Goreng Murah Belum Masuk Pasar Rakyat, Pedagang Rugi, Jualan Enggak Laku
"Dari sisi konsumen, perilaku panic buying juga merupakan fenomena yang anomali dan cenderung sikap yang egoistik, hanya mementingkan kepentingannya sendiri," ucap Tulus.
Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) menyatakan stok minyak satu harga makin menipis.
BACA JUGA: Enggan Menurunkan Harga Minyak Goreng, Pedagang Siap-Siap Kena Sanksi
"Seharusnya pemerintah membatasi pembelian, misalnya konsumen hanya boleh membeli satu bungkus atau satu liter saja," kata Tulus.
Oleh karena itu, YLKI mendesak pemerintah membuat DMO (Domestic Market Obligation) dan caping harga utk kebutuhan CPO domestik dan kepentingan nasional.
"Jangan sampai CPO yang kita hasilkan hanya untuk jor-joran kebutuhan ekspor, sedangkan kebutuhan dalam negeri berantakan," tegas Tulus.
Tulus menyebut ironi dan paradoks jika konsumen minyak goreng Indonesia harus membeli dengan standar CPO internasional.
Padahal Indonesia adalah negara penghasil CPO terbesar di dunia.
"Pemerintah jangan cemen dan membuat kebijakan yang ecek-ecek, dengan subsidi Rp 3,5 triliun. Kebijakan ini akan muspro (sia-sia) karena tidak menukik pada pokok persoalannya," tegas Tulus. (mcr10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robia