jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah dikabarkan akan merevisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020, tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik atau e-Commerce.
Permendag tersebut saat ini sedang diusulkan oleh Kementerian Koperasi dan UKM untuk diubah dalam bentuk melarang importasi barang pemesanan sistem online e-Commerce di bawah USD 100.
BACA JUGA: Tolak Revisi Permendag Soal Aturan Impor di Bawah Rp 1,5 juta, APLE Punya 4 Solusi
Koordinator MAKI, Boyamin menjelaskan pengangkutan barang lewat pesawat udara (crossborder) merupakan pendapatan umum bagi negara dari sisi pajak, maka bila pelarangan ini dilakukan potensi pendapatan negara dari pajak triliunan per tahun akan hilang sekitar 1,5-2,5 triliun.
Menurutnya, tanpa proses resmi seperti crossborder barang akan melalui importasi yang sulit diawasi dan dikendalikan alias penyelundupan.
BACA JUGA: Bertransformasi di Era Digital, BTN Terapkan 6 Strategi Ini
Sebagai gambaran crossborder itu berbasis transportasi udara dan melibatkan ongkos yang tinggi hingga USD 10 per kilogram dari awal pengangkutan hingga ke akhir pengangkutan. Biaya logistik crossborder yang mahal menjadikan hanya barang spesifik yang dapat dijual, dan biaya ini juga yang telah membuat pergeseran pola bisnis para penjual luar negeri.
Pedagang dari luar negeri saat ini cenderung berkerja sama dengan penjual lokal melakukan importasi lewat laut dan setibanya barang di Indonesia baru dijual di platform lokal dengan harga murah, sehingga justru ini yang mematikan bisnis UKM.
BACA JUGA: Dongkrak Transaksi Nontunai, Bank Mandiri Taspen Gencar Kenalkan Aplikasi Movin
Kementerian Koperasi dan UKM menurutnya sangat tergesa-gesa menyimpulkan crossborder merugikan negara dan UMKM, padahal bisnis ini adalah penopang utama sektor logistik, airlines, pergudangan, kurir, dan trucking.
"Bahkan di saat pandemi, maskapi nasional kita dapat terus beroperasi karena mengangkut cargo crossborder di saat ada larangan untuk mengangkut penumpang," sebut Boyamin.
Sektor e-Commerce crossborder dan logistiknya juga telah berkontribusi besar pada pemulihan perekonomian negara berkat ekspor crossborder UMKM ke 6 negara ASEAN, logistik di Indonesia saat ini juga menjadi sektor paling tinggi pertumbuhannya, berdasarkan hasil BPS untuk triwulan 1 2023 sebesar y-on-y 15,93%.
Oleh karena itu, Kementerian harus cermat membedakan antara crossborder dan barang impor yang telah dijual di pasar lokal.
"Di sinilah letak masalahnya, yaitu presepsi crossborder adalah pembunuh UMKM, padahal sejatinya importasi tidak terkontrol atau black market adalah musuh utama UMKM. Kebijakan pelarangan saja namun tidak diiringi dengan pengawasan tidak akan efektif, apalagi rencana mematikan crossborder yang transparan dan patuh pajak tentu akan secara tidak langsung mengarahkan semua importasi menjadi sulit dikontrol, dan cenderung ilegal," papar Boyamin.
Sejatinya musuh bersama penyebab bangkutnya UMKM dan industri lain sejak dulu adalah importasi ilegal atau black market yang berakibat predatory pricing dan lainnya.
Untuk itu, MAKI meminta pembatalan rencana perubahan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy Artada