Makin Buruk, Wajah Penegakan Hukum Indonesia 

Oleh: Prof Tjipta Lesmana

Minggu, 08 Agustus 2021 – 19:16 WIB
Prof Tjipta Lesmana. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Dinar Candy, seorang DJ, memprotes kebijakan pemerintah memperpanjang masa berlaku PPKM dengan alasan membuat kehidupannya makin susah. 

Protes dilakukan dengan jalan-jalan di trotoar wilayah Lebak Bulus dengan berbikini. 

BACA JUGA: Analisis Prof Tjipta Lesmana soal Kekacauan Komunikasi Istana

Dadanya nyaris kelihatan setengah telanjang. 

Dia membawa sebuah papan berukuran kecil berisikan pesan protesnya itu. 

BACA JUGA: Dinar Candy: Semoga Masyarakat Indonesia Bisa Memaafkan

Yang merekam adegan ini adiknya sendiri. 

Dalam waktu hitungan menit, video Dinar beradegan berbikini ini viral ke seantero nusantara. 

BACA JUGA: Temukan Fakta Baru Kasus TWK KPK, Komnas HAM Sampai Menunda Penyerahan Rekomendasi

Maklum, cewek ini sudah cukup punya nama.

Dinar langsung diciduk pihak kepolisian, dibawa ke Polda Metro Jaya (Polres Metro Jakarta Selatan, red), untuk diperiksa. 

Menurut Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, Dinar bisa diancam melanggar UU Anti Pornografi dan UU ITE dengan ancaman hukuman maksimum sekian tahun.

Namun, sore harinya, Dinar dilepas, tidak ditahan polisi karena yang bersangkutan dinilai bersikap kooperatif ketika diperiksa. 

Enak ya?! Dari semula berita ‘wah’ yang banyak menyedot perhatian masyarakat - perempuan cantik mempertontonkan body-nya yang mulus dengan bikininya berjalan-jalan di trotoar umum, dalam hitungan jam saja berita itu sirna, “kasusnya” tampaknya selesai semata-mata karena yang bersangkutan bersikap baik/kooperatif selama diperiksa petugas Polda Metro.

Media sosial pun kehilangan libidonya untuk mengekspos lagi berita yang penuh sensasi ini.

Satu setengah bulan lebih setelah Jaksa Pinangki divonis 4 tahun oleh Pengadilan Tinggi Jakarta (korting 6 tahun dari vonis 10 tahun oleh Pengadilan Tipikor Jakarta), Jaksa Agung mengeluarkan surat keputusan pemecatan tidak dengan hormat terhadap Pinangki. 

Ada apa sesungguhnya di balik kontemplasi yang cukup lama? 

Kasus Pinangki menyedot puluhan juta rakyat Indonesia karena dimensinya yang spektakuler, dan maaf, mencoreng nama baik Korps Kejaksaan. 

Banyak pertanyaan yang “tertinggal” begitu saja meski dia sudah divonis. 

Kok bisa seorang jaksa eselon IV, dibantu seorang pengacara perempuan, mengatur siasat hukum secara detail untuk membebaskan terpidana Djoko Tjandra dari jeratan hukuman Mahkamah Agung? “Hanya jaksa bodoh yang mau melepaskan Djoko Tjandra dari jeratan hukum yang sudah inkrah dari Mahkamah Agung,” kata Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin emosional tahun lalu sebelum Pinangki diadili.

Kejaksaan Agung sulit melawan opini publik yang mencoreng nama baik instansi penegak hukum ini.

Memang, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin pernah membantah keras menerima laporan dari Pinangki tentang pertemuannya dengan Djoko Tjandra di Malaysia. 

Sekaligus membantah pernah melakukan video call dengan Pinangki setelah Djoko Tjandra membayar 100 juta dolar Amerika Serikat terkait kepengurusan fatwa. 

Informasi tersebut tertuang jelas dalam pemberitaan Majalah Tempo edisi 22 Agustus 2020.

Jaksa Agung ketika itu bicara keras, "Soal uang, saya sama sekali enggak tahu.”

Saat pertemuan Pinangki dan Djoko Tjandra berlangsung, Djoko berstatus buronan Kejaksaan Agung (untuk melaksanakan hukuman MA). 

Di persidangan, Pinangki mengaku sembilan kali bertemu dengan Djoko di Malaysia. 

Tanpa sepengetahuan dan seizin atasan langsungnya? Nyaris omong kosong! 

Apa betul tindak tanduk Pinangki ketika itu lepas dari pengetahuan atasan langsung dan atasannya lagi?! 

Satu bulan setelah Pinangki dijatuhi hukuman, dia masih bisa ditahan di rumah tahanan Kejaksaan. 

Sebuah koran nasional menulis, “Pinangki masih sakti!” setelah menikmati korting vonis yang begitu menggiurkan, dia masih diizinkan ditahan di rumah tahanan Kejaksaan. 

Beberapa hari yang lalu saya bermimpi bertemu dengan Pak Ali Said, Jaksa Agung Muda bidang Intelijen era Pemerintah Soeharto. 

Saya bermimpi mungkin karena saya terlalu serius memikirkan kasus Pinangki. 

Kepada Pak Ali, yang saya kenal sangat dekat sejak beliau menjabat Jamintel, saya bertanya, “Apa tanggapan Pak Ali tentang kasus K|Jaksa Pinangki? Beliau jawab singkat sambil melempar senyumnya yang khas, “Kalau saya masih Jaksa Agung....... Mas Tjipta tambahkan sendiri jawaban saya!”

Berbagai pihak tatkala itu sudah mendesak Kejaksaan untuk menggandeng KPK dalam mengusut skandal upaya Pinangki melepaskan Djoko Tjandra dari jeratan hukum Mahkamah Agung. 

Namun, pihak kejaksaan tampaknya emoh dan tetap berkeras untuk menuntaskan sendiri kasus ini.

Kecurigaan publik terhadap itikad baik Kejaksaan menuntaskan skandal Djoko Tjandra secara profesional terus menguat.

Keanehan bertambah lagi ketika Pengadilan Tinggi Jakarta memangkas hukuman Pinangki dari 10 tahun (vonis Pengadilan Tipikor) jadi 4 tahun. 

Tidak mustahil, di Mahkamah Agung pun vonis 4 tahun atas Pinangki akan dipangkas lagi. 

Namun, pihak Kejaksaan sejak awal tidak mau mengajukan kasasi ke MA. 

Wong, vonis 4 tahun di PT sudah syukur alhamdulillah......

Sekitar 10 tahun yang lalu, KPK dan Polri memperebutkan penanganan kasus korupsi Simulator SIM Korlantas. 

Presiden SBY tampaknya “gerah” karena perseteruan ini menimbulkan gaduh di media massa dan pengamat hukum. 

Maka, pimpinan tertinggi kedua instansi ini dipanggil Presiden ke Istana. 

Setelah mendengar langsung penjelasan mereka, SBY tanpa ragu lagi memerintahkan Kapolri supaya kasus ini diserahkan kepada KPK. 

Kasus korupsi bernilai puluhan miliar ini langsung digebrak KPK. 

Dua jenderal pimpinan Korlantas akhirnya dinyatakan bersalah dan dijebloskan ke dalam tahanan.  

Tatkala itu, ketika mengajar di Sespim dan Sespati Polri di Lembang, saya mengingatkan kepada siswa berpangkat Komisaris Besar Polisi dengan suara keras sambil menggebrak meja, “Saya harap anda semua jangan korupsi, jangan korupsi setelah terjun di masyarakat! Malu jika anda korupsi. Yang malu bukan anda sendiri, tetapi juga istri, orang tua, mertua, anak-anak, menantu, keponakan, ipar dan semua anggota keluarga. Ingat itu!”

Memang Jokowi bukan SBY. Banyak janjinya mengenai law enforcement ketika berkampanye tempo hari tidak dilaksanakan, terutama mengenai pemberantasan korupsi, seperti sikapnya terhadap RUU KPK 2 (dua) tahun yang lalu; Presiden diam saja. 

Dalam kasus tes wawasan kebangsaan pegawai KPK, Jokowi memperingatkan pimpinan KPK supaya TWK tidak dijadikan alat untuk mengganjal pegawai KPK sehingga tidak bisa masuk ASN. 

Kenyataannya, 50 lebih pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus tamat kariernya karena pintu masuk ASN digembok.

Dan Presiden Jokowi diam saja, tidak menindaklanjuti pernyataannya sebelumnya kepada pimpinan KPK.

Kasus sumbangan bernilai Rp 2 triliun dari keluarga Akidi Tio di Palembang tampaknya “habis tuntas” setelah Kapolda Sumatera Selatan secara terbuka menyatakan maafnya atas kesalahan yang dilakukannya.

Tidak ada satu pun media yang membahas lagi kasus ini. 

Mirip-mirip dengan kasus Dinar Candy, minta maaf, maka kasus pun selesai.

Tentu kasus Dinar tidak bisa disamakan dengan kasus sumbangan 2 triliun di Palembang. 

Yang satu kelas ‘ecek-ecek’, yang lainnya nyaris menyedot perhatian seluruh rakyat Indonesia. 

Seorang petinggi penegak hukum kok percaya begitu saja pada orang yang sudah almarhum yang hendak menyumbang senilai Rp 2 triliun tanpa meenunjukkan surat wasiat atau pesan kepada keturunannya?!

Kenapa tidak ada kecurigaan sama sekali di benak Kapolda? Atau minimal “think it over again and again” sebelum “menerima “ sumbangan jumbo itu dari tangan Ny Heryanty?

Kapolda saat itu, secara institutif,  seyogyanya menyadari apa tupoksi Kapolri/Kapolda: Apakah ada urusan dengan donasi masyarakat, apalagi yang dicurigai bersifat gelap;  apakah dia tidak tahu berapa maksimum jumlah ransfer yang diperbolehkan seorang nasabah dan lain sebagainya. 

Seorang rekan saya, orang Palembang asli, berkilah jika dana tunai yang dimiliki semua bank pemerintah di Sumsel dikumpulkan, total Rp 2 triliun pun mungkin tidak ada!   

Mungkinkah sejak awal Ny. Heryanty Tio  memang berniat menipu para petinggi Sumatera Selatan dan masyarakat Sumsel dengan motivasi tertentu? 

Mestinya pertanyaan akbar ini yang sejak awal diselidiki pihak Kepolisian. 

Sekali lagi, karena jumlah Rp 2 triliun yang terlalu fantastis / tidak masuk akal!!  

Kenapa awalnya terbesit berita tentang pertemuan Heryanty, didampingi pengacaranya di Batam, dengan pihak bank Singapura yang, konon menyerahkan surat-surat bank kepada Heryanty, lalu tidak ada kelanjutannya? 

Sejauh mana kebenaran berita ini? Bagaimana tersiarnya giro bilyet senilai Rp 2 triliun di masyarakat yang mengesankan keluarga Tio memang punya dana di Bank Mandiri Palembang?  

Jika sejak awal Ny Heryanty sadar bahwa saldo dananya di Bank Mandiri Palembang jauh dari total Rp 2 triliun, mestinya dia sadar bahwa membuka giro bilyet senilai itu merupakan tindak pidana alias buka cek kosong dapat diancam pidana yang serius?

Tatkala berita Kapolda Sumsel dipanggil Mabes Polri untuk diperiksa oleh Propam (Divisi Profesi dan Pengamanan) tersiar di media massa / media sosial, publik bertanya-tanya, “Apakah sanksi yang bakal dijatuhkan Kapolri terhadap Kapolda? Diberikan peringatan keras, dimutasi atau dicopot?” 

Semua andai-andai itu ternyata tidak ada alias buyar tiga hari setelah Kapolda meminta maaf kepada masyarakat. Ironinya, malah ada pihak-pihak yang justru memuji Kapolda karena sikapnya yang “gentleman” meminta maaf kepada masyarakat. 

Padahal, kasus ini selama seminggu lebih sempat geger, bahkan menghabiskan perhatian, energi dan perdebatan sekian banyak ragam masyarakat.

Itulah beberapa contoh potret penegakan hukum di negara kita dewasa ini. 

Sekadar mengingatkan Presiden Jokowi, para petinggi pemerintah, akademisi, dan penegak hukum kita, “Pelaksanaan rule of law yang keras, konsisten dan persisten mutlak dijalankan. 

Di dunia ini tidak ada satu pun negara yang maju dan disegani lawan maupun kawan manakala pelaksanaan hukumnya memble dan amburadul! 

Oleh sebab itu, semua pihak, termasuk Presiden Jokowi jangan anggap remeh, apalagi bermain-main dengan rule of the law!(***)  

Penulis adalah Prof. Dr. Tjipta Lesmana, M.A., Anggota Komisi Konstitusi MPR 2004; mantan Dosen Tamu Secapa, Sespim dan Sespati Polri.

Jangan Lewatkan Video Terbaru:

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kejaksaan Agung Resmi Berhentikan Jaksa Pinangki Secara Tidak Hormat


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler