Makin Menua, Tiongkok Kembali Genjot Reproduksi

Rabu, 29 Agustus 2018 – 18:14 WIB
Ilustrasi. Foto: SCMP

jpnn.com, BEIJING - Selama tiga dekade sejak 1979, Tiongkok melarang warganya punya anak lebih dari satu. Kebijakan itu berubah menjadi dua anak cukup sejak 2015. Tapi, upaya untuk memudakan populasi tersebut tidak berhasil.

Dua tahun lagi, Negeri Panda akan memberlakukan aturan bebas. Keluarga-keluarga di sana boleh punya banyak anak.

BACA JUGA: Airplane Mode ke Kecamatan Sembilan Warna

’’Jika aturannya jadi dicabut, itu akan menjadi capaian yang luar biasa dalam hal kebebasan,’’ ujar Therese Hesketh, dosen ilmu kesehatan global di University College London kepada majalah Time, Selasa (28/8). Namun, dia tidak yakin kebijakan tersebut akan berdampak pada angka kelahiran Tiongkok.

Setelah aturan dua anak cukup, natalitas memang sempat naik pada 2016. Tapi, itu hanya sebentar. Tahun lalu, angka kelahiran bayi cenderung turun. Hanya sekitar 17,23 juta. Itu sekitar 630 ribu lebih sedikit dibanding 2016.

BACA JUGA: AS, Rusia dan Tiongkok, Trio Penjegal Resolusi HAM di PBB

Pada semester pertama tahun ini, angka kelahiran lebih turun lagi. Yakni, sekitar 15 persen lebih sedikit dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya.

Mengutip Procuratorate Daily, Reuters melaporkan bahwa pemerintahan Presiden Xi Jinping sedang merumuskan rancangan undang-undang (RUU) perdata soal populasi. Nah, di dalamnya tidak ada pasal-pasal yang mengatur keluarga berencana. Khususnya, soal jumlah anak.

BACA JUGA: Doktrin Deng untuk Meng Xiang Xi

Draf itu tentu masih harus melewati proses panjang untuk disahkan jadi regulasi. Juga, melalui pembahasan dan perdebatan di parlemen. Jika sukses, aturan itu baru bisa disahkan pada Maret 2020. Tapi, tetap saja informasi tersebut membuat para pengamat dan aktivis HAM gembira.

Tiongkok membubarkan komisi keluarga berencana beberapa bulan lalu. Komisi itu dulu bertugas menegakkan kebijakan satu anak. Termasuk menjatuhkan denda dan mengurusi sterilisasi ibu.

Kini, komisi tersebut digantikan Komisi Kesehatan Nasional. Tugas komisi baru itu di antaranya adalah mengatur manajemen populasi dan mereformasi sistem kesehatan.

Tiongkok memang berusaha mati-matian agar natalitas bertambah. Tapi, itu bukan upaya mudah mengingat belakangan jumlah warga lanjut usia lebih dominan.

Standar internasional menyebutkan, jika lebih dari 10 persen penduduk suatu negara berusia di atas 60 tahun, negara itu disebut menua. Di Tiongkok, populasi warga lanjut usia mencapai 17,3 persen.

Banyak pihak yang menilai pencabutan batasan jumlah anak itu terlalu terlambat. Sebab, saat ini keluarga dengan dua anak atau lebih sudah sangat jarang.

Biaya hidup dan pendidikan yang luar biasa mahal menjadi pertimbangan penting. Alasan lainnya adalah mereka tak terbiasa hidup dalam keluarga besar.

’’Secara finansial, tidak mungkin bagi kami untuk menambah anak,’’ ujar Liu Minwei, penduduk Beijing yang punya dua anak. Dengan jumlah anaknya saat ini saja, dia harus bekerja lebih dari 12 jam per hari.

Individualisme dan kesibukan juga membuat angka pernikahan terus turun. Di sisi lain, dari tahun ke tahun, angka perceraian justru terus naik.

’’Jika saja perubahan terjadi lebih awal, akan lebih mudah mengatasi masalah yang ada saat ini,’’ ujar Gu Baochang, pakar demografi Renmin University.

Dia sempat mengusulkan kebijakan satu anak dihapuskan pada 2000. Namun, kala itu pemerintah tak menggubris. (sha/c17/hep)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tercekik, Malaysia Rayu Tiongkok Batalkan Perjanjian Utang


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler