Relasi Muhamad Erfan Apriyanto dan kekasihnya yang pemeluk Katolik sudah berjalan lebih dari satu setengah tahun lamanya.

Erfan yang lahir 28 tahun yang lalu berasal dari keluarga Jawa dan seorang Muslim yang taat.

BACA JUGA: Merasa Temukan Novum, Perusahaan Ajukan PK atas Putusan MA soal Tanah di Situ Cihuni

Anak pertama dari kembar bersaudara ini mengaku tidak ada riwayat pernikahan beda agama baik dari kedua belah orangtuanya maupun kakak-adiknya.

"Dan saya dari sejak SMA juga sudah mandiri, jadi mungkin Ibu saya juga percaya kalau saya berpikir matang dalam setiap keputusan saya."

BACA JUGA: Mahkamah Agung Larang Hakim Kabulkan Nikah Beda Agama, Yandri Susanto: Alhamdulillah

Cintanya pada JW, perempuan blasteran Kanada yang meminta dicantumkan inisialnya saja, hampir tidak mengalami masalah atau tantangan dari keluarga mereka masing-masing.

"Dari keluarga dia enggak ada masalah, dari keluarga saya juga enggak ada … Ibu saya percaya sama pilihan saya karena nantinya saya yang akan menjalani," tutur Erfan.

BACA JUGA: MA Batalkan Vonis Bebas Eks Ketua DPRD Jabar, Pengamat: Fakta Persidangan Perlu Diusut

Erfan juga mengaku selama ini tidak menilai kualitas perempuan dari tampilan luarnya atau agamanya, melainkan dari akhlaknya.

Dan meski berbeda agama, ia menilai kekasihnya memiliki kualitas itu sehingga keduanya kemudian mulai berpikir serius.

Selain mulai mendiskusikan perbedaan agama keduanya dengan mediator dan konselor pasangan beda agama, Ahmad Nurcholish dari ICRP, keduanya juga sudah mulai memeriksa kesehatan masing-masing sebagai usaha mempersiapkan diri.

"Mungkin dua tahun lagi [baru menikah] sebelum memasuki usia 30, dan kami berdua masih mengejar karir."

"Dan berdasar masukan Mas Nurcholish, ada dua kesimpulan, kalau memang di Indonesia masih bisa untuk nikah beda agama, [kami] akan nikah di sini, tetapi apabila sudah tidak ada jalan lain, ya kami bisa menikah di Singapura atau di Australia," kata Erfan kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.Surat Edaran Mahkamah Agung

Tetapi harapan menikah di Indonesia itu pupus seiring dengan terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.

Menurut Juru Bicara MA. Suharto, SEMA ditujukan untuk ketua pengadilan banding dan ketua pengadilan tingkat pertama sebagai petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan.

"Tujuannya jelas untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dan itu juga merujuk pada ketentuan undang-undang. Itu sesuai fungsi MA," ujarnya.

Sebelum SEMA ini terbit, sejumlah pengadilan seperti PN Surabaya, PN Jakarta Pusat, PN Jakarta Selatan, PN Yogyakarta, dan PN Tangerang tercatat telah mengabulkan permohonan penetapan pernikahan beda agama.

"Kemarin ketika SEMA itu terbit sempat agak dongkol sih ya, karena saat di PN hakimnya sudah open-minded, tiba-tiba dari pucuk pimpinannya mengimbau agar tidak melegalkan ... padahal ini kan ranah privat, dan negara enggak boleh ikut campur dan hanya boleh memfasilitasi," ujar Erfan.

Butir kedua dalam SEMA tersebut mengakibatkan pasangan beda agama seperti Erfan dan kekasihnya yang bermaksud menikah di Indonesia sulit mendapatkan penetapan pengadilan yang menjadi syarat supaya pernikahan tersebut sah di mata hukum melalui pencatatan di kantor catatan sipil.

"Tidak akan pernah ada pencatatan perkawinan beda agama di dinas dukcapil sepanjang pengadilan tidak mengabulkan permohonan perkawinan beda agama dan sepanjang tidak ada penetapan pengadilan," tutur Direktur Jenderal Dukcapil, Teguh Setyabudi, merespon terbitnya SEMA Nomor 2 itu.

SEMA merupakan petunjuk di internal Mahkamah Agung yg pada prinsipnya harus diikuti oleh seluruh pengadilan dan hakim.

"SEMA itu prinsipnya bukan regulasi, tapi pedoman atau petunjuk dan rujukannya juga Pasal 2 UU Perkawinan," kata Jubir MA, Suharto.

Tidak ada sanksi tegas dan tertulis bagi mereka yang tidak menjalankan SEMA, tapi beberapa ahli mengatakan akan jadi catatan buruk bagi hakim yang tidak mengikuti SEMA.Dipuji MUI, dipertanyakan organisasi masyarakat sipil

Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh mengapresiasi langkah Mahkamah Agung yang menerbitkan SEMA berisi larangan terhadap hakim mengabulkan permohonan nikah beda agama.

"Penerbitan SEMA ini sangat tepat untuk memberikan kepastian hukum dalam perkawinan dan upaya menutup celah bagi pelaku perkawinan antaragama yang selama ini bermain-main dan berusaha mengakali hukum."

"Dengan demikian, peristiwa pernikahan itu pada hakikatnya adalah peristiwa keagamaan. Dan negara hadir untuk mengadministrasikan peristiwa keagamaan tersebut agar tercapai kemaslahatan, dengan pencatatan … Kalau Islam menyatakan perkawinan beda agama tidak sah, maka tidak mungkin bisa dicatatkan," tegas Niam.

Namun sebaliknya, beberapa organisasi masyarakat sipil mengkritisi SEMA tersebut.

Setara Institute, misalnya, menilai SEMA itu sebagai bukti kemunduran dan menutup ruang bagi progresivitas dunia peradilan dalam menjamin hak-hak warga negara dari latar belakang yang beraneka ragam.

"Fakta objektif keberagamaan identitas warga negara, termasuk dari segi agama, seharusnya semakin mendorong perangkat penyelenggaraan negara untuk memberikan penghormatan," kata Wakil Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Tigor Naipospos.

"Dalam pandangan Setara Institute, kewajiban negara dalam perkawinan antar warga negara bukanlah memberi pembatasan atau restriksi, akan tapi menghormati dan melindungi pilihan masing-masing warga negara … Setara Institute mendorong DPR dan Pemerintah untuk melakukan revisi UU perkawinan tahun 1974, [sehingga] perkawinan yang sah tidak hanya dilakukan berdasarkan agama, tetapi juga perkawinan sipil."

Setara Institute kemudian mendesak Mahkamah Agung untuk mencabut SEMA tersebut karena melanggar hak dasar manusia memilih pasangan, hak atas layanan kependudukan, serta menjustifikasi stigmasisasi sosial pasangan beda agama.

Direktur Program Pusat Studi Agama dan Perdamaian ICRP, Ahmad Nurcholis, juga menyayangkan keluarnya SEMA dan berharap negara bisa bersikap adil.

"Adil itu dalam artian negara tidak hanya melihat pandangan yang melarang, tapi juga harus melihat bahwa dalam komunitas agama apa pun, juga ada pandangan yang membolehkan [nikah beda agama] … di situlah negara harus berdiri di atas dua kelompok yang berbeda ini," tutur Nurcholish kepada ABC Indonesia.

Menurut Nurcholish, negara sangat bisa berlaku adil dengan menjamin mereka yang melarang pernikahan beda agama untuk tidak menikah, tapi juga memungkinkan mereka yang mengikuti pandangan keagaaman yang membolehkan untuk disahkan dan dicatatkan secara resmi pernikahannya.Tren yang meningkat dan pilihan menikah di luar negeri

Menurut Nurcholish, sepanjang langkah advokasi yang dilakukan oleh ICRP atas pasangan beda agama, sudah ada hampir 2.000 pasangan beda agama yang mereka bantu sejak 2005.

"Trennya memang dari tahun ke tahun itu selalu meningkat," kata pria yang akrab disapa Mas Nur ini.

"Juli ini saja ada 24 pasangan yang sudah dan akan menikah," imbuhnya.

Namun, terbitnya SEMA ini dinilai Nurcholish makin mempersulit pasangan beda agama yang ingin menikah di Indonesia karena peluang untuk bisa dicatatkan semakin tertutup.

"Lewat Dukcapil ditolak, mengajukan peneguhan nikah [ke PN] juga sudah pasti akan ditolak, yang tersisa cuma satu alternatif saja, menikah di luar negeri."

"Tapi kan enggak semua orang Indonesia bisa melakukan ini karena biayanya sangat tinggi … jadi SEMA ini menurut saya sangat merugikan banyak warga negara yang ingin beda agama."

Meski tahu bahwa tidak ada sanksi untuk hakim yang mengabaikan SEMA, Erfan mengatakan dia tidak akan mengambil risiko menghadapi komplikasi untuk menikah di Indonesia.

"[Untuk menghindari komplikasi di Indonesia] lebih baik yang pasti-pasti aja, ya menikah di luar negeri," pungkas Erfan.

BACA ARTIKEL LAINNYA... AJC 2023: China Mendominasi, Indonesia Rebut Satu Gelar dan Pecahkan Rekor

Berita Terkait