jpnn.com - Menang melawan Malaysia serasa sudah menjadi juara. Itulah euforia yang dirasakan penggila sepak bola Indonesia, setelah timnas mengalahkan Malaysia dengan skor mencolok 4-1.
Timnas Indonesia lolos ke semifinal turnamen Piala AFF, dan Indonesia bersukacita laksana sudah menjadi juara.
BACA JUGA: Tan Cheng Hoe Bongkar 2 Borok Malaysia Setelah Dihukum Mati Timnas Indonesia
Indonesia adalah negara dengan penduduk terbesar di Asia Tenggara. Meski demikian, kekuatan sepak bola Indonesia dianggap minor dalam turnamen ini. Indonesia dipandang dengan sebelah mata dan hanya disebut sebagai kuda hitam. Lolos ke semifinal pun diragukan, apalagi menjadi juara.
Emosi dan intensitas tinggi mewarnai setiap pertandingan melawan Malaysia. Ini bukan sekadar pertandingan sepak bola, tetapi sebuah pertaruhan gengsi tingkat tinggi. Pertandingan melawan Malaysia menjadi ‘’Derby Serumpun’’ yang sarat dengan emosi yang menggelora.
BACA JUGA: PSSI Laporkan Kasus Dugaan Match Fixing ke Polisi, Bisa Diungkap Enggak, Ya?
Kemenangan melawan Malaysia kali ini membangkitkan optimisme bahwa Indonesia bisa melangkah lebih jauh dari sekadar semifinal.
Indonesia masih malu-malu untuk menargetkan diri menjadi juara perhelatan ini, karena sejak kali pertama dihelat pada 1996, Indonesia tidak pernah sekali pun menjadi juara.
BACA JUGA: Pakar Hukum Ini Sebut Match Fixing Kejahatan Lunak
Lima kali masuk final, lima kali pula Indonesia gagal. Sepanjang 25 tahun turnamen digelar Indonesia sudah berganti pelatih 25 kali. Itulah satu-satunya rekor Indonesia yang tidak dipunyai oleh negara lain.
Setiap kali turnamen ini digelar, setiap kali itu pula Indonesia ganti pelatih. Mudah diduga, tidak ada program jangka panjang untuk membentuk tim yang tangguh. Yang ada hanyalah keinginan instan untuk bisa menjadi juara.
Kali terakhir Indonesia memenangi kejuaraan level Asia Tenggara adalah pada perhelatan SEA Games di Filipina pada 1991.
Indonesia memperoleh medali emas setelah mengalahkan Thailand dalam adu penalti. Ketika itu Indonesia diarsiteki oleh pelatih asal Rusia Anatoli Polosin.
Itulah trofi terakhir yang dimenangkan Indonesia, dan sampai sekarang tidak ada satu pun trofi yang direbut di level senior.
Kemenangan melawan Malaysia kali ini memunculkan optimisme sekaligus kecemasan.
Optimisme muncul karena Indonesia bermain bagus melebihi ekspektasi banyak orang.
Optimisme muncul karena Indonesia menjadi kuda hitam yang bisa saja membuat kejutan besar menjadi juara. Sebuah mimpi yang sudah terpendam selama seperempat abad.
Kecemasan juga muncul dari kemenangan melawan Malaysia. Kenangan siklus 10 tahunan muncul menjadi kecemasan. Ketika itu, pada 2010 Indonesia tampil di final melawan Malaysia, tetapi kemudian kalah tragis dengan agregat skor 2-4.
Kenangan buruk itu terbawa berkepanjangan. Ada emosi dan misteri yang tidak terpecahkan sampai sekarang. Timnas Indonesia ketika itu diarsiteki oleh Alfred Riedl dari Austria.
Timnas Indonesia ketika itu menjadi tim terbaik di antara semua tim yang ada, dan sangat pantas menjadi juara, tetapi takdir berbicara lain.
Misteri itu terpendam selama 10 tahun dan tidak terungkap sampai sekarang. Ada ‘’invisible hand’’, tangan misterius, yang membuat Indonesia gagal menjadi juara. Ada ‘’devil’s hand’’ tangan setan yang membuat Indonesia gagal menjadi juara.
Dari segi apa pun ketika itu Indonesia adalah juara. Kualitas perorangan timnas Indonesia unggul dari tim mana pun. Striker naturalisasi Indonesia, Cristian Gonzalez, menjadi predator yang paling ditakuti lawan.
Faktor tuan rumah, bersama Vietnam, menjadi keunggulan non-teknis yang menguntungkan.
Dukungan antusias dari seluruh warga negara Indonesia menjadi dorongan moral yang dahsyat. Puluhan ribu suporter, yang menyesaki setiap jengkal tempat duduk di Gelora Bung Karno setiap kali timnas bermain, menjadi faktor pemain ke-12 yang membuat timnas Indonesia sangat ditakuti.
Di babak penyisihan Indonesia melibas Malaysia dengan skor meyakinkan 5-1. Indonesia mengungguli Thailand yang selalu menjadi favorit. Indonesia mengalahkan Filipina di semifinal dan melaju ke final menghadapi Malaysia yang menundukkan Vietnam.
Pertandingan final dilakukan dengan sistem ‘’home and away’’. Dengan semangat membara dan optimisme membuncah, disertai dukungan puluhan ribu suporter yang memenuhi Stadion Bukit Jalil di Kuala Lumpur, timnas Indonesia menjalani laga final leg pertama.
Hasilnya memble. Indonesia dihajar tiga gol tanpa balas. Semua lemas. Tidak percaya melihat permainan Indonesia, yang tiba-tiba berubah seperti anak-anak yang lagi belajar main bola di klub SSB (sekolah sepak bola).
Pemain depan Indonesia yang biasanya garang dan tajam mendadak lumpuh dan ompong. Barisan pertahanan yang biasanya kokoh tidak tertembus tiba-tiba rapuh dan keropos.
Masih ada kesempatan untuk membalas pada pertandingan final leg kedua di Jakarta. Namun, beban terlalu berat untuk membobol empat gol tanpa balas.
Setidaknya Indonesia harus mengulangi kemenangan 5-1 pada pertandingan penyisihan. Beban yang sangat berat dan hampir mustahil. Malaysia sudah di atas angin dan Indonesia sudah masuk angin.
Akhirnya Indonesia menang 2-1, tetapi tidak cukup untuk menjadi juara. Kapten Firman Utina punya kesempatan emas menendang penalti pada menit ke-18, tetapi gagal. Harapan yang sempat timbul harus tenggelam lagi.
Gelora Senayan pun senyap diliputi pertanyaan dan kecurigaan. Tangan setan yang tidak terlihat telah merusak harapan Indonesia. Ada campur tangan pejudi internasional yang menyogok timnas Indonesia dan menghancurkan harapan bangsa Indonesia.
Ada kecurigaan besar ketika pengurus teras PSSI masuk ke ruang ganti pemain Indonesia pada leg pertama. Kabarnya, sang pengurus itu menjadi bagian dari skema jahat mafia ‘’match fixing’’ yang menghancurkan sepak bola Indonesia.
Muncullah nama misterius ‘’Ali Cohen’’ yang mengirim surat kaleng kepada Presiden SBY. Cohen membeberkan kecurigaan adanya bandar judi internasional yang menyuap pengurus dan pemain-pemain Indonesia.
Ali Cohen mendesak SBY supaya turun tangan menyelidiki skandal pengaturan skor yang memalukan itu.
Sampai sekarang Ali Cohen tetap menjadi misteri. Pun pula kekalahan timnas Indonesia tetap menjadi misteri.
Kecurigaan terhadap skandal pengaturan skor oleh mafia sepak bola internasional sampai sekarang tetap menjadi rahasia. Keterlibatan pengurus PSSI dalam skandal itu juga tetap menjadi misteri yang terkubur menjadi rahasia abadi.
Beberapa pemain Indonesia yang dicurigai terlibat dalam matck fixing sudah mau buka-bukaan kepada media. Mereka menampik tuduhan itu. Pengurus teras PSSI yang disebut sebagai ‘’godfather’’ sepak bola Indonesia juga sudah sempat buka-bukaan kepada media.
Namun, tidak ada hasil yang konklusif. Sang ‘’godfather’’ itu hanyalah godfather kecil. Masih ada ‘’the real godfather’’ yang tidak pernah terungkap, meskipun mungkin semua orang tahu siapa dia.
Sepuluh tahun berlalu, kenangan buruk itu masih tetap ada. Sampai sekarang ancaman match fixing dari para mafia sepak bola masih tetap menjadi momok yang menakutkan. Bahkan, kali ini ancaman itu jauh lebih besar dari sebelumnya.
Berbagai pertandingan dalam kompetisi internal Liga 1 PSSI dicurigai telah disusupi mafia match fixing. Kinerja wasit-wasit Indonesia dalam kompetisi nasional menjadi sorotan, karena banyak keputusan kontroversial yang tidak masuk akal.
PSSI sudah menjatuhkan sanksi terhadap para pelaku match fixing di Liga 2 dan Liga 3. Namun, tindakan itu hanya terlihat sebagai lips service semata.
Tindakan yang lebih serius terhadap pelanggaran di Liga 1 masih belum dilakukan oleh PSSI dan hal itu menimbulkan pertanyaan besar yang tetap tidak terjawab.
Sepuluh tahun berlalu, tidak banyak perubahan yang terjadi. Tangan-tangan setan masih tetap bergentayangan. Ada tetapi tidak terlihat. Atau, ada, tetapi pura-pura tidak melihat, dan pura-pura tidak terlihat.
Kali ini pun boleh saja publik menggantungkan harapan tinggi kepada timnas Indonesia. Namun, jangan lupa, harus siap-siap patah hati lagi. Siklus 10 tahunan, mungkin, akan terulang lagi. (*)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror