jpnn.com, JAKARTA - Mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kerja Sama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tikki Pangestu menilai penggunaan bukti ilmiah dalam penyusunan kebijakan kesehatan belum menjadi pertimbangan utama di sebagian besar negara berpendapatan menengah ke bawah.
Kajian ilmiah seringkali dikalahkan oleh opini dan nilai-nilai subjektif lainnya.
BACA JUGA: Kesalahan Informasi Jadi Hambatan bagi Inovasi Tembakau Alternatif
"Bahkan ideologi mengalahkan fakta, kebenaran, dan bukti ilmiah,” kata akademisi dari National University of Singapore ini.
Tikki menjelaskan kondisi tersebut terjadi karena tiga alasan. Pertama, kurangnya bukti ilmiah yang mendalam dan relevan. Jika pun ada, jumlahnya terbatas, kurang komprehensif, dan tidak sesuai dengan kebutuhan pembuat kebijakan.
BACA JUGA: Indonesia Butuh Regulasi Khusus tentang Produk Tembakau Alternatif
Alasan selanjutnya adalah keterbatasan literasi ilmiah di kalangan para pembuat kebijakan. Menurut Tikki, hal tersebut dikarenakan mereka tidak memiliki latar belakang sains.
Akibatnya, ada kemungkinan, para pemangku kebijakan meremehkan hasil kajian ilmiah dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan.
BACA JUGA: Kebijakan Cukai Produk Tembakau Alternatif di Indonesia Harusnya Proporsional dengan Risikonya
"Benar kata John Maynard Keynes bahwa hal yang paling tidak disukai politisi ialah terlalu banyak informasi, sehingga pembuatan kebijakan menjadi rumit dan kompleks,” kata Tikki.
Alasan terakhir, Tikki mengatakan tidak semua pembuat kebijakan ingin menghasilkan beleid yang buruk. Bukti ilmiah seharusnya menjadi salah satu sumber yang dipertimbangkan.
Lingkungan yang anti-sains, kata Tikki, menyebabkan permasalahan terhadap kesehatan secara global.
Dia mencontohkannya dengan permasalahan jumlah perokok yang sudah mencapai satu miliar jiwa, di mana enam hingga tujuh juta orang meninggal karena penyakit yang berhubungan dengan merokok.
"Sebagai contoh, Indonesia saat ini memiliki lebih dari 60 juta perokok dan 68 persen di antaranya pria. Hampir 200 ribu kematian setiap tahun karena penyakit terkait merokok,” ujarnya.
Untuk mengatasi permasalahan merokok, Tikki mengungkapkan sejumlah bukti ilmiah sudah memaparkan bahwa pendekatan pengurangan risiko tembakau melalui penggunaan produk tembakau alternatif.
Salah satunya seperti produk tembakau yang dipanaskan dan rokok elektrik, memiliki 90-95 persen pengurangan kadar zat kimia berbahaya dan berpotensi berbahaya daripada rokok.
Namun, bukti-bukti ilmiah tersebut diabaikan. Tidak sejalan dengan kajian ilmiah yang sudah ada, kebijakan represif untuk melarang produk tersebut, pemberian denda, bahkan sanksi kurungan terhadap pengguna telah diterapkan atau sedang dipertimbangkan di banyak negara, termasuk Indonesia.
“Padahal, kebijakan represif macam itu, pada dasarnya, akan menyangkal hak perokok atas produk yang lebih rendah risiko bagi kesehatan mereka,” tegas Tikki.
Untuk menghapus lingkungan yang anti-sains, Tikki menyarankan agar meningkatkan literasi ilmiah di antara pembuat kebijakan. Kedua, meningkatkan akuntabilitas proses pengambilan keputusan untuk memastikan bukti yang ada akan diperhitungkan.
Ketiga, memfasilitasi dan melembagakan terjemahan pengetahuan serta komunikasi antara ilmuwan, pembuat kebijakan, konsumen, dan pemangku kepentingan lainnya.
Poin terakhir, bukti ilmiah dan data harus dikombinasikan dengan pendekatan yang lebih humanis agar kebijakan dan praktiknya berjalan efektif.
Pada akhirnya, diharapkan bukti dan ilmiah maupun hasil-hasil penelitian yang kredibel dapat menjadi basis dari formulasi regulasi yang ditetapkan di Indonesia.
“Yang lebih penting adalah memastikan fakta dipakai untuk membentuk kebijakan yang memperbaiki, bukan hanya kualitas kesehatan, tetapi juga kesetaraan kesehatan, terutama di negara berkembang. Pada akhirnya, semua ini bermuara pada seberapa besar kita menilai pentingnya sebuah penelitian ilmiah,” tutup Tikki.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy