jpnn.com - BANDA ACEH - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banda Aceh menjatuhkan hukuman enam tahun penjara terhadap terdakwa korupsi pengelolaan Rumah Sakit Arun, yakni mantan Wali Kota Lhokseumawe Suaidi Yahya.
Majelis hakim juga menghukum terdakwa Suaidi Yahya dengan pidana denda Rp 300 juta subsider tiga tahun penjara, serta membayar kerugian negara Rp 7 miliar. Jika tidak dibayar, maka terdakwa dipidana tiga tahun penjara.
BACA JUGA: Karen Agustiawan Bakal Segera Disidang terkait Kasus Korupsi LNG
Vonis tersebut dibacakan majelis hakim diketuai R Hendral pada persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banda Aceh, di Banda Aceh, Rabu (17/1).
Pada persidangan tersebut, Suadi Yahya mengikuti secara virtual dari tempat tidur di rumahnya karena sakit.
BACA JUGA: SPDP Dugaan Korupsi BNI KCP Bengkalis Dikembalikan Jaksa, Ini Respons Polda Riau
Terdakwa Suadi Yahya merupakan wali kota Lhokseumawe dua periode, yakni 2012-2017 dan 2017-2022.
Majelis hakim menyatakan terdakwa Suaidi Yahya terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 3 Juncto Pasal 18 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP.
BACA JUGA: Amiruddin Terpidana Korupsi Dana Desa Dijebloskan ke Lapas Banda Aceh
Berdasarkan fakta persidangan, majelis hakim menilai terdakwa Suadi Yahya selaku wali kota Lhokseumawe menyalahgunakan wewenang dalam mengelola Rumah Sakit Arun pada rentang waktu 2016-2022. Rumah sakit tersebut merupakan hibah dari PT Arun kepada Pemerintah Kota Lhokseumawe.
"Seharusnya, pengelolaan rumah sakit tersebut dikelola Pemerintah Kota Lhokseumawe melalui unit pelaksana teknis, bukan membentuk perusahaan untuk mengelolanya. Akibat kebijakan terdakwa tersebut telah menyebabkan kerugian keuangan negara," kata majelis hakim.
Majelis hakim tidak sependapat dengan kerugian negara seperti tuntutan jaksa penuntut umum Rp 44,9 miliar. Sebab, dari kerugian negara tersebut ada beberapa poin yang menjadi hak penerima, seperti biaya pengobatan direksi, uang tunjangan hari raya karyawan, dan lainnya.
"Uang tersebut digunakan untuk berbagai kebutuhan rumah sakit, sehingga dipandang sebagai pengeluaran rumah sakit. Namun, ada sebagian lainnya merupakan pembayaran tidak sah, sehingga patut dinyatakan sebagai kerugian negara," kata majelis hakim.
Sebelum memutuskan hukuman, majelis hakim mempertimbangkan hal memberatkan dan meringankan.
Hal memberatkan, terdakwa tidak mendukung upaya pemerintah memberantas tindak pidana korupsi.
Hal meringankan, terdakwa belum dihukum.
"Atas putusan ini, kami memberikan waktu selama tujuh hari kepada jaksa penuntut umum maupun terdakwa dan penasihat hukum, apakah menerima atau mengajukan banding," kata majelis hakim.
Putusan majelis hakim tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum.
Pada persidangan sebelumnya, JPU Uli Herman dan kawan-kawan menuntut terdakwa Suaidi Yahya dengan hukuman delapan tahun penjara serta denda Rp 500 juta subsider enam bulan penjara. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi