jpnn.com, JAKARTA - Tim Kuasa Hukum Sjamsul Nursalim, Maqdir Ismail menyesalkan dakwaan terhadap mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsjad Temenggung.
Menurut Maqdir sejatinya BLBI BDNI sudah tuntas 20 tahun silam melalui penandatanganan Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) atau Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) antara pemerintah (BPPN) dan SN.
BACA JUGA: Bang Otto Minta Audit BPK Dibuka di Sidang SKL BLBI
Maqdir menjelaskan bersamaan dengan closing MSAA pada tanggal 25 Mei 1999, BPPN dan Menteri Keuangan menerbitkan Surat Release and Discharge (R&D) untuk kliennya.
Dalam kalusal tersebut jelas menyatakan bahwa dengan telah diselesaikannya seluruh kewajiban oleh SN yang tercantum dalam MSAA pemerintah membebaskan dan melepaskan SN, Bank BDNI, direktur-direktur dan komisaris-komisarisnya dari setiap kewajiban lebih lanjut untuk pembayaran BLBI; pemerintah mengakui dan setuju tidak akan memulai atau melakukan tuntutan hukum apapun atau menjalankan hak hukum apapun yang dimiliki, bilamana ada, terhadap SN, Bank BDNI, para komisaris dan direkturnya, serta pejabat lainnya atas segala hal berkaitan dengan BLBI.
BACA JUGA: IAPP: Memberi Kepastian Hukum Dalam Pengembalian Aset Negara
"Pada tanggal yang bersamaan, pemerintah dalam Akta Notaris Nomor 48, tanggal 25 Mei 1999 ditandatangani oleh Ketua BPPN dan SN, menegaskan bahwa SN telah memenuhi seluruh kewajiban dan pemerintah telah memberikan surat R&D kepada SN," jelas Maqdir dalam keterangan tertulisnya, Rabu (4/7).
Magdir menambahkan utang petambak yang telah diperhitungkan dan diselesaikan melalui perjanjian MSAA 20 tahun yang lalu, tidak sepantasnya dipermasalahkan kembali dalam sidang perkara korupsi penerbita SKL BLBI dengan terdakwa Syafruddin.
BACA JUGA: Perkara Eks Ketua BPPN Tak Layak Disidangkan
Dia menilai hal tersebut tidak relevan lantaran dalam MSAA, yang ditandatangani dan ditutup saat Glenn Yusuf menjabat sebagai ketua BPPN, menjelaskan jikalau dikemudian hari ada perselisihan atau klaim harus dibicarakan oleh para pihak, dan apabila tidak terjadi kesepakatan maka perselisihan harus diselesaikan melalui pengadilan perdata.
"Sebelum adanya keputusan pengadilan berarti tidak ada misrepresentasi," terang Maqdir.
Maqdir juga heran setelah 20 tahun MSAA ditandatangani dan tidak pernah ada keputusan pengadilan yang menyatakan terdapat misrepresentasi dalam perjanjian MSAA, belakangan di persidangan Syafruddin jaksa KPK mengungkit dan mengatakan adanya
misrepresentasi.
Maqdir curiga cara-cara tersebut bertujuan membentuk opini masyarakat untuk menyudutkan pihak tertentu. Padahal BPK dalam Laporan Audit Investigasi atas Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham PT BDNI tanggal 31 Mei 2002, menyatakan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh, BPK-RI berpendapat bahwa PKPS BDNI telah Closing tanggal 25 Mei 1999.
Dalam laporan BPK tahun 2006 dalam rangka pemeriksaan atas laporan pelaksanaan tugas BPPN tanggal 30 Nopember 2006, juga menyatakan BPK berpendapat bahwa SKL tersebut layak diberikan kepada pemilik saham BDNI, karena pemilik saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam perjanjian MSAA dan perubahan perubahannya serta telah sesuai dengan kebijakan Pemerintah dan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002.
"Perkara ini menjadi janggal dan terkesan dipaksakan lantaran pada tahun 2017 atas permintaan KPK, BPK mengeluarkan laporan Audit Investigasi," ujar Maqdir.
Maqdir Ismail menyatakan laporan Audit 2002 dan 2006 sejalan dan konsisten satu sama lain, namun audit 2017 sama sekali bertolak belakang dengan kedua audit terdahulu. Padahal yang menerbitkan semua audit tersebut adalah institusi yang sama. Ini menyangkut reputasi dan kredibilitas BPK.
Belum lagi adanya pertentangan dalam aturan BPK terkait bukti yang diaudit. Hal ini tertuang pada halaman 13 Bab II angka 6 laporan BPK tersebut, berjudul Batasan Pemeriksaan dinyatakan pemeriksaan investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara ini berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh melalui penyidik KPK sampai dengan tanggal 25 Agustus 2017.
"Artinya itu data sekunder bukan data primer dan tidak ada yang diperiksa (auditee). Hal ini bertentangan dengan peraturan BPK sendiri. Dan kini laporan investigasi tersebut dipergunakan sebagai dasar dakwaan kasus SAT. Dimana independensi dan keadilannya?" pungkas Maqdir. (nes/rmol)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Raih WTP, Pertanda KLHK Tertib Atur Anggaran
Redaktur & Reporter : Adil