jpnn.com, JAKARTA - Kuasa hukum pemilik saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim, Otto Hasibuan, menilai sudah sepatutnya sidang perkara korupsi SKL BLBI membuka secara detail isi audit BPK tertanggal 31 Mei 2002.
Pernyataannya merujuk pada keterangan di sidang Kamis (28/6) lalu yang mengungkapkan bahwa SKL BLBI sesuai dengan Perjanjian Induk/Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA).
BACA JUGA: IAPP: Memberi Kepastian Hukum Dalam Pengembalian Aset Negara
Dalam sidang tersebut mantan Menteri Keuangan Bambang Subianto serta mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Glenn Muhammad Surya Yusuf dan mantan Wakil Ketua BPPN, Farid Harianto mengakui telah memberikan release and discharge atau pemberian pembebasan dan pelepasan dari tuntutan hukum terhadap pemilik saham BDNI dalam penyelesaian BLBI.
Menurut Otto dalam dokumen tersebut audit investigasi BPK menyatakan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) BDNI telah selesai atai final closing 25 Mei 1999.
BACA JUGA: Penerbitan SKL BLBI Sesuai Perjanjian Induk
Otto menjelaskan pemilik saham BDNI dan BPPN telah sepakat syarat utama closing yaitu pembayaran setara Rp 1 triliun serta syarat-syarat lainnya. Seperti pendirian holding company (PT TSI), transfer aset melalui pembuatan transfer shares agreement yang disertai deed of transfer kepada PT TSI, penerbitan escrow account serta penerbitan promissory note oleh PT TSI kepada BPPN.
"Dalam audit investigasi tersebut BPK juga menegaskan dengan adanya surat pernyataan (letter of statement) yang dibuat antara BPPN dan PS BDNI pada tanggal 25 Mei 1999 di hadapan Notaris Merryana Suryana, BPPN menyatakan bahwa transaksi-transaksi yang tertera dalam MSAA telah dilaksanakan oleh Sjamsul Nursalim," ujar Otto sambil mengutip laporan audit BPK saat dikonfirmasi wartawan, di Jakarta, Minggu (1/7).
BACA JUGA: Korban KM Sinar Bangun Ditawari Bantuan Hukum Gratis
Otto menjelaskan bahwa terkait verifikasi dan klarifikasi terhadap set off group deposit dan pembayaran pesangon karyawan BDNI dengan pembayaran suatu yang setara dengan Rp1 triliun.
Menurut Otto masalah crossing/balik nama saham perusahaan akuisisi, semata-mata merupakan masalah administratif yang seharusnya tidak secara signifikan menghambat closing MSAA-BDNI tanggal 25 Mei 1999.
Lebih lanjut, Otto menegaskan bahwa pernyataan BPK selaras dengan ketentuan Pasal 7.9 MSAA yang mengatur Post Closing Cooperation yang menentukan penyempurnaan pengalihan saham dapat diakukan setelah Closing.
Dia juga mengungkapkan, BPK dalam auditnya juga menyatakan BPPN tidak konsisten dalam menyikapi masalah pemenuhan kewajiban yang telah dilaksanakan oleh pemegang saham, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai closing date.
Dijelaskan Otto, dalam audit investigasi BPK tahun 2002 terungkap Jaksa Agung mengetahui rencana penyelesaian diluar pengadilan sebagaimana terlihat dari surat Jaksa Agung kepada Presiden Republik Indonesia No. R.192/A/G11/9/1998 tanggal 23 September 1998 perihal Laporan Akhir Hasil Kegiatan Non Litigasi terhadap 14 Bank Bermasalah (BBO/BTO) termasuk BDNI oleh Tim Kejaksaan dan BPPN.
Dalam surat tersebut, Jaksa Agung menyatakan perlu adanya kearifan dan kebijaksanaan pemerintah dengan memperhatikan situasi moneter dan perekonomian nasional saat itu yang menyebabkan debitur tidak mungkin menyelesaikan pembayaran atau pengembalian secara tunai.
"Penilaian aset yang diserahkan juga diminta ditangani secara arif dan bijaksana sehingga dapat dihindari tindakan yang tidak menguntungkan perekonomian nasional," kata Otto.
Selain itu, sambung Otto diungkapkan pula dalam Rapat Koordinasi Bidang Pengawasan Pembangunan tanggal 21 Agustus 1998 yang memutuskan penyelesaian kewajiban pemegang saham BBO/BTO dilakukan melalui jalur komersial atau di luar pengadilan.
Keputusan tersebut diambil setelah mendengar penjelasan Jaksa Agung Muda Tata Usaha Negara Suhanjono yang antara lain menyatakan bahwa proses hukum atas dugaan pelanggaran BMPK akan berjalan lama dan tidak jelas tingkat pengembalian komersialnya.
Dalam dokumen audit tersebut juga terungkap bahwa Finansial Advisor BPPN melalui memo tertanggal 15 Maret 1999 kepada Ketua BPPN yang menyatakan bahwa saldo kredit kepada petani tambak udang sebesar Rp 4,8 triliun dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmaja melalui pola Tambak Inti Rakyat (TIR) khusus yang didukung oleh Pemerintah melalui Bank Indonesia dan bank-bank lain yang ditunjuk.
"Jadi disampaikan dalam memo tersebut kredit kepada petani tambak dikategorikan sebagai kredit tidak terkait karena kekhususannya, yaitu bahwa kredit tersebut diberikan kepada petani plasma, yang merupakan salah satu program pemerintah dalam rangka pemberdayaan petani tambak, dengan komponen pond buy back sebagai jaminan," ujar Otto. (fiq/rmol)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Otto: BDNI Tak Salurkan Dana BLBI ke Grup Sendiri
Redaktur & Reporter : Adil