jpnn.com, JAKARTA - Melonjaknya harga obat dan oksigen untuk penanganan Covid-19 mendorong aparat kepolisian gencar melakukan operasi terhadap para pelaku penimbunan.
Menanggapi hal ini, pakar pidana korporasi Ari Yusuf Amir menekankan pentingnya penegakan hukum terkait pertangungjawaban pidana bagi korporasi penimbun barang.
BACA JUGA: Mantap! Panglima TNI Sidak Tempat Penyimpanan Obat di Banten
“Seharusnya penegakan hukum tidak hanya menyasar pelaku individu ataupun perorangan. Namun juga menyasar korporasi jika korporasi terbukti merencanakan penimbunan maka harus diproses sebagaimana mestinya,” kata Ari.
Peraih gelar doktor ilmu hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang disertasinya membahas pidana korporasi ini mengatakan, sejak awal pandemi pada awal tahun 2020 lalu, selain dihantui kecemasan tertular virus, masyarakat juga masih harus menanggung penderitaan yang lebih parah karena kelangkaan barang, obat, dan alat kesehatan yang dibutuhkan baik untuk preventif maupun restoratif.
BACA JUGA: Pemerintah Tambah Jumlah Paket Obat dan Bantuan untuk Masyarakat
“Biasanya tindakan menimbun dilakukan bila ada situasi genting, seperti gejolak sosial-politik maupun wabah penyakit. Oleh sebab itu pemerintah telah mengeluarkan beberapa undang-undang terkait masalah penimbunan,” kata Ari.
Pertama adalah UU N0 29 tahun 1948 tentang Pemberantasan Penimbunan Barang Penting. Dalam undang-undang tersebut, yang dimaksud penimbun adalah siapapun selain pedagang (atau petani) yang mempunyai atau menyimpan barang penting lebih daripada guna pemakaian sendiri (Pasal 2). Ancaman pidananya adalah penjara selama 5 tahun dan denda.
BACA JUGA: Polres Cianjur Menangkap Bandar Obat Terlarang
Kemudian lahir UU No 1 tahun 1953, Jo UU No 17/Drt/1951. Dalam undang-undang tersebut diatur ketentuan tentang penimbunan, yaitu dilarang mempunyai persediaan barang dalam pengawasan dengan tiada surat izin oleh Menteri atau instansi yang ditunjuk olehnya sejumlah yang lebih besar daripada jumlah yang ditetapkan pada waktu penunjukan barang itu sebagai barang dalam pengawasan (Pasal 2).
Kedua undang-undang tersebut merupakan respon atas kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami penurunan secara drastis dikarenakan tingkat inflasi dunia yang sangat tinggi, rusaknya pelaksanaan perlengkapan sandang pangan, dan di samping banyaknya kejahatan-kejahatan di bidang ekonomi yang dilakukan oleh para pejabat negara maupun masyarakat seperti penimbunan barang, pencatutan, dan lain sebagainya.
Pasal 1 Perpres. No 71 tahun 2015 : Barang Kebutuhan Pokok adalah barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat. Barang Penting adalah barang strategis berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional.
Lebih tegas, Pasal 29 ayat (1) UU perdagangan mengatur pelaku usaha dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang.
Larangan tersebut dimaksudkan untuk menghindari adanya penimbunan barang yang akan menyulitkan konsumen dalam memperoleh barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting.
Alat kesehatan termasuk oksigen ada dalam cakupan berbagai undang-undang tersebut. Tindakan penimbunan dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan memanfaatkan kondisi kedaruratan, bukan hanya membahayakan nyawa orang lain, tetapi juga mengakibatkan gejolak ekonomi, dan pada ujungnya akan membahayakan pemerintahan yang sah, karena akan muncul anggapan publik bahwa pemerintah tidak becus menangani masalah kedaruratan. Oleh sebab itu perlu upaya-upaya hukum maksimal untuk mengganjar pelaku.
Dari berbagai undang-undang dan peraturan di atas, yang dimaksud pelaku adalah orang perorangan atau badan hukum (korporasi). Terhadap pelaku penimbunan dapat dikenai sanksi berupa sanksi pidana kurungan, denda, maupun sanksi administrasi.
Terhadap pelaku yang berupa badan usaha, maka korporasi yang telah diakui sebagai subjek hukum, dianggap dapat melakukan perbuatan pidana dan karena itu dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Korporasi sebagai subjek pidana dan karena itu bisa dimintai pertanggungjawaban pidana telah diadopsi dalam sistem hukum di Indonesia dengan diundangkannya UU No. 17 tahun 1951 tentang Penimbunan Barang. Meskipun demikian, sistem ini baru dikenal luas dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi pada tahun 1955.
Pasal 15 Undang-Undang No 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi mengatur hal berikut ini:
“Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya”.
Menggunakan ketentuan Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, maka antara korporasi dan pengurus dapat dijadikan sebagai subjek hukum baik sebagai “pelaku”, “menyuruh” atau “turut serta” melakukan tindak pidana.
Bila pengurus menjadi pelaku, maka korporasi dapat menjadi pihak yang “menyuruh” atau “turut serta”. Sedang bila korporasi sebagai pelaku, maka pengurus dapat saja menjadi pihak yang “turut serta” atau “membantu” sebagaimana dimaksud pada Pasal 56 KUHP.
Pertanyaan kemudian, siapakah yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana mewakili korporasi sebagai subjek hukum? Apakah hanya pengurus? Atau dapatkah “pejabat tinggi” korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana?
Ari menjelaskan dalam praktek bisnis sudah lazim terjadi pemegang saham mempengaruhi pengurus korporasi untuk melakukan perbuatan untuk kepentingan pemegang saham. Para pemegang saham pengendali melalui RUPS menempatkan orang-orang sebagai direksi dan komisaris. Orang-orang yang oleh pemegang saham pengendali diberi jabatan strategis ini tidak lain adalah boneka dari pemegang saham pengendali dan menjalankan kebijakan pemegang saham pengendali tersebut.
“Hal itu dilakukan oleh pemegang saham, untuk memanfaatkan celah dalam UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Doktrin yang digunakan dalam UU No. 40 tahun 2007 adalah corporate veil, pemegang saham perseroan hanya bertanggung jawab atas saham yang disetor, dan melimpahkan beban pertanggungjawaban pidana kepada pengurus,” ujarnya.
Dengan doktrin corporate veil tersebut, Ari menjelaskan, para pemegang saham mempunyai peluang dalam melakukan tindakan hukum, antara lain: Menjadikan korporasi sebagai vihicle, menganggap direksi dan komisaris seakan-akan sebagai “pegawai” pemegang saham yang harus tunduk dan patuh pada pemegang saham. Mengambil kebijakan yang menjadi wewenang direksi dan/atau dewan komisaris. Maraknya perjanjian nominee saham, untuk mengelabui kepemilikan saham yang sebenarnya. Membentuk holding company di bawah pengendalian ultimate shareholder.
Melihat kasus penimbunan barang berupa obat dan alat kesehatan, meski perbuatan tersebut dilakukan oleh pengurus, namun tidak menutup kemungkinan perbuatan pengurus itu atas perintah pemegang saham, sebagaimana pernah terjadi dalam beberapa kasus perbankan dan pembakaran lahan di tanah air. Karena pihak yang paling diuntungkan terhadap laba korporasi adalah pemegang saham. Dengan demikian, ada baiknya Polri tidak hanya menyidik pengurus namun juga pemegang saham.
Meminta pertanggungjawaban pidana pemegang saham, juga diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UU No 40 tahun 2007, dengan dimasukkannya doktrin piercing the corporate veil. Diadopsinya doktrin piercing the corporate veil dan dengan pendekatan hukum menggunakan doktrin alter ego memberi peluang pemegang saham yang melakukan penimbunan barang dan alat kesehatan yang melampaui kewenangannya (ultra vires) dan menggunakan korporasi untuk melakukan tindak pidana, dapat dimintai pertanggungjawaban.
“Terhadap kasus penimbunan barang dan alat kesehatan, maka perlu diterapkan sanksi hukum maksimal, karena kejahatan tersebut bisa membahayakan keselamatan negara,” kata Ari.
Korporasi yang melakukan tindak pidana dan/atau digunakan oleh pemegang saham untuk melakukan perbuatan pidana, maka terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana itu perlu dipidana dengan pidana pokok berupa denda, pidana tambahan berupa kewajiban menyerahkan seluruh keuntungan yang diperoleh selama masa korporasi tersebut melakukan tindak pidana.
Sanksi pidana tambahan juga bisa berupa menyita seluruh aset korporasi untuk negara, dan terhadap korporasi penimbun barang dan alat kesehatan dilarang melakukan kegiatan tertentu baik sementara maupun selamanya. “Terhadap pemegang saham, selain pidana kurungan dan denda, dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa larangan (selamanya atau dalam jangka waktu tertentu) menjadi pemegang saham di korporasi lain,” ujar Ari. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil