jpnn.com, JAKARTA - Indonesia masih dihadapkan pada masalah stunting (gizi buruk kronis).
Saat ini, sembilan juta atau lebih dari sepertiga jumlah balita (37, 2 persen) di Indonesia menderita stunting.
BACA JUGA: Kasus Gizi Buruk tak Hanya Terjadi di Asmat, Ini Buktinya
Kondisi ini bisa disebut sudah gawat darurat. Dengan jumlah penderita sebesar itu, Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Kamboja (41 persen), Laos (44 persen) dan Timor Leste (58 persen) yang mengalami masalah stunting di kawasan Asia Tenggara.
Stunting adalah kekurangan gizi pada balita yang berlangsung lama dan menyebabkan terhambatnya perkembangan otak dan tumbuh kembang anak.
BACA JUGA: Turun ke Asmat, Unhas Dapat Rp 100 Juta dari Mensos
Stunting disebabkan oleh kekurangan gizi pada 1000 hari pertama kehidupan, dari janin hingga usia 24 bulan.
Kondisi ini menyebabkan perkembangan otak dan fisik terhambat, rentan terhadap penyakit, sulit berprestasi, dan saat dewasa mudah menderita obesitas sehingga berisiko terkena penyakit jantung, diabetes, dan penyakit tidak menular lainnya.
BACA JUGA: Mensos Ajak Mahasiswa Unhas ke Asmat, BEM UI Kapan?
Dari laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan pada 2013, penderita stunting tertinggi terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebanyak 51,73 persen.
Jumlah ini diikuti oleh Sulawesi Barat (48,02 persen), Nusa Tenggara Barat (45,26 persen), Kalimantan Selatan (44,24 persen), dan Lampung (42,63 persen).
Adapun masalah stunting terendah berada di Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Kalimantan Timur dengan angka kurang dari 30 persen.
Ketua Bidang Ilmiah Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) Dr. Atmarita, MPH mengatakan anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif enam bulan sangat berisiko mengalami stunting.
“Setelah usia enam bulan, berikan makanan pendamping ASI yang benar-benar diperhatikan nutrisinya,” katanya di Jakarta, 27 Maret 2018.
Selain asupan gizi, kata Atmarita, stunting juga bisa ditimbulkan dari kondisi kesehatan perempuan sejak masih dalam konsepsi.
“Masa emas dan kritis stunting dimulai dari masa konsepsi. Maksudnya, jika perempuan itu dalam kondisi benar-benar sehat dan matang saat berhubungan seksual, maka anak yang dilahirkan juga sehat,” katanya.
Kondisi perempuan sehat itu bertinggi badan di atas 150 cm, tidak anemia, tidak memiliki penyakit, dan berat badan ideal atau indeks massa tubuh di atas 18,5.
Pernikahan dini, kata Atmarita, juga bisa memicu stunting. “Semakin muda seorang perempuan menikah, maka makin tinggi risiko anaknya mengalami stunting, antara lain karena organ-organnya belum siap untuk melahirkan anak,” kata dia.
Menurut Atmarita, ada baiknya perempuan diedukasi agar tidak melakukan pernikahan diri dan mengutamakan pendidikan.
“Semakin rendah pendidikannya, dia tidak tahu bagaimana memberikan asupan gizi pada anak yang benar, sehingga besar potensi bayinya mengalami stunting," tutur Atmarita.
Dari data yang dihimpun Persagi pada 2013, tingkat pendidikan ibu juga turut mempengaruhi peluang anak lahir dengan berat badan lahir rendah dan bertubuh pendek.
“Risiko ibu berpendidikan rendah untuk melahirkan anak stunting sebesar 42,7 persen sedangkan ibu dengan pendidikan tinggi berisiko melahirkan anak stunting sebesar 33,8 persen.”
Guna membahas penanggulangan stunting, Rabu 28 Maret 2018, digelar Stunting Summit di Hotel Borobudur, Jakarta.
Dihadiri oleh pihak-pihak berkompeten, baik dari pemerintah pusat, pemerintah darah serta organisasi masyarakat.
Rencananya, Wakil Presiden Jusuf Kalla akan membuka acara ini. Sebagai bagian dari Stunting Summit, sebelumnya juga digelar Rembug Stunting. (flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Evaluasi Dana Otsus Papua, Gerindra: Pemerintah Lagi Panik
Redaktur & Reporter : Natalia