Masih Ada Akal-akalan Demi Kaesang & Anies tetap Terjegal?

Jumat, 23 Agustus 2024 – 09:30 WIB
Dokumentasi - Presiden RI Joko Widodo saat bertemu dan minum teh bersama dengan sejumlah pengurus PSI, di antaranya Ketum Kaesang Pangarep, dan sejumlah kader muda PSI di Braga Permai, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (3/2). Ilustrasi : Source for JPNN

jpnn.com - Demo besar-besaran mahasiswa dan berbagai elemen rakyat menentang penetapan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah atau RUU Pilkada menjadi UU oleh DPR RI pada Kamis (22/8/2024), sukses!

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad pun sudah membuat pernyataan bahwa lembaganya bakal menaati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pelaksanaan Pilkada serentak 2024.

BACA JUGA: PDIP seperti Dapat Durian Runtuh, Pendukung Anies Berpesta

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait revisi Undang-undang (UU) Pilkada di kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (22/8). Dasco menyatakan pengesahan revisi UU Pilkada batal dan saat pendaftaran calon kepala daerah dalam Pilkada pada 27 Agustus 2024 yang akan berlaku adalah keputusan judicial review Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan Partai Buruh dan Partai Gelora.

Pernyataan itu disampaikan Dasco yang juga ketua harian DPP Partai Gerindra, Kamis malam, setelah sidang paripurna DPR yang sedianya digelar demi mengesahkan revisi UU Pilkada, batal terlaksana lantaran peserta rapat tidak kuorum.

BACA JUGA: Konon Sikap PDIP Ini Bisa Jadi Jebakan Batman untuk Kaesang

Dasco menyampaikan itu saat kompleks parlemen di Senayan, Jakarta, masih dikepung ribuan massa yang menolak penetapan UU Pilkada.

Penolakan rakyat muncul setelah DPR melalui badan legislasi (baleg) bersama pemerintah, mendadak membahas lagi RUU Pilkada yang dianggap masyarakat sebagai upaya mengakali dua putusan MK terkait pengujian UU Pilkada, Selasa (20/8/2024).

BACA JUGA: Peluang Anies Diusung PDIP Tipis, Ada Opsi Lain, tetapi Juga Berat

Diketahui, MK pada Selasa kemarin membuat dua putusan dengan masing-masing bernomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024.

Putusan nomor 60 berisikan tentang syarat partai untuk bisa mengusung kandidat, sedangkan nomor 70 soal batas usia minimal calon kepala daerah.

MK dalam putusan nomor 60 menyatakan partai atau gabungan parpol harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5 persen pada pileg Tingkat I agar bisa mengusung pasangan cagub-cawagub di provinsi dengan daftar pemilih 6-12 juta jiwa.

Sementara itu, putusan nomor 70 menegaskan semua persyaratan calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7 UU Pilkada harus dipenuhi sebelum dilakukan penetapan calon kepala daerah.

Sejumlah massa menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Kamis (22/8). Aksi tersebut sebagai penolakan terhadap revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).

Namun, DPR dan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui revisi UU Pilkada menyepakati hal berbeda dengan putusan MK.

DPR akan memutuskan hanya tunduk pada putusan Mahkamah Agung (MA):

Pertama, umur calon kepala daerah minimal 30 tahun dihitung saat pelantikan –bukan saat pendaftaran calon seperti putusan MK.

Kedua, untuk mengusung calon kepala daerah, partai atau gabungan partai harus memperoleh suara 20 persen seperti yang berlaku selama ini. Putusan MK Selasa lalu hanya berlaku bagi partai non-parlemen. Tidak berlaku bagi partai yang lolos ke parlemen.

Nah, kolumnis kondang Dahlan Iskan yang telah mengulas masalah ini dalam dua esai sebelumnya berjudul Gempa MK dan Anti-Gempa, kembali menurunkan tulisan terbaru.

"Baik manakah akal-akalan tetapi masuk akal dengan akal-akalan yang tidak masuk akal? Tentu Anda pilih yang fair. Tanpa akal-akalan. Masalahnya: politik itu penuh akal-akalan. Kadang kita dihadapkan pada pilihan di atas. Adakah akal-akalan yang masuk akal? Ada," demikian tulisan Dahlan, Disway berjudul Akal-akalan, edisi Jumat (23/8/2024).

Menurut Dahlan, yang tahu soal akal-akalan tetapi masuk akal itu hanya satu orang, yakni si pengacara banyak akal bernama Boyamin Saiman. Pria asal Solo yang berkali-kali mengajukan gugatan ke MK dalam banyak hal.

Konon hobi Boyamin menggugat itu diwarisi anak sulungnya Almas, yang kini jadi pengacara di Balikpapan. Gara-gara gugatan Almas-lah Gibran memenuhi syarat jadi wakil presiden.

"Pun anak kedua dan ketiga Boyamin juga menggugat ke MK. Gara-gara gugatan anak Boyamin itu Kaesang Pangarep gagal jadi calon gubernur Jateng," ujar Dahlan dalam esainya.

Dahlan menilai DPR kelihatan marah atas putusan MK Selasa lalu itu. Keesokan harinya Baleg DPR bersidang. Putusan kilatnya: tidak mau melaksanakan putusan MK, pilih menggunakan putusan Mahkamah Agung (MA) -baca Disway berjudul Anti-Gempa.

Menurut Dahlan, Boyamin berpendapat bahwa kalaupun pengesahan RUU Pilkada kemarin tidak batal, putusan DPR itu akan sia-sia, bahkan mencelakakan Kaesang Pangarep bin Joko Widodo, sekaligus menguntungkan PDI Perjuangan. Sebab, andaipun Kaesang menang, PDIP berpotensi menang gugatan di MK.

Sebenarnya Boyamin punya cara lain yang kelak tidak akan bisa disemprit oleh MK. "Cara ini juga akal-akalan, tetapi lebih masuk akal," begitu Dahlan mengutip ucapan Boyamin yang dihubunginya malam tadi.

"Boyamin mengirimkan voice message ke saya. Isinya tentang akal-akalan tetapi masuk akal," lanjut Dahlan Iskan.

Jadi, kata Boyamin, DPR jangan pakai putusan MA. Lebih baik membuat putusan sendiri. Yakni melahirkan UU Pilkada yang tidak bertentangan dengan putusan MK.

Bisa? Ada jalan? "Bisa. Ada jalan, tetapi sekali lagi, rakyat juga akan menilai ini akal-akalan," begitu kata Boyamin.

DPR, katanya, harus pakai asas kesetaraan, keadilan, dan kepastian hukum. Dalam hal umur calon kepala daerah, misalnya, DPR bisa menentukan sendiri umurnya.

"Seharusnya putuskan saja syarat umur minimal 25 tahun. Itu memenuhi asas kesetaraan. Pakailah asas itu. Yakni setara dengan putusan MK ketika menerima gugatan Almas," Dahlan mengutip pendapat Boyamin Saiman.

Dengan demikian, maka Kaesang yang sudah berumur 29 tahun, memenuhi syarat jadi calon wakil gubernur Jateng tanpa takut kelak digugat ke MK.

Boyamin juga mengingatkan bahwa rezim sekarang ini adalah rezim Pilkada. Bukan Pilgub atau Pilwali/Pilbup. Tidak perlu membedakan antara gubernur dan wali kota/bupati. Sekarang ini gubernur bukan lagi atasan bupati/wali kota. Harus dibuat setara.

"Di sini MK punya kelemahan," Dahlan menirukan ucapan Boyamin.

Lalu bagaimana akal-akalan yang masuk akal agar Anies Baswedan tidak bisa maju sebagai calon gubernur Jakarta dari PDI Perjuangan?

Menurut Dahlan, Boyamin ternyata juga punya caranya, yaitu DPR justru harus mengubah persyaratan calon independen. Menjadi sama: 20 persen. Disetarakan dengan syarat calon dari parpol atau gabungan parpol.

"Maka di UU Pilkada yang baru seharusnya syarat calon independen dibuat 20 persen dari jumlah pemilih," Dahlan mengutip omongan Boyamin.

Memang, calon independen jadi korban akal-akalan ini. Akan tetapi ada logikanya. Namun, dengan begitu UU Pilkada yang baru tidak akan dibatalkan MK.

"Jadi, mana yang lebih baik? Para politisi di DPR ternyata belum bisa disebut banyak akal," kata Dahlan dalam esainya.

Sekadar catatan, masa pendaftaran calon kepala dan wakil kepala daerah di Pilkada serentak berlangsung pada 27-29 Agustus 2024. Apa pun masih bisa terjadi menjelang tanggal itu.(disway/jpnn.com)


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler