Masih Banyak Potensi Perkebunan di NTT

Kamis, 23 Februari 2017 – 20:02 WIB
Dirjen Perkebunan, Bambang dan Gubernur NTT Frans Lebu Raya. Foto: Humas Kementan

jpnn.com - jpnn.com - PDB perkebunan setiap tahun berjumlah Rp 411,86 triliun yang dihasilkan dari 15 komoditi utama perkebunan dari 127 komoditi yang dibina Ditjenbun.

Jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai 23,38 juta KK di bidang budidaya saja.

BACA JUGA: Optimistis Capai Target Serap Gabah Petani 8,6 Juta Ton

Sedangkan jumlah yang ketergantungan bidang lain mencapai 100 juta KK.

Dari 100 juta KK ini maka setengah penduduk Indonesia hidupnya tergantung pada perkebunan.

BACA JUGA: Kementan Serap 8,6 juta Ton Gabah selama 6 Bulan

Dirjen Perkebunan, Bambang, menyatakan hal ini pada Rapat Koordinasi dan Konsultasi Pembangunan Perkebunan 2017 di Kupang, NTT.

Padahal dengan uang yang dihasilkan sebesar itu, hampir semua komoditas masih jauh dari potensi produksinya.

BACA JUGA: Kementan Luncurkan Varietas Ayam Lokal Pedaging Unggul

Contohnya kelapa, rata-rata produktivitas nasional 1,1 ton/ha, padahal potensi produksinya 3,5 ton/ha.

Petani kelapa di NTT hanya 700 kg/tahun , maka potensi kehilangannya masih sangat besar.

Nilai Tukar Petani (NTP) perkebunan, menurut data Badan Pusat Statistik, Agustus 2016 yaitu 98,01 persem, September sebanyak 98,14 persen dan Oktober 98,64 persen.

“Ini artinya petani perkebunan masih rugi. Petani perkebunan NTT NTP Agustus 96,32, September 96,72 dan Oktober 97,84. Karena itu bila perkebunan dengan serius dibangun di NTT bisa meningkatkan perekonomian sampai 200%,” katanya.

NTT setiap tahun menghasilkan pendapatan dari 10 komoditi Rp2,5 triliun dengan produktivitas yang rendah potensi kehilangan hasil di NTT mencapai Rp3,5 triliun.

Kelapa menghasilkan Rp377 miliar dan potensi kehilangan hasilnya Rp1,4 triliun.

Karena itu, perkebunan harus dikelola dengan baik supaya potensi kehilangan hasilnya bisa ditekan.

Tahun ini Kementerian Pertanian mendapat anggaran Rp22 triliun padahal ada tugas besar mencapai swasembada padi, jagung dan kedelai.

Anggaran sebesar itu tidak cukup, bahkan Rp50 triliun saja tidak cukup.

Karena itu pada 2017 anggaran Ditjenbun hanya Rp490,963 miliar dan alokasi anggaran untuk perkebunan di NTT Rp8,955 miliar yang diantaranya digunakan untuk peremajaan kelapa, intensifikasi kopi Arabika dan lain-lain.

Masih banyak potensi yang bisa dikembangkan di NTT. Masuknya investor PT Muria Sumba Manis di Sumba Timur mengembangkan tebu dan Pabrik Gula (PG) merupakan kesempatan untuk mendapatkan alokasi dana lebih besar.

“Saat ini Presiden dan Menteri Pertanian sangat senang bila ada pembangunan PG untuk mencapai swasembada gula. Bupati Sumba Timur bisa ajukan ke pusat soal investasi baru ini nanti pasti Ditjenbun ditugaskan untuk membantu petani tebu,” imbuhnya.

NTT juga ada pengembangan kopi di Ngada yang saat ini luasnya mencapai 6.000 ha.

“Kopi saat ini merupakan komoditas yang seksi di dunia. Warung kopi berkembang di mana-mana. NTT bisa menangkap peluang ini dengan meningkatkan kualitas kopinya melalui spesialisasi kopi, kopi organik dan indikasi geografis,” paparnya.

Selain itu, untuk kopi bisa dipadukan dengan agrowisata. Sentra-sentra perkebunan lain yang berdekatan dengan kawasan pariwisata alam bisa dijadikan agrowisata perkebunan berbasis pariwisata alam.

Kakao juga permintaan sangat bagus sehingga bisa terus dikembangkan di NTT.

Masalah ketersediaan air bisa diatasi dengan membangun embung dan rorak-rorak untuk menampung air laut.

“Apalagi Gubernur NTT punya program jangan sampai air hujan langsung mengalir ke laut sebelum dimanfaatkan seoptimal mungkin,” katanya.

Aren juga sangat bagus dikembangkan di daerah aliran sungai.

Pemerintah akan mengembangkan ini sehingga dinas yang membawahi perkebunan diminta mengidentifikasi DAS mana saja yang bisa dimanfaatkan untuk aren.

Vanili yang sekarang harganya sedang tinggi yaitu Rp7 juta/kg tetapi sulit dicari, bisa dikembangkan lagi.

Pengalaman vanili ini tidak boleh terjadi pada komoditas perkebunan lainnya.

Gubernur NTT, Frans Lebu Raya menyatakan perkebunan menyumbang 4,1% dari PDRB.

Dominan perkebunan rakyat dengan jumlah petani pekebun 960.751 KK.

Jambu mete merupakan komoditas utama dengan luas areal 166.681 ha, merupakan yang terluas di Indonesia.

Masalahnya produksi jambu mete terus turun sehingga perlu ada peremajaan.

Hal serupa terjadi pada kelapa, dengan luas areal 139.818 ha atau nomor 8 di Indonesia, produksinya juga terus menurun dan perlu diremajakan.

Kopi luas lahan di NTT 65.505 ha dan menduduki posisi nomor 8 di Indonesia.

Sedang kakao luas areal 53.530 ha dan nomor 10 di Indonesia.

NTT juga cocok untuk kapas dan saat ini ada investor yang masuk mau menanam kapas.

“Mudah-mudahan kapas ke depan jadi komoditas andalan untuk mengurangi ketergantungan pada impor,” katanya.

Kemiri juga di beberapa tempat dibiarkan saja sebagai persiapan jika menghadapi rawan pangan.

Di Alor kemiri jatuh dibiarkan saja, setelah beberapa waktu baru dipungut.

Sukun juga baik dikembangkan untuk diversifikasi pangan.

Pengembangan komoditas perkebunan dilakukan sesuai agroklimat wilayahnya.

Masih ada potensi lahan 800.000 ha yang bisa dikembangkan untuk perkebunan. Tebu juga akan dikembangkan di Sumba.(adv/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ajak Masyarakat Pahami Harga Beras Secara Rasional


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Kementan   NTT  

Terpopuler