Masjid Jami Al-Anwar, dari Surau yang 6 Sakanya Bertahan Hadapi Amuk Krakatau

Rabu, 06 Juli 2022 – 07:45 WIB
Sebanyak enam saka atau tiang di Masjid Jami Al-Anwar masih berdiri kukuh. Foto: Yosephin Wulandari/JPNN.com.

jpnn.com - Masjid Jami Al-Anwar di Jalan Laksamana Malahayati Nomor 100, Kelurahan Kangkung, Kecamatan Teluk Betung Selatan, Kota Bandar Lampung, tampak biasa saja dari luar. Namun, bagian dalam masjid itu punya enam saka bersejarah yang bertahan dari letusan Krakatau.

Laporan Yosephine Wulandari, Bandar Lampung

BACA JUGA: Mungsolkanas, Masjid Tertua di Bandung Tempat Bung Karno Kerap Bersujud

WARNA hijau tampak menonjol pada Masjid Jami Al-Anwar. Wuwungannya berbentuk limasan seperti Masjid Agung Demak yang berarsitektur khas Majapahit.

Ada menara di bagian depan sebelah kanan masjid itu.

BACA JUGA: Aipda Rohimah, dari Bismillah menjadi Alhamdulillah dengan Koin Rupiah

Gapura berkelir hijau dengan tulisan kuning menjadi gerbang masuk masjid itu.

Masjid tersebut punya sejarah panjang.

BACA JUGA: Petinju Banting Setir Jadi Office Boy, Rasa Senang Mengalahkan Uang

Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Lampung melalui surat keputusan bernomor Wh/2/SK/147/1997 menetapkan Masjid Jami Al-Anwar sebagai masjid tertua dan bersejarah di Bandar Lampung.

Sejarah Masjid Jami Al-Anwar dimulai pada era menjelang pertengahan abad ke-19.

Takmir Masjid Jami Al-Anwar, Rusdi, mengatakan tempat ibadah umat Islam itu didirikan pada 1839.

Pria paruh baya itu menjelaskan pendiri masjid tersebut adalah para ulama dari Kesultanan Bone, yakni Puang Haji Muhammad Soleh bin Karaeng, Daeng Muhammad Ali, KH Muhammad Said, dan H Ismail.

Tentu saja Masjid Jami Al-Anwar saat didirikan tidak seperti saat ini.

Masjid Jami Al-Anwar di Jalan Laksamana Malahayati Nomor 100, Kelurahan Kangkung, Kecamatan Teluk Betung Selatan, Kota Bandar Lampung. Foto: Yosephin Wulandari/JPNN.com.

Dahulu, kata Rusdi, masjid itu masih berupa surau kecil.

Para ulama berdarah Bugis pendiri surau tersebut memanfaatkannya untuk berdakwah dan membina umat.

Syahdan, Krakatau meletus pada 1883. Erupsi vulkan di Selat Sunda itu berdampak pada surau tersebut.

Bangunan sederhana untuk beribadah itu hancur dan rata dengan tanah.

Walakin, ada enam saka atau tiang surau yang tetap berdiri kukuh.

Lima tahun kemudian atau pada 1888, ulama dan masyarakat setempat memperbaiki surau itu.

"Enam tiang yang masih berdiri itu tetap dipertahankan sampai saat ini,” ujar Rusdi.

Kini saka-saka tersebut dibeton dan menjadi bagian dari ruang utama masjid berukuran 25 x 30 meter itu.

“Enam tiang itu menggambarkan rukun iman," tutur Rusdi.

Masjid Jami Al-Anwar melalui berkali-kali renovasi. Pada 1962, masjid di atas lahan seluas kurang lebih 6.500 meter persegi itu direnovasi untuk memperkuat bangunannya.

Sekitar enam tahun kemudian, masjid itu direnovasi lagi untuk menampung jemaah yang terus bertambah.

Rusdi menjelaskan semula Masjid Jami Al-Anwar hanya mampu menampung 300-400 jemaah.

Renovasi pada 1973 itu untuk menambah serambi bagian selatan, utara, dan timur masjid sehingga daya tampungnya mencapai 2.000 jamaah.

Menurut Rusdi, renovasi terakhir Masjid Jami Al-Anwar dimulai pada 2015 dan baru selesai dua tahun kemudian.

“Atapnya diganti dari yang hanya genteng biasa menjadi seng baja," katanya.

Kini, masjid yang dianggap sebagai bagian penting sejarah Islam di Lampung itu memiliki dua mihrab berbentuk huruf ‘U’ terbalik.

Mihrab di sebelah kiri untuk tempat imam, sedangkan yang di kanan buat mimbar.

Adapun setiap pintu di Masjid Jami Al-Anwar dilengkapi kisi-kisi berbentuk setengah matahari pada bagian atasnya.

Rusdi menyebut onamen itu bermakna masjid tersebut memancarkan cahaya untuk para jemaahnya.

Anwar, sebuah kata dalam bahasa Arab, memiliki makna bercahaya atau membawa terang.

“Masing-masing sisi (masjid) memiliki dua pintu masuk," katanya.

Memang Masjid Jami Al-Anwar telah direnovasi berkali-kali.

Namun, berbagai peninggalan bersejarah di masjid itu dipertahankan.

Masjid Jami Al-Anwar memiliki koleksi berupa ratusan kitab berbagai bahasa, seperti Arab, Belanda, bahkan Portugis.

Semua bacaan berharga itu tersimpan rapi di dalam perpustakaan masjid.

Masjid Jami Al-Anwar juga memiliki beduk peninggalan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional di Way Halim, Bandar Lampung pada 1988.

Sebuah Al-Qur’an berukuran besar juga menjadi koleksi paling berharga di masjid tersebut.

Rusdi mengatakan Al-Quran itu merupakan koleksi tertua di Masjid Jami Al-Anwar.

Oleh karena itu, kitab suci umat Islam itu disimpan di dalam kotak kaca.

"Itu Al-Qur'an murni ditulis oleh tangan oleh para ulama saat itu karena pada zaman dahulu tidak ada mesin cetak," tuturnya.

Ada benda bersejarah lainnya yang menjadi koleksi Masjid Jami Al-Anwar, yakni dua meriam.

Kedua kanon itu diletakkan di depan masjid dan digunakan untuk penanda waktu berbuka puasa.

“Pada zaman dahulu belum ada sirene masjid seperti sekarang.Suara dari meriam itu bisa terdengar sampai ke kantor gubernur Lampung," ucap Rusdi.

Masjid Jami Al-Anwar adalah salah satu saksi bisu pada zaman penjajahan Belanda, Jepang, hingga Indonesia merdeka.

Kini, Masjid Jami Al-Anwar sering dijadikan tempat singgah bagi para peziarah dari luar Lampung.

“Masjid ini sudah terkenal sebagai masjid tertua di Lampung," kata Rusdi. (jpnn)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Yosephin Suci Wulandari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler