Kompetisi memasak MasterChef Australia yang baru berakhir penayangannya Senin (27/7/2015), menarik perhatian warga Indonesia di Australia. Pasalnya, seorang pesertanya memiliki latar belakang Indonesia, Reynold Poernomo, yang terhenti di empat besar. Bagi Novi Candra, mahasiswa doktoral di Universitas Melbourne, acara ini juga memberikan banyak pelajaran bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Selama studi di Melbourne, salah satu acara favorit saya adalah program MasterChef - kompetisi mencari koki andal dari orang amatiran yang hobi memasak.
BACA JUGA: Pebalet Australia Keturunan Indonesia Akan Tularkan Ilmu ke Anak SD di Jakarta
Mereka berasal dari berbagai profesi, ada guru, akuntan, dokter bahkan ibu rumah tangga biasa.
Biasanya acara ini dimulai pukul 7.30 malam dan berakhir pukul 9. Selain menyukai berbagai inovasi yang dilakukan para peserta dalam memasak dan menyajikan masakannya, saya juga selalu tertarik dan terinspirasi dengan ketangguhan, persistensi, keseriusan belajar serta naik turunnya peserta sampai akhirnya mereka harus tersingkir atau justru melaju menjadi pemenang.
BACA JUGA: Pasangan Ini Timbun Barang Curian Senilai Rp1,6 Miliar
Hal lainnya, acara ini juga mampu mengubah paradigma saya yang tadinya melihat pekerjaan memasak adalah sesuatu rutinitas membosankan, menjadi pekerjaan indah jika didedikasikan dengan cinta.
Menurut Novi Candra, acara seperti MasterChef Australia memadukan kolaborasi dan kompetisi dengan baik. (MasterChef AU)
BACA JUGA: Pelaku Kasus Kriminal Terbesar Tahun 80-an di Sydney Akhirnya Tertangkap
Tapi lebih dari itu, ada satu hal yang menginspirasi dan dapat diambil manfaatnya bagi pendidikan Indonesia.
Yang paling menarik bagi saya adalah bahwa acara ini adalah program kompetisi, namun sejak pertama sampai dengan final, suasana yang dibangun begitu positif, penuh dengan kebersamaan, saling mendukung dan pada beberapa aktivitas mereka bahkan diminta pada saat yang sama juga berkolaborasi satu dengan yang lainnya.
Di Indonesia secara kultur, kompetisi dan kolaborasi seolah-olah berada di dua kutub yang berlawanan. Kultur kompetisi akan menghilangkan semangat kolaborasi, dan sebaliknya kolaborasi tidak mungkin memotivasi karena tidak ada kompetisi.
Saya teringat saat berdiskusi dengan salah satu kepala sekolah di Yogyakarta. Ketika kami mendiskusikan kolaborasi sebagai kompetensi yang diharapkan ada di kurikulum 2013 dan juga menjadi salah satu pilar 21st century learning, terlontar pertanyaan yang memancing diskusi panjang.
“Susah di Indonesia. Kita ini biasanya semangat berprestasi karena ada kompetisi. Makanya dulu ada ranking, terus sampai sekarang juga ada olimpiade sains, matematika, lomba menggambar, mewarnai dan lomba lain untuk memancing anak-anak menjadi terbaik. Nah kalau diganti dengan kolaborasi, nanti mereka kurang termotivasi untuk berprestasi?"
Kurang-lebih begitu pernyataan kepala sekolah tersebut.
Dan benar, lontaran itupun menjadi diskusi panjang kami yang memang menarik, bagaimana kompetisi yang tidak selalu buruk tersebut, dapat beriringan dengan semangat kolaborasi yang dilatihkan sejak di sekolah.
Sebagai negara yang diprediksi termasuk dalam 10 negara dengan tingkat ekonomi terbaik dalam beberapa waktu mendatang, saya meyakini bahwa anak-anak Indonesia harus mampu berkompetisi dan pada saat yang sama mereka juga harus memiliki kemampuan membuka diri, berkolaborasi secara percaya diri.
Saya terus mencari tahu dan belajar mengenai formula tersebut, dan akhirnya saya menemukannya di acara MasterChef Australia.
Menurut saya apa yang digambarkan di acara itu menggambarkan sebuah hasil pendidikan negara ini, demikian juga apa yang digambarkan oleh acara MasterChef Indonesia.
Beruntung saya sempat menyaksikan MasterChef versi Australia dan versi Indonesia, dan dari situlah saya memulai beberapa refleksi saya mengenai pendidikan kita berikut ini:
Ketika peserta pertama kali hadir di acara MasterChef Australia, para juri (biasanya ada 3 juri tetap di acara itu) akan menyambut dengan hangat dengan kata-kata positif dan semangat yang membuat para peserta exciting untuk mengikuti perlombaannya.
Para juri MasterChef Australia termasuk diantaranya koki terkenal dunia Marco Pierre White (baju putih). (MasterChef AU)
Para juri akan memotivasi bahwa seluruh peserta yang ada di ruangan ini semua memiliki kesempatan sama menjadi pemenang dan bertarung menaklukkan diri sendiri untuk menjadi terbaik. Suasananya terasa hangat, positif dan bersemangat.
Berbeda ketika saya menyaksikan acara MasterChef Indonesia, ketiga juri yang ada terlihat memasang muka angker, persis seperti kakak senior yang sedang melakukan MOS di Indonesia.
Pada masa-masa awal kedatangan peserta, terasa sekali suasana tegang yang dibangun di ruangan para peserta baru yang akan bertanding.
Tekanan, ketakutan dan persaingan adalah suasana yang dibangun di acara MasterChef Indonesia.
Suasana yang terjadi di kedua acara bertajuk sama ini, sedikit banyak menggambarkan kultur yang terbangun di tempat pendidikan kedua negara.
Terbentuk kebiasaan bahwa murid baru di Australia disambut dengan kehangatan dan senyum ceria seluruh warga sekolah, dan bahkan alih-alih diorientasi dengan keras, mereka akan dilindungi oleh kakak kelasnya.
Kesan pertama saat kita hadir di suatu tempat baru tentu saja sangat berpengaruh pada hubungan kita dengan orang lain di lingkungan tersebut.
Saya gembira saat ini, Indonesia mulai mengubah budaya senioritas dalam orientasi siswa baru menjadi budaya kehangatan dalam menyambut kedatangan mereka ke sekolah sebagai tempat yang menyenangkan untuk belajar.
Kedua, di MasterChef Australia, saat para juri mencicipi masakan para peserta. Tidak ada sediki pun terlihat wajah menyepelekan atau merendahkan hasil kreasi masakan peserta.
Hal pertama yang mereka lakukan adalah sedapat mungkin melihat sisi positif pada makanan tersebut dan tidak segan-segan memberikan apresiasi positif jika memang masakan peserta tersebut tergolong luar biasa.
Selanjutnya jika mereka menemukan kekurangan, baru kemudian mereka mengatakannya secara obyektif bahwa ada hal-hal yang kurang optimal dicapai oleh peserta. Terakhir mereka akan memberi kata-kata penyemangat untuk peserta.
Peserta MasterChef termasuk Reynold Poernomo (tiga dari kiri) saling memberi semangat. (MasterChef AU)
Hal sebaliknya terjadi di MasterChef Indonesia. Para juri mencari-cari kekurangan peserta sebelum menemukan hal positif masakan yang dibuat peserta, sehingga dapat dibayangkan akibatnya bagi peserta.
Dalam konteks pendidikan, adalah kewajiban pendidik menemukan hal-hal positif yang pasti ada di setiap anak didiknya, setelah itu memberikan apresiasi positif kepada mereka.
Di kultur Indonesia tampaknya mudah sekali kita melihat kesalahan lupa mengapresiasi saat anak-anak kita melakukan hal positif.
Ketiga, meskipun program ini adalah program kompetisi, namun setiap kali ada peserta yang dipanggil ke depan untuk mempresentasikan masakannya, peserta lainnya akan bertepuk tangan untuk memberi semangat kepada peserta yang maju tersebut.
Tepuk tangan, pelukan hangat dan wajah gembira juga ditampakkan saat ada peserta yang berhasil melaju dan meraih prestasi atau pujian dari juri.
Begitu pun jika ada yang sedang bersedih karena hasil masakan tidak memuaskan, peserta lain akan mendukung dan memberi semangat. Kultur seperti ini dilatihkan di sekolah Australia.
Menurut guru di Australia, merayakan keberhasilan orang lain adalah sebuah nilai dan ketrampilan yang dilatih dan ditekankan. Keterampilan untuk ikut senang dengan keberhasilan orang lain akan menciptakan kultur kompetisi sehat sekaligus kemungkinan kolaborasi.
Penekanan bahwa keberhasilan seseorang bukanlah sebuah ancaman namun sebuah inspirasi untuk orang lain berhasil memberikan rasa aman percaya diri dan berbesar hati dalam menghargai keberhasilan orang lain.
Keempat, para juri sangat menekankan kelebihan yang dimiliki tiap peserta. Misal si A dikenal sangat canggih memasak makanan Asia, sedang peserta B bagus sekali dalam memasak pastry, sementara peserta C memiliki kemampuan luar biasa saat memasak dessert dan lainnya.
Hal ini sangat terasa membangun sebuah nilai bahwa setiap peserta pasti memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh peserta lain sebagai tempat belajar.
Hal inilah yang mendorong pada saatnya mereka harus mampu berkolaborasi sesuai dengan kebutuhan akan keahlian lain yang diperoleh dari rekan rekannya tanpa harus merasa kurang percaya diri, karena diri mereka juga memiliki kelebihan.
Hal ini pun sangat kental saya temukan dalam kultur pendidikan dasar di Australia, dimana guru sangat mengenal kelebihan dan keunikan masing-masing anak dan secara terbuka dikemukakan kepada anak tersebut atau rekan-rekannya. Selain untuk membangun kepercayaan diri juga semangat terbuka untuk berkolaborasi.
Kelima, peserta yang diwawancara atau diminta mengomentari pengalaman mereka hari itu, masing-masing peserta akan fokus pada dirinya. Pada usaha apa yang telah dilakukannya, berfleksi atas kesalahan atau mengapresiasi usaha yang telah dia lakukan. Mereka fokus pada pengembangan diri mereka sendiri.
Sementara, saya masih ingat dalam acara MasterChef Indonesia, para peserta justru sibuk menilai apa yang dilakukan peserta lain, bahkan sebagian besar adalah menilai secara negatif peserta lainnya.
Persaingan yang tidak sehat sangat kental dirasakan di acara MasterChef Indonesia. Hal inilah yang membuat kultur kita mempercayai bahwa kompetisi dan kolaborasi selalu ada di kutub yang berbeda.
Belajar dari acara MasterChef Australia dan berangkat dari apa yang diungkapkan John Dewey dalam bukunya School and Social Change, saya meyakini bahwa institusi sekolah akan mampu menciptakan generasi baru Indonesia, yang juga warga dunia.
Sekolah mampu memberi ruang pada anak-anak untuk menghargai dirinya dan orang lain, untuk dapat ‘menang tanpa merendahkan’ seperti kata pepatah Jawa ‘menang tanpo ngasorake’.
*Tulisan ini adalah pendapat pribadi. Novi Candra adalah Dosen Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta yang sekarang sedang melanjutkan pendidikan doktoral di School of Population and Global Health di University of Melbourne.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ilmuwan Australia Temukan Cara untuk Prediksi Gelombang Laut Ganas