jpnn.com - Dalam dua puluh tahun terakhir, di dunia kerap terjadi konflik horisontal akibat adanya perbedaan antarkelompok. Kasus-kasus kerusuhan, pembakaran rumah ibadah, dan konflik mayoritas-minoritas kerap terjadi, dan tidak dapat dihindari.
Para pendiri bangsa di berbagai negara tentu tidak berharap terjadi konflik di antara warga negara. Mereka berharap masing-masing negara bertumbuh makin maju, adil, makmur, dan sejahtera.
BACA JUGA: Menumbuhkan Kecintaan Siswa SMP Strada di Bidang Iptek
Banyak kelompok etnis, agama, dan idiologis tinggal dan hidup bersama di dunia. Aneka kelompok melakukan migrasi karena tekanan perang atau kemiskinan.
Kemudian mereka membangun komunitasnya masing-masing di dunia, akibatnya pertumbuhan mereka diikuti dengan bangkitnya aneka idiologi.
BACA JUGA: Menuju Pendidikan Berkeadaban
Meningkatnya kesadaran hak asasi manusia telah mendorong manusia membentuk kelompok-kelompok menurut identitas mereka.
Hidup bersama dalam masyarakat plural (multireligius dan multibudaya) mau tidak mau menjadi tantangan.
Manusia bersama sesama perlu membangun masyarakat plural melalui hati, pikiran dan tindakan agar komunitas ideal dapat tercapai.
Mengapa demikian? Karena kecenderungan normal, manusia mencoba membuat dunia menurut keinginannya sendiri, yang dipikirkan terbaik.
Sebagai langkah awal komunitas masyarakat seharusnya dapat menerima pluralitas tidak hanya sebagai kenyataan, tetapi juga sebagai sesuatu yang benar dan positif baik.
Kemudian komunitas tersebut dapat mengembangkan sikap dan menyusun struktur-struktur yang dapat memfasilitasi hidup bersama antarkelompok.
Menurut Amaladoss (2003), komunitas perlu melakukan sekurang-kurangnya pada empat tingkat: sosial politik, budaya, filosofis, dan religious. Pilihan tingkat ini disesuaikan dengan masalah-masalah yang dihadapi.
Jika terjadi ketimpangan dalam relasi antarbudaya, maka multikulturalisme menjadi masalah.
Di dalam masyarakat multibudaya, ada budaya yang mendominasi kehidupan dan ada juga budaya yang didominasi oleh pihak-pihak tertentu. Di dalam situasi tertentu, orang berpikir bahwa mendirikan negara, berarti juga menyatukan aneka budaya yang ada.
Dalam masyarakat demokratis, multibudaya mendapat ruang geraknya, masing-masing budaya mempunyai kebebasan dan otonominya sendiri, karena budaya merupakan unsur dari identitas personal dan sosial.
Menyelaraskan budaya yang berbeda dalam banyak segi bukan perkara mudah. Di tengah-tengah semangat penghargaan terhadap pluralitas, ada saja kelompok fundamentalis sempit yang merasa dirinya paling benar.
Klaim-klaim kebenaran yang dilakukan oleh kaum fundamentalis yang demikian dapat memicu terjadi konflik.
Padahal kebenaran dapat ditemukan dalam aneka agama. Realitas kebenaran adalah satu, namun untuk menemukan kebenaran dapat ditempuh dengan berbagai cara dan media.
Tuhan Yang Maha Esa itu dapat ditemukan dalam berbagai agama, sebab Tuhan bersifat inklusif terhadap siapa saja yang ingin mencari-Nya.
Namun demikian di dalam pluralitas tidak berarti semua agama adalah sama. Masing-masing agama mempunyai kekhasan sendiri, sehingga penghayatan iman dapat berlangsung secara eksklusif, namun tidak menghakimi keyakinan lain yang berbeda.
Kebenaran tidak dapat dipahami secara mutlak. Klaim-klaim kebenaran sifatnya terbatas, karena kemampuan tafsir manusia terhadap kebenaran-kebenaran juga terbatas.
Klaim-klaim atas dasar kebenaran sah-sah saja, asal tidak memaksakan kebenaran kepada orang yang berbeda keyakinan. Pemaksaan lewat kekerasan akan menimbukan konflik.
Dalam kehidupan sehari-hari kebenaran kerap menjadi ungkapan ekspresi. Kebenaran diekspresikan ke dalam ritual-ritual keagamaan dan praktik hidup nyata. Simbol-simbol kebenaran kerap dipandang sebagai simbol-simbol agama atau budaya. Akibatnya antaragama mempunyai wordview kebenaran yang berbeda.
Worldview adalah cara kelompok merasakan dan mengkonsep dunia dan sistem nilai yang di dalamnya ada kebenaran. Kebenaran sering diwujudkan dalam aneka simbol dan ritual.
Di dalam masyarakat, ajaran agama digunakan sebagai sarana memahami kehidupan. Hidup ini akan makin bermakna jika memuat nilai-nilai agama. Kemudian, ajaran agama digunakan sebagai pegangan hidup, karena ajaran agama menawarkan keselamatan.
Keselamatan yang dimaksud oleh beberapa agama Abrahamic adalah manusia terbebas dari penderitaan dan bersatu dengan Allah di surga. Dalam agama Buddha, keselamatan diartikan manusia terbebas dari hanwa nafsu. Kebebasan itu terdapat dalam kesempurnaan hidup di nirwana.
Pluralitas agama dan relasi antaragama adalah sebuah kenyataan yang harus diakui keberadaannya. Pluralitas agama tidak akan merusak visi iman dan ritual-ritual umat manusia. Umat manusia dapat menyatukan nilai-nilai yang pasti sama dalam setiap ajaran agama.
Dengan demikian nilai-nilai agama itu dapat dijadikan patokan-patokan perilaku dalam masyarakat. Antaragama juga perlu berkolaborasi atau bekerja sama dalam menjalankan praktik-praktik kehidupan.
Tuhan inklusif diterima ke dalam pandangan dan ajaran-ajaran agama. Banyak umat beragama percaya bahwa Allah Yang Maha Esa itu untuk semua orang. Jika Allah adalah satu dan dunia berkembang menjadi sebuah desa global, maka Allah mempunyai rencana untuk umat manusia.
Sebagai catatan akhir, masyarakat plural di dunia merupakan realitas yang tidak dapat dipungkiri. Keberagaman suku, agama, ras, dan antargolongan merupakan kekayaan entitas yang membentuk masyarakat majemuk.
Dengan demikian semangat toleransi, kerja sama dalam keberagaman di berbagai bidang perlu dikembangkan sebagai cara bertindak, hidup bermasyarakat.
Dalam konteks Indonesia, komunitas nasional kebangsaan yang memiliki warga negara beragam latar belakang; hidup akrab satu sama lain dalam perbedaan menjadi modal yang kuat dalam memajukan kualitas hidup bersama sebagai anak-anak bangsa.
Semoga masyarakat plural di Indonesia terus mengupayakan harmonisasi dan kerukunan dalam hidup berbangsa dan bernegara.(***)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari