jpnn.com - SELAIN kesohor sebagai jawara, Mat Depok juga terkenal lihai dalam bermain cinta. Pergaulannya juga luas.
Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Antara Mat Depok dan Belanda Depok
Suatu hari pada 1935, Mat Depok ke Berland, Batavia (sekarang Matraman, Jakarta). Di sana dia bertemu dengan Nyai Emah, perempuan cantik dari Karawang yang jadi “nyainya” orang Belanda.
Tak kuasa menahan cinta pada pandangan pertama, Mat Depok mengeluarkan kepandaiannya. Entah pelet apa yang dipakai, Si Nyai berhasil direbutnya dari tangan Tuan Menir.
BACA JUGA: Ke Danau Toba, Delegasi Pemerintah Pusat Disambut Kepala Bandit
Mat Depok pun jadi buronan kumpeni. Cari selamat, dia ke rumah Misar, jawara kondang di Pengasinan, Sawangan yang tak lain adalah gurunya. Nyai Emah dibawa serta.
Setelah basa-basi ini-itu, Mat Depok dibacok oleh Misar. Bukan hendak menyakiti. Akan tetapi menguji ilmu, apakah Mat Depok mempan senjata atau tidak. Ternyata golok tidak bisa melukai badannya.
BACA JUGA: Padang Pernah Dijajah Aceh Selama…
Mat Depok lantas pulang kampung ke Tanah Baru. Di kampung itu, Si Nyai yang sudah resmi menjadi istri ketiganya, akrab disapa Mak Emah.
“Istri pertama bapak saya Mak Risah. Punya anak satu, namanya Niah. Istri keduanya, Aminah bin Midin. Punya anak 4, Sami (1927), saya sendiri (1930), Sani (1933) dan Saih (1936). Mak Emah istri ketiganya. Itu istri-istrinya yang saya tahu. Selain itu entahlah. Dari Mak Emah, tak ada anak,” kata Ngkong Misar, kepada JPNN.com, tempo hari.
Mat Depok memberi anaknya nama Misar terilhami nama gurunya.
“Waktu umur lima tahun saya memang sering sakit-sakitan. Dipikir karena keberatan nama. Makanya nama saya diganti dari Zakaria jadi Misar, sama dengan nama gurunya di Pengasinan.”
Bawah Tanah
Pada 1942, sewaktu Jepang datang ke Indonesia, Mat Depok sedang mendekam di penjara Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, Jakarta.
Dia tertangkap dan diasingkan ke sana bukan karena membawa lari Nyai Tuan Menir, melainkan karena kedapatan merampok gudang logistik Belanda.
Begitu Belanda angkat kaki, Jepang membebaskan tawanan Pulau Onrust, termasuk Mat Depok. Diam-diam dia ikut gerombolan Banteng Merah, gerakan bawah tanah front anti fasis.
Banteng Merah merupakan organisasi semi militer yang didirikan secara diam-diam oleh DN Aidit, Chalid Rasjidi dan Salam pada 1944 di sekolah Dokuritsu Juku (Asrama Kemerdekaan) milik pimpinan Angkatan Laut Jepang, Laksamana Maeda.
Begitu perang kemerdekaan meletus, Mat Depok bersama Banteng Merah dan kawan-kawannya sering menggelar razia di tepian Jakarta.
Seluruh hasil bumi tidak mereka perkenankan masuk Jakarta, karena kota itu dikuasai NICA.
Jaringan Jawara
Mat Depok punya pergaulan luas. Kawannya banyak, terutama dari kalangan jawara. Dia berkawan dengan Mandor Tomplek, jagoan Ciganjur yang terkenal buas, yang paska proklamasi bergabung dengan Barisan Pelopor.
Dengan seluruh dedengkot Laskar Rakyat Djakarta Raya yang kemudian hari jadi gerombolan Bambu Runcing, dia pun akrab.
“Dengan semua kelompok dia berkawan, yang penting sama-sama berjuang. Kawannya ayah saya itu memang banyak sekali. Dulu, di semua daerah yang kita lewati ada aja yang kenal, meskipun satu dua orang. Biasanya yang kenal dia itu orang yang berpengaruh di kampung tersebut,” ungkap Misar.
Dedengkot gerilyawan Bambu Runcing seperti Camat Nata, Ceker, Sengkud sering berkumpul di rumah Mat Depok.
Kata Misar, Ceker yang terkenal gahar itu sebenarnya nama julukan. Nama aslinya Dahlan. Di lingkaran kawan-kawannya dipanggil Dahlan Ceker.
Lalu, masih menurut Misar, Camat Nata itu sebenarnya bukan camat. Nata itu lihai diplomasi makanya dijuluki camat.
“Saya pernah dimintain tolong oleh Nata membawa sepucuk surat ke salah seorang toke di Pondok Cina. Begitu surat itu dibaca, toke itu langsung kasih uang banyak. Tapi saya nggak tahu apa isi surat itu, karena saya nggak bisa baca.” --bersambung (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mau ke Surabaya, Tan Malaka Ditangkap Pasukan Bung Tomo
Redaktur : Tim Redaksi