Matinya Demokrasi

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Senin, 07 Maret 2022 – 15:33 WIB
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Di sebuah hutan seekor kuda berkelahi dengan rusa jantan. Si kuda terdesak dan kalah. Lewatlah seorang pemburu, dan si kuda meminta pertolongan kepada pemburu untuk bisa mengalahkan rusa jantan.

Pemburu bersedia membantu kuda dengan berbagai syarat. Pemburu memasang sepatu besi di kaki kuda, memasang tali kekang di hidung kuda, dan memasang pelana di punggung kuda untuk dinaiki dan dikendalikan oleh pemburu. Dengan semua peralatan itu si kuda dengan bantuan pemburu bisa mengalahkan rusa jantan.

BACA JUGA: HPN 2022, Menteri Malaysia Apresiasi Kerja Keras Pers Indonesia untuk Demokrasi

Selesai pertarungan kuda meminta pemburu untuk melepas semua yang telah dipasang di tubuhnya. Namun, si pemburu tersenyum menyeringai dan mengatakan, ‘’Wow, tidak bisa semudah itu, kawan. Aku sudah memacumu dalam kendaliku, dan aku sudah memutuskan untuk tetap memperlakukanmu seperti itu’’.

Sang kuda yang sudah terjebak oleh tipu daya pemburu hanya bisa diam, tertunduk, dan menyesali kebodohannya.

BACA JUGA: Menlu Inggris Sebut Negara Barat Kesatria Demokrasi, Musuh Diktator Global China dan Rusia

Kalau saja dia mau berpikir lebih panjang dan bekerja sedikit lebih keras, dia akan bisa mengalahkan rusa jantan.

Namun, kuda tertipu dan teperdaya oleh si pemburu dan akhirnya terperangkap seumur hidup.

BACA JUGA: Jokowi Masih 24 Karat Atau Sekarat?

Cerita fabel itu dikutip oleh dua ilmuwan Harvard, Prof Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, dalam buku ‘’How Democracies Die’’ (2018).

Beberapa waktu yang lalu buku itu viral di Indonesia karena Gubernur DKI Anies Baswedan mengunggah fotonya di media sosial sedang membaca buku itu sambil bersantai mengenakan sarung. Publik bertanya-tanya apa isi buku itu. Dan dalam waktu singkat buku itu menjadi best seller di Indonesia.

Levinsky dan Ziblatt menjelaskan proses kematian demokrasi di Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump pada 2016-2020 dengan mengungkap sejumlah indikasi yang terjadi di era itu. Semua indikator dan fenomena yang diungkap Zibalt terjadi di Amerika.

Namun, penelitian ini bersifat induktif yang memungkinkan peristiwa yang bersifat partikular bisa mengarah ke sifat universal yang berlaku di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Kematian demokrasi di Amerika di bawah Trump menjadi sindiran terhadap Indonesia. Unggahan Anies dengan buku itu di media sosial menjadi ‘’perfect timing’’ dengan kondisi Indonesia yang mengalami berbagai fenomena yang bisa mengarah kepada kematian demokrasi.

Levinsky-Ziblatt mengajukan beberapa hal yang menjadi indikasi kematian demokrasi. Di masa lalu demokrasi mati karena munculnya diktator dari kalangan militer yang memberangus demokrasi dengan kekerasan dalam sebuah kudeta.

Saat ini, diktator model baru muncul dari kalangan sipil yang memenangi kekuasaan melalui pemilu, tetapi kemudian menyelewengkan prinsip-prinsip demokrasi.

Diktator militer sudah menjadi bagian dari masa lalu. Sekarang muncul varian baru diktator sipil alias diktator partikelir. Dia tidak datang dari kalangan jenderal militer yang kuat, tetapi datang dari kalangan publik atau swasta, dan bahkan muncul dari kalangan rakyat, atau setidaknya mengaku sebagai bagian dari rakyat melalui politik populisme.

Fenomena diktator partikelir itu terjadi di Brasil dengan munculnya Jair Bolsonaro yang populis. Di Filipina muncul Rodrigo Dutarte yang menapaki karier politik mulai dari wali kota sampai menjadi presiden, dan kemudian memerintah dengan tangan besi. Hal yang sama terjadi di Peru, Polandia, dan Rusia dengan munculnya Vladimir Putin.

Putin yang sekarang mengerahkan pasukan Rusia menggempur Ukraina adalah personifikasi ‘’diktator demokratis’’ yang memenangi kepresidenan melalui pemilihan umum sejak awal 2000. Putin kemudian mengamendemen konstitusi yang memungkinkannya untuk memerintah sampai 20 tahun mendatang.

Dengan usia Putin yang sekarang 69 tahun praktis Putin bisa menjadi presiden seumur hidup.

Kematian demokrasi juga digambarkan sebagai pembajakan demokrasi secara legal, dengan mempergunakan prosedur demokrasi dengan mendapatkan persetujuan lembaga legislatif atau diterima lembaga yudikatif. Upaya-upaya pembajakan itu digambarkan sebagai upaya memperbaiki demokrasi, membuat pengadilan lebih efisien, memerangi korupsi, atau membersihkan proses pemilu.

Pemerintah terpilih menggunakan lembaga demokrasi untuk melemahkan dan menghancurkan demokrasi. Penggunaan kekuasaan dan lembaga demokrasi untuk menghancurkan demokrasi bukanlah produk satu atau dua hari, tetapi bertahun-tahun dan dilakukan secara bertahap. Lembaga-lembaga hasil proses demokratisasi, seperti lembaga antikorupsi, digerogoti dan dibuat keropos, sehingga tidak berfungsi maksimal.

Diktator partikelir itu tetap memperbolehkan media beroperasi. Namun, seperti kuda yang sudah ditunggangi dan dikendalikan, media hanya sekadar menjadi tunggangan yang bisa dikendalikan. Media sudah terbeli dan selalu ditekan supaya melakukan sensor diri. Publik yang menggunakan media alternatif untuk menyuarakan pendapat kritis akan dijerat oleh pasal-pasal kriminal.

Demokrasi menghadapi kematian ketika diktator partikelir itu melakukan aliansi dengan sejumlah politisi oligarki mapan untuk membentuk persekutuan koalisi ‘’Aliansi Saling Percaya’’ atau ‘’Fateful Alliances’’.

Oligarki itu merupakan gabungan dari oligarki politik dan oligarki ekonomi, atau gabungan antara keduanya. Di negara yang demokrasinya mati muncul fenomena pengusaha yang sekaligus menjadi penguasa, yang dikenal sebagai ‘’pengpeng’’.

Ada beberapa indikasi yang bisa menjadi tanda matinya demokrasi.

Pertama, ‘’Rejection of  or the weak commitment to democratic rules of game’’, penolakan atau komitmen yang lemah terhadap aturan main demokrasi. Undang-undang yang sudah disepakati ternyata dipermainkan dengan berbagai macam cara, karena rezim sudah menguasai semua perangkat kelembagaan demokrasi dalam kendalinya.

Pemilihan umum sudah diputuskan, masa jabatan kepresidenan sudah ditetapkan dalam konstitusi. Namun, diktator partikelir bisa memainkan kekuasaannya untuk mengubah aturan itu demi memperpanjang kekuasaannya. Penolakan dan komitmen yang lemah terhadap aturan demokrasi ini menjadi indikator utama matinya demokrasi.

Beberapa pertanyaan bisa diajukan untuk melihat kecenderungan ini. Apakah ada upaya menolak perundang-undangan atau menunjukkan keinginan untuk melanggarnya. Apakah ada usulan atau gerakan antidemokrasi seperti membatalkan pemilu, melanggar atau membatalkan undang-undang, melarang organisasi tertentu, atau membatasi hak-hak sipil dan politik?

Di Indonesia jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu sudah terlihat makin nyata. Pelanggaran terhadap undang-undang terjadi, upaya untuk menunda pemilu sudah mulai diorkestrasi, dan pelarangan terhadap organisasi tertentu dan pembatasan terhadap hak-hak sipil sudah terjadi.

Faktor lain yang menjadi indikasi adalah ‘’Readiness to curtail civil liberties of opponents, including media’’, melakukan pembatasan terhadap kebebasan sipil lawan-lawan politik, termasuk media.

Kasus-kasus pembebasan kebebasan sipil sudah banyak terjadi. Penangkapan dan penahanan dengan dalih yang dibuat-buat sudah terjadi di beberapa kasus. Pemakaian kekerasan terhadap lawan politik juga sudah terjadi. Pembunuhan Kilometer 50 menjadi salah satu indikator adanya penggunaan kekerasan yang didukung oleh kekuatan kekuasaan.

Tradisi demokrasi Amerika melahirkan contoh-contoh yang agung yang layak dicontoh. Salah satunya adalah ‘’the power of forebearnce’’ atau kekuatan untuk menahan diri. Politik yang identik dengan perebutan kekuasaan akan membawa seseorang untuk bernafsu mengakumulasi kekuasaan selama mungkin.

Selalu saja ada godaan untuk berkuasa lebih lama ketika kesempatan itu ada atau memungkinkan. Vladimir Putin di Rusia menunjukkan tidak adanya itikad baik untuk menahan diri. Keinginan untuk berkuasa lebih lama, dengan berbagai alasan, membuat Putin berupaya memanipulasi undang-undang untuk mendukung ambisi politiknya.

Di Indonesia, Presiden Joko Widodo mulai menujukkan gelagat ingin menambah masa jabatannya melebihi periode yang sudah diatur oleh konstitusi. Pelanggaran terhadap konstitusi itu bisa ditutupi dengan melakukan amendemen terhadap konstitusi yang memungkinkannya berkuasa lebih lama.

Jokowi masih punya kesempatan untuk menunjukkan ‘’the power of forebearance’’ kekuatan untuk menahan diri, untuk tidak menambah masa jabatan, dengan alasan apa pun.

Kali ini, pilihan Jokowi untuk menahan diri atau tidak, akan menentukan apakah demokrasi Indonesia mati atau hidup. (*)


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler