Mau Tau Asal-usul dan Sejarah Dialek Unik Tionghoa Surabaya? Masuk Sini!

Senin, 08 Februari 2016 – 15:02 WIB
Ilustrasi. JAWA POS

jpnn.com - DIALEK para Tionghoa Surabaya bisa dikatakan lain daripada yang lain. Mungkin, orang di luar Surabaya akan menganggap aneh dan bisa jadi senyum-senyum sendiri. Nah, lantas bagaimana sejarahnya?

Dosen Jurusan Ilmu Sejarah Unair Shinta Devi Ika Santhi Rahayu mengakui, munculnya dialeg khas Tionghoa Surabaya tak lapas dari sejarah masa lalu. 

BACA JUGA: Dialek Unik Tionghoa Surabaya yang Bisa Bikin Anda Senyum-senyum Sendiri!

Dia menjelaskan, masyarakat Tionghoa di Surabaya masuk dalam dua gelombang. 

Pertama, pada abad ke-13-15, mereka datang karena berdagang. Sedangkan gelombang kedua adalah kedatangan perantauan warga pesisir Tiongkok Selatan. Mereka merantau ke Surabaya karena kekacauan pergantian dinasti dari Ming ke Cing pada 1644. 

BACA JUGA: Kapal Patroli Hiu 13 Tangkap Penyelundup 24 Ton Bawang Merah

Surabaya dipilih sebagai tempat perantauan karena mereka berpikir kota ini lebih aman meski dalam posisi dijajah Belanda. "Sampai di Surabaya, orang Tionghoa tinggal di sepanjang Kalimas," kata Shinta.

Para pedagang maupun pelarian yang datang ke Surabaya itu menggunakan bahasa Hokian. Mereka tidak bisa bahasa Mandarin. Sebagai contoh, hitungan angka yang populer adalah ce, neng, sa, si, go (1, 2, 3, 4, 5). 

BACA JUGA: Kisah Seorang Gadis Selalu Diantar Sang Pacar ke Lembah Hitam

Itu merupakan hitungan dalam bahasa Hokian. Beda halnya dengan hitungan dalam bahasa Mandarin, yakni yi, er, liang, san, si.

Shanti menjelaskan, para perantau Tionghoa cenderung bisa mengikuti kebudayaan setempat. 

Bahkan, kebijakan penjajah yang pernah mengatur permukiman berbasis etnis di Surabaya pun tidak mampu membendung peleburan itu. Tidak sedikit etnis Tionghoa yang justru menikah dengan etnis Jawa. 

Sebagian menyebut keturunan mereka dengan istilah ampyang. Istilah yang sebenarnya menunjuk sebuah kue perpaduan kacang china dengan gula jawa. 

Semakin lama, makin banyak perantau Tionghoa yang datang ke Surabaya. Kawasan yang ditempati meluas. Dari yang awalnya bertempat tinggal di dekat Kalimas, saat itu mereka meluber hingga ke daerah Kapasan. 

Peleburan itu juga terjadi pada bahasa pengantar. Perantau Tionghoa yang mahir berdagang selalu berusaha menggunakan bahasa lokal. Kesulitan mengucapkan huruf "r" pun tidak jadi masalah. Karena itu, jangan heran kalau ada istilah pigi yang asalnya merupakan kata pergi.

Sementara itu, Direktur Lembaga Bahasa Universitas Widaya Mandala menjelaskan, sebagian besar warga Tionghoa yang datang ke Surabaya memang tidak bisa menggunakan bahasa Mandarin. 

Mereka rata-rata menggunakan bahasa suku aslinya. Misalnya, pendatang dari Fujian dan Guangzhou yang menggunakan bahasa Hokian. 

Namun, dia memastikan bahwa tidak semua bahasa "Pasar Atum" itu diadopsi dari bahasa Hokian. "Contohnya, ya pigi-pigi yang berasal dari kata pergi," ujarnya. Itu murni muncul karena etnis Tionghoa tidak bisa melafalkan huruf "r".

Ester juga memberikan contoh kalimat utuh dialek Tionghoa-Surabaya yang merupakan perpaduan tiga dialek sekaligus. Besok mau pigi Jakarta ambek sapa? 

(BACA: Dialek Unik Tionghoa Surabaya yang Bisa Bikin Anda Senyum-senyum Sendiri!)

Dia menjelaskan, kalimat tanya itu berasal dari bahasa Jawa, Indonesia, dan bahasa baru. Kalimat itu mempunyai arti, "Besok ke Jakarta bersama siapa?" Pembedahannya, yang masuk bahasa Indonesia adalah besok. Sedangkan, pigi dan sapa merupakan bahasa baru. Sapa berasal dari kata siapa. 

Ada pula kalimat, "Tak tunggu ndek sana". Kalimat itu juga berisi bahasa Jawa dan kata baru. Tak tunggu merupakan bahasa Jawa. Ndek sana merupakan peralihan dari ndek kono (di sana) yang berubah karena gaya "Pasar Atum" itu. (cik/c6/fat)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Polisi Ganteng yang Tembak Kepala Sendiri Itu Dinilai Terlalu Mudah Putus Asa


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler