Mayor Inf Anang, Pantang Mandi saat Tugas di Tengah Hutan

Senin, 15 Januari 2018 – 00:05 WIB
Komandan Batalyon (Danyon) Infanteri 613 Kota Tarakan, Mayor Inf Anang Sofyan Effendy (kiri). Foto: Yedidah Pakondo/Radar Tarakan

jpnn.com - Setiap prajurit TNI harus siap meninggalkan keluarganya demi kepentingan negara. Demi menjaga keutuhan NKRI. Terjun ke medan perang dengan segala konsekuensi merupakan bagian dari tugas pengabdian.

YEDIDAH PAKONDO

BACA JUGA: Prajurit TNI AL Bekerja Bakti di Lingkungan Gereja

Sederhana, ramah dan murah senyum. Gambaran itu lah yang dapat penulis lihat saat pertama kali bertemu dengan Komandan Batalyon (Danyon) Infanteri 613 Kota Tarakan, Mayor Inf Anang Sofyan Effendy.

Di balik itu semua, ternyata dia memiliki cerita suka duka yang tak terlupakan, di setiap tugas yang dijalaninya demi menjaga keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

BACA JUGA: Kisah Mengharukan sang Kolonel saat Dipeluk Perempuan Sakit

Lelaki kelahiran Magelang, 30 April 1980 ini mengungkapkan cerita awal dia memilih mengabdikan hidupnya sebagai prajurit TNI.

Saat duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) Anang, sapaan akrabnya, bersama keluarga kembali memutuskan pindah ke Magelang yang sebelumnya menetap di Semarang. Di kota ini lah cita-cita Anang untuk menjadi anggota TNI mulai tumbuh.

BACA JUGA: TNI Siapkan Prajurit Terbaik Mengamankan Perwakilan RI di LN

Usai menamatkan sekolahnya di tingkat sekolah menengah atas (SMA), pada 1998, Anang memutuskan mendaftar, lalu mengikuti rangkaian tes seleksi Akademi Militer, dan lulus.

Pada 2001 Anang berhasilkan menyelesaikan pendidikannya dan siap untuk mengabdi pada negara.

Tugas pertama, Anang ditempatkan di Kediri, Jawa Timur tepatnya di Satuan Batalyon Infanteri 521. Tahun selanjutnya, Anang berkesempatan melaksanakan pendidikan sekaligus seleksi raider.

Kemudian dia harus berpindah tugas ke Satuan Batalyon Infanteri 507 Sikatan yang divalidasi menjadi Batalyon Infanteri 500 raider.

Usai melaksanakan tugas di Sikatan, Anang kemudian melanjutkan tugas operasi di Aceh selama 18 bulan yang dimulai pada tahun 2003 hingga 2005.

“Pada waktu itu, kami mengamankan Aceh dari gangguan Gerakan Aceh Merdeka (GAM),” ungkapnya.

Tugas di Aceh merupakan sebuah kenangan yang tidak akan dilupakan Anang. Bagaimana tidak, Anang masih bertugas di Aceh saat bencana tsunami besar, 26 Desember 2004.

Saat kejadian itu, Anang menjadi bagian dari 40 tim yang bertugas melaksanakan operasi penumpasan GAM.

Kala itu dia ditempatkan di kawasan hutan yang terletak di atas gunung. Sedangkan bencana tsunami terjadi pada bagian pesisir, sehingga kejadian itu tidak menimpanya.

“Daerah hutan di sana kan pegunungan. Kalau yang di daerah pesisir itu rata-rata yang bertugas dari Satgas Marinir dan Satgas Brimob yang memang rawan terkena tsunami kala itu,” kenang Anang.

Pengalaman Anang di hutan juga tak kalah menegangkan. Sebab ancaman binatang buas selalu menghantui mereka yang ditempatkan di hutan.

Untuk itu sebelum memasuki hutan, dia beserta rekan-rekannya sudah diinjeksi vaksin anti bisa, agar mereka tetap aman saat menjalankan tugas.

Saat berada di dalam hutan, bapak dari satu anak ini menceritakan untuk bisa bertahan hidup, hewan berbisa seperti ular pun mau tak mau harus mereka santap. Tak hanya itu, menembak rusa hutan pun mereka lakukan.

Anang beserta rekan-rekannya pantang untuk mandi meski selama tujuh hari tujuh malam badan tak pernah tersentuh sabun.

Bukan karena hal-hal mistis, tetapi mandi tidak boleh dilakukan saat berada di dalam hutan, karena wewangian dari sabun dapat dicium oleh lawan.

“Untuk bertahan biasanya kalau dapat ular piton atau rusa itu sudah lumayan dibuat sate. Tetapi itu hanya variasi saja, jika kami bosan menyantap makanan kaleng yang kami bawa,” ungkap Anang.

Bertahan hidup dari asupan makanan yang tersedia di alam, memang sudah diajarkan sejak mereka masih berada di bangku akademi.

Karena itu, para prajurit TNI sama sekali tidak akan merasakan jijik, meski ketika harus meminum darah ular dan sebagainya hanya untuk bertahan hidup.

“Dari pendidikan sudah diajarkan. Jadi tidak ada perasaan jijik lagi,” ungkapnya.

Usai menyelesaikan tugas operasi di Aceh, Anang kemudian bertugas di Surabaya hingga tahun 2011.

Dari situ dia beranjak ke Papua, tepatnya di wilayah Pulau Biak, kemudian digeser lagi ke Puncak Jaya selama 18 bulan dengan dipercaya menduduki jabatan sebagai Kasdim dalam rangka operasi tempur.

Menurut Anag, saat berada di Puncak Jaya juga merupakan hal sulit untuk dihapus dari dalam memori ingatannya. Suhu wilayah di puncak itu sangat dingin.

Siang hari suhu di kawasan tersebut mencapai 11 derajat celcius dan di malam hari 6 hingga 9 derajat celcius.

Setelah itu, Anang kembali ditugaskan di tempat baru. Dia bertugas di Kodam Balikpapan pada tahun 2015 dengan menjabat sebagai staf personel. Setelah itu, barulah ia ditempatkan di Kota Tarakan dan diresmikan pada 1 Juli 2017.

“Sebelum ke Tarakan, di awal 2016 saya sudah ke sini juga untuk melakukan pengamanan,” tuturnya.

Putra pertama dari pasangan Sudaryo dan Humaidah tersebut menceritakan, awalnya ia hanya mendapatkan perintah agar ke Tarakan pada 27 Mei 2017.

Namun karena dia masih memiliki kegiatan lain di Kodam, maka pada Juli tahun lalu Anang baru bisa berangkat menuju Kota Tarakan hingga saat ini.

Dengan tugasnya saat ini, Anang mengaku sangat bersyukur. Sebab, dia sudah bisa menjelajahi berbagai penjuru Indonesia. Mulai dari ujung Barat, hingga ke Timur dan Indonesia bagian Tengah, sudah pernah ia jajaki.

“Kapan lagi mau keliling Indonesia? Ini juga biar jiwa NKRI kita bisa menyatu dan dapat mengetahui kondisi di lapangan lebih nyata,” ungkap Anang mengakhiri. (***/nri)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pasukan Garuda Diakui Dunia, Jangan Kalian Nodai


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler