Mayoritas Pekerja Merasa Tunjangan & Fasilitas Kesehatan dari Perusahaan Tidak Cukup

Kamis, 22 Agustus 2024 – 11:27 WIB
Care Survey 2024 menemukan kurangnya kepercayaan diri responden menghadapi masa depan, yang paling utama prospek kesehatan memburuk di masa tua serta biaya berobat yang tinggi. Foto dok. Care Survey 2024

jpnn.com - Seiring meningkatnya harapan hidup, beban biaya perawatan kesehatan dan ongkos hidup sehari-hari menjadi kekhawatiran utama bagi semua orang, termasuk di Indonesia. Hal ini merujuk pada hasil survei terbaru Manulife Asia Care Survey 2024 yang melibatkan 1.054 responden untuk mengukur persiapan mereka di masa tua.

"Ada temuan kurangnya kepercayaan diri responden menghadapi masa depan, yang paling utama prospek kesehatan memburuk di masa tua serta biaya berobat yang tinggi," kata Ryan Charland, Presiden Direktur Manulife Indonesia, dalam keterangannya, Kamis (22/8). 

BACA JUGA: Sempat Tertunda, Rapelan Kenaikan Gaji & Tunjangan Profesi Guru di Kotim Sudah Dibayarkan

Dia menjelaskan, survei MyFuture Readiness Index atau Indeks Kesiapan Masa Depan mengukur persepsi masyarakat terhadap kesejahteraan fisik, mental, dan finansial saat ini dan di masa depan. Survei tersebut menggunakan skala 1 sampai 100 untuk mengukurnya.

Hasilnya menunjukkan, skor kesejahteraan yang diinginkan responden di Indonesia sebesar 89, melebihi rata-rata negara - negara lain di Asia. Namun, skor untuk dapat mencapai kesejahteraan diinginkan hanya mencapai 81. 

BACA JUGA: Gaji PPPK Paruh Waktu Sebaiknya Diambil dari Potongan Tunjangan Pejabat, Honorer Setuju? 

"Hal itu mencerminkan kurangnya kepercayaan diri di masa depan. Skor ini berada pada tingkat lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia," ucapnya.

Ryan melanjutkan, dari seluruh responden, sebanyak 67% menyatakan kenaikan biaya perawatan kesehatan menjadi tantangan utama kesejahteraan finansial secara keseluruhan di masa datang. Para responden menyebut, kesehatan fisik merupakan faktor terpenting (37%) yang berdampak pada kesejahteraan finansial (33%) dan mental (31%) saat mereka memandang 10 tahun ke depan.

BACA JUGA: Diangkat PPPK Malah Kehilangan TPG, Tunjangan Rp 38,4 Juta Melayang

Untuk membantu mempersiapkan masa pensiun dan kebutuhan medis tidak terduga, para responden mengatakan, tujuan finansial utama mereka adalah memiliki tabungan yang cukup untuk hari tua (46%). Kemudian, kebebasan finansial di masa pensiun (43%), pendapatan pasif di masa pensiun (38%), dan tabungan yang cukup untuk kebutuhan perawatan kesehatan (28%). 

Hal ini menjadi tantangan, karena berdasarkan data worldometers, usia harapan hidup rata-rata di Indonesia kini mencapai 73 tahun, meningkat dari 64 tahun di tahun 1990. 

"Dengan usia harapan hidup di Indonesia yang makin panjang, maka kebutuhan akan perencanaan jangka panjang lebih matang menjadi lebih penting," terangnya.

Dari segi kesejahteraan finansial, dari skala 1 sampai 100, Indonesia mendapat skor 73, di atas rata-rata negara-negara lain di Asia (67).  Terlihat juga, pasangan yang sudah menikah (75%) memiliki rasa kesejahteraan finansial yang lebih baik dibandingkan mereka yang masih lajang (64%), dan di antara pasangan tersebut, mereka yang sudah memiliki anak merasa lebih sejahtera.

“Masyarakat di negara-negara Asia hidup lebih lama dan populasinya semakin menua. Dengan meningkatnya kebutuhan perawatan dan permintaan layanan kesehatan, kemungkinan besar biayanya akan naik lebih cepat dibanding inflasi. Oleh karena itu, kekhawatiran para responden bisa dipahami,” ujar Ryan.

Di sisi lain, survei menemukan, tingkat literasi finansial di antara pasangan sudah menikah lebih tinggi dibandingkan lajang. Untuk mencapai tujuan keuangan, 45% dari total responden menggunakan tabungan dan deposito bank, sedangkan 27% dengan pekerjaan tambahan dan 24% mengandalkan investasi saham, obligasi, dan instrumen keuangan lainnya.

Sementara itu, di antara mereka yang masih lajang, kekhawatiran terbesar adalah berkurangnya pendapatan (57%), di mana hal itu jauh di atas pasangan sudah menikah (52%). Mereka juga khawatir berkurangnya tabungan (52%), lebih banyak dari pasangan yang sudah menikah (48%).

"Temuan ini menunjukkan bahwa literasi keuangan yang masih lajang lebih rendah dibandingkan sudah menikah," imbuhnya.

Literasi keuangan didasarkan pada jangkauan, jenis investasi, asuransi dan tabungan yang dimiliki. Tingkat literasi keuangan lebih rendah dan kekhawatiran kesejahteraan finansial dapat dilihat dari skor hanya 42% lajang yang memiliki perencana keuangan, dibandingkan 63% dari mereka sudah menikah.

Temuan juga mengungkapkan, empat dari lima orang yang disurvei memiliki asuransi (80%), dan 40% memiliki asuransi kesehatan. Namun, mereka yang masih lajang memiliki lebih sedikit produk tabungan, lebih sedikit asuransi, dan tidak memiliki produk investasi sebanyak responden sudah menikah. 

Survei ini juga memperlihatkan, 92% responden memiliki produk perbankan, terutama tabungan dalam mata uang lokal (85%). Juga sebanyak 78% responden telah memiliki investasi, termasuk saham (28%), emas (57%), reksadana (31%) dan obligasi (11%).

"Mayoritas lajang di Indonesia mempertimbangkan untuk menikah, lebih banyak dari negara manapun di Asia. Hal ini menunjukkan potensi kesejahteraan finansial yang lebih baik ke depannya," ucap Ryan.

Survei ini juga mendapati, masyarakat Indonesia memiliki investasi yang lebih beragam ketimbang negara lain di Asia. Namun, mereka amat bergantung pada tabungan. Hal ini berisiko tinggi karena uang pasti akan mengalami depresiasi, terutama ketika laju inflasi tinggi. Uang bukanlah jawaban. 

Survei juga mengungkapkan bahwa persepsi responden terhadap inflasi biaya perawatan kesehatan selama 12 bulan terakhir adalah sebesar 26%, di atas rata-rata negara-negara di

Asia (23%) dan lebih besar dua kali lipat dari angka yang sebenarnya. Responden khawatir dengan kenaikan harga pada resep obat (61%), perawatan kesehatan untuk

pencegahan (42%), dan rawat inap (41%). 

Sementara, penyakit yang paling ditakuti adalah jantung (40%), stroke (35%), obesitas (24%), serta kanker dan diabetes (keduanya 22%). Perlindungan kesehatan responden masih rendah, terutama untuk penyakit kritis, rawat jalan 40%, rawat inap 34%, kecelakaan 30%, dan hanya 15% untuk penyakit kritis. 

"Sebagian besar responden di Asia merasa bahwa tunjangan dan cakupan kesehatan dari perusahaan mereka tidak cukup. Begitu pula di Indonesia, dengan 74% responden memiliki pandangan serupa," tutupnya. (esy/jpnn)


Redaktur : M. Adil Syarif
Reporter : Mesyia Muhammad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler