Penelitian terbaru menunjukkan keraguan masyarakat Australia terhadap program vaksinasi tidak bertambah buruk, namun sebagian besar mengkhawatirkan efek samping dari vaksin.
Salah seorang yang masih ragu untuk mengikuti program vaksinasi adalah Sharon Neville.
BACA JUGA: Angkatan Laut Tiongkok Bantu Angkat KRI Nanggala 402, Sebegini Jumlah Kapal yang Dikerahkan
"Saya memiliki masalah medis lainnya, sehingga saya akan khawatir untuk divaksinasi," katanya.
Sharon berusia di atas 50 tahun, sehingga dia besar kemungkinan akan mendapatkan vaksin AstraZeneca.
BACA JUGA: Tanpa Pekerja Asing, Kini Tambah Banyak Lowongan Kerja di Regional Australia
Namun tidak mau mendapatkan vaksin tersebut.
"Saya memilih vaksin Pfizer, berdasarkan informasi yang saya baca, dan dengar dan kemudian saya teliti," katanya kepada ABC.
BACA JUGA: Kasus COVID-19 Indonesia Dikhawatirkan Melonjak Setelah Idulfitri
Dan Sharon tidaklah sendirian dengan pandangan seperti itu.
Australian National University di Canberra sudah mengikuti pandangan lebih dari 3 ribu orang dari akhir Agustus tahun lalu sampai bulan April tahun ini.
Studi itu memperkirakan bahwa 54,7 persen warga Australia pasti akan mendapatkan 'vaksin yang aman dan efektif" sementara 28,2 persen mungkin mau mendapatkannya.
Namun 80 persen warga takut dengan kemungkinan dampak samping dari vaksin tersebut.
Secara umum, studi itu menemukan bahwa antara bulan Januari sampai April terjadi peningkatan mereka yang mengatakan bahwa mereka akan mendapatkan 'vaksin yang aman dan efektif".
Ini terjadi meski ada penundaan penggunaan vaksin AstraZeneca di Australia dan Eropa yang terjadi dalam masa bersamaan dengan survei, dan pemerintah Australia juga mengubah rekomendasi kapan kelompok umur tertentu akan mendapatkan vaksin. Kelompok mana yang paling ragu divaksin?
Kelompok perempuan yang berbicara dalam bahasa selain Inggris, dan mereka yang tinggal di kawasan yang kurang beruntung dan di luar ibukota negara bagian adalah mereka yang paling ragu-ragu mengenai vaksinasi.
Salah seorang penulis laporan penelitian Nicholas Biddle mengatakan lebih banyak lagi usaha mesti dilakukan untuk membujuk mereka.
"Bila ada kekhawatiran besar di kalangan mereka, maka mungkin akan terjadi wabah di sana, sementara di bagian lain negeri ini aman tanpa kasus," kata Prof Biddle dari ANU.
Studi juga menemukan untuk pertama kalinya bahwa mereka yang sebelumnya pernah mengalami diskriminasi lebih enggan untuk divaksin dibandingkan mereka yang tidak pernah mengalami diskriminasi sebelumnya.
Professor Biddle mengatakan penghentian sementara pemberian vaksin Oxford-AstraZeneca tidaklah membuat sebagian warga menjadi anti vaksin, tetapi hanya membuat warga mempertanyakan vaksin mana yang dikehendaki.
"Bukanlah pengumuman atau diskusi yang terjadi yang membuat warga ragu dengan program vaksinasi pada umumnya, hanya membuat mereka khawatir dengan jenis vaksin yang akan mereka dapatkan," katanya.
"Tampaknya bahwa warga diyakinkan bahwa mereka akan mendapatkan vaksin yang aman dan efektif." Bagaimana pandangan mereka soal proses vaksinasi?
Studi juga menemukan bahwa dua pertiga responden mengatakan program vaksinasi yang dilakukan pemerintah Australia berjalan tidak mulus.
Hal yang disetujui oleh seorang mahasiswa Stephanie Tran.
"Mereka seharusnya bisa melakukannya dengan lebih baik, masih ada petugas kesehatan yang ada di garda terdepan yang belum mendapatkan vaksin," katanya kepada ABC.
Associate professor Holly Seale seorang pakar kesehatan masyarakat mengatakan pemerintah Australia sebaiknya menyebarkan lebih banyak materi-materi kreatif yang ditujukan kepada mereka yang masih ragu-ragu dengan vaksinasi.
"Kita memerlukan adanya materi audiovisual, menunjukkan bagaimana proses mendapatkan vaksin, bagaimana pengalaman warga mendatangi klinik vaksin massal, dan apa yang terjadi di sana, karena bagi sebagian orang ini mungkin pengalaman baru," katanya.
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ogah Hadapi Gelombang Baru COVID-19, Perdana Menteri Australia Dukung Larangan Kedatangan dari India