jpnn.com - JAKARTA - Praktisi hukum Meggy Tri Buana menilai perjanjian perkawinan di Indonesia belum selaras dengan Pancasila.
Pasalnya, muatan dan tujuan perjanjian perkawinan di Indonesia selama ini cenderung hanya terkait perjanjian pemisahan harta, di mana secara kategori masuk dalam perjanjian perdata murni.
BACA JUGA: BPIP: Tanggung Jawab Bersama untuk Merawat NKRI
Menurut Meggy, hal tersebut telah mendegradasi nilai kesakralan perkawinan, sebab pada agama tertentu tidak mengenal perceraian.
Pandangan ini merupakan kesimpulan dari disertasi Meggy dalam meraih gelar doktor hukum yang dikukuhkan oleh Rektor Universitas Pelita Harapan (UPH) Jonathan Parapak, dalam Sidang Akademik Terbuka UPH, di Kampus UPH, Sudirman, Jakarta, Jumat (28/10).
BACA JUGA: Kepala BPIP Tegaskan Pentingnya Peranan Ulama dan Umara dalam Memperkokoh Toleransi
"Perjanjian perkawinan pada esensinya adalah perjanjian pemisahan harta, maka substansinya mengkonstruksikan klausul hukum beserta hak dan kewajiban sesuai yang diperjanjikan."
"Hal tersebut sekaligus telah mereduksi hakikat perkawinan atau mendegradasi nilai kesakralan perkawinan, yang menurut agama tertentu tidak mengenal perceraian," ujar Meggy dalam sidang terbuka.
BACA JUGA: Kepala BPIP Tegaskan Santri Tetap Berperan Strategis Membangun Peradaban Bangsa
Sidang akademik Meggy dihadiri Prof FX Adjie Samekto (promotor), Prof Henry Soelistyo (ko-promotor), Prof Teguh Prasetyo dan penguji lainnya.
Menurut Meggy, perkawinan merupakan sendi dari komunitas masyarakat, bangsa dan negara.
Perkawinan yang sehat menciptakan keluarga bahagia yang akan membentuk bangsa bermartabat
dan negara yang kuat.
Hal itu selaras dengan UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan.
Disebutkan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Meggy lantas menjabarkan, sebagai negara hukum yang berideologi Pancasila, perkawinan tak hanya dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan, tetapi harus menjadikan nilai-nilai agama sebagai landasan ikatan perkawinan warga negara.
Menurut Meggy, perkembangan zaman mendorong perlunya rekonsepsi perjanjian perkawinan dalam konteks ke-Indonesiaan berbasis Pancasila, agar nilai kesakralan perkawinan tidak terdegradasi dengan dibuatnya perjanjian perkawinan berdasarkan KUH Perdata.
Dia lantas mengusulkan perubahan nomenklatur dari perjanjian perkawinan menjadi perjanjian pemisahan harta.
Meggy menilai langkah ini penting dilakukan untuk menghindari benturan makna dan tujuan perkawinan dengan makna dan tujuan perjanjian perkawinan dalam frasa perjanjian perkawinan. (gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Begini Pesan Wakil Kepala BPIP kepada Para Santri, Catat!
Redaktur & Reporter : Kennorton Girsang