Mekanisasi Pertanian Jadi Solusi Kekurangan Tenaga Kerja

Selasa, 29 Januari 2019 – 01:18 WIB
Petani di sawah. Foto: Kementan

jpnn.com, JAKARTA - Program mekanisasi pertanian Kementerian Pertanian (Kementan) tidak hanya meningkatkan produksi pangan.

Program itu juga terbukti menjadi solusi dalam kekurangan tenaga kerja pertanian.

BACA JUGA: Didukung Perbankan, Ditjen PSP Optimistis Program SERASI Sukses

Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian (Kementan) Pending Dadih mengatakan, tujuan mekanisasi pertanian memang tidak hanya untuk peningkatan produksi, tetapi juga mengatasi kekurangan tenaga kerja.

Adapun alsintan yang bisa dimanfaatkan antara lain combine harvester (alat panen padi), traktor roda dua (hand tractor), traktor roda empat, alat tanam padi (rice transplanter), dan lainnya.

BACA JUGA: Modernisasi Pertanian Jadi Solusi Regenerasi Petani

"Perluasan dan optimasi lahan pertanian di Indonesia mencapai 1,16 juta hektare atau naik 358 persen dibanding tahun 2013. Seluas 34,8 juta hektare di antaranya lahan rawa. Ini jelas akan membutuhkan tenaga kerja. Solusinya adalah alsintan bila lahan tersebut menjadi lahan sawah produktif," ujar Dadih.

Dia mengungkapkan, saat ini tenaga kerja pertanian kian terbatas, ditambah kurang minatnya generasi muda zaman now untuk terjun ke bidang pertanian.

BACA JUGA: Kementan Terapkan Keterbukaan Informasi via Simanis PSP

Pertanian makin kehilangan tenaga olah tanah, tenaga tanam, tenaga perawatan dan tenaga panen.

Berdasarkan hasil analisis Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementan tahun 2015, jumlah tenaga kerja terbanyak pada sektor tanaman pangan adalah petani yang sudah berusia lebih kurang 60 tahun dan disusul usia antara 40 hingga 45 tahun.

"Dampak nyata adanya kelangkaan dan usia lanjut tenaga petani untuk mendukung budi daya tanaman padi adalah rendahnya kapasitas kerja tanam padi per satuan luas lahan dan mahalnya biaya tanam," ungkapnya.

Masalah yang muncul pada kegiatan tanam dapat ditangani dengan menerapkan mesin tanam pindah bibit (transplanter) padi. Mesin transplanter adalah sebagai solusi peningkatan kerja kegiatan tanam padi.

"Hemat tenaga kerja, mempercepat waktu penyelesaian kerja tanam per satuan luas lahan. Faktor tersebut akhirnya mampu menurunkan biaya produksi budi daya padi," ungkap Dadih Permana.

Sementara itu, Direktur Alat dan Mesin Pertanian Andi Nur Alam Syah mengungkapkan, dampak nyata penggunaan mesin tanam padi ini, terlihat dari hasil pengamatan di tingkat petani.

Pengguna mesin transplanter menunjukkan bahwa rata-rata kinerja 1 mesin transplanter dengan satu  orang operator dan dua asistennya dapat menggantikan antara 15 hingga 27 hari orang kerja (HOK). Sedangkan kemampuan kerja tanam mencapai satu hingga 1,2 hektare per hari.

"Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian Kementan telah menghasilkan mesin transplanter yang dinamai mesin transplanter Jarwo 2:1. Secara umum, rata-rata biaya tanam padi secara manual sekitar Rp 1,72 juta per hektare, sedangkan dengan mesin transplanter Jarwo 2:1 sekitar Rp 1,1 juta per hektare," ujar Andi.

Keuntungan lain dari cara tanam dengan mesin transplanter munculnya usaha pembibitan padi.

Sebab, mesin memerlukan bibit khusus, yaitu umur bibit harus kurang dari 18 hari dan bibit harus ditaruh pada kotak mesin (tipe dapog) sesuai ukuran mesinnya. Rata-rata kebutuhan bibit sebanyak 250 sampai 300 dapog per hektare.

Dampak positive pun dirasakan oleh Gapoktan Madiun Bersatu di Dusun Parit Madiun, Kecamatan Sei Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Petani sudah sangat menggantungkan kegiatan tanam pada mesin transplanter Jarwo 2:1.

Biaya tanam padi secara manual dengan metode tanam Jarwo sebesar Rp 1,8 juta per hektare dan dengan alat ini hanya Rp 1,4 juta per hektare. Produktivitas padi dengan metode tanam Jarwo juga meningkat rata-rata dari 3,3 ton per hektare menjadi sekitar 4,7 ton per hektare.

"Begitu juga di Kabupaten Subang, ongkos tanam manual sebesar Rp 3,5 per hektare dibanding untuk Jarwo Transplanter hanya Rp 1,8 juta per hektare. Rata-rata produktivitas padi yang menerapkan metode tanam Jarwo mencapai 7,6 ton per hektare," papar Andi.

Fakta lainnya juga dirasakan oleh Kelompok Tani Suka Maju, Dusun Kalikebo, Kecamtan Trucuk, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Dengan menggunakan mesin transplanter, biaya tanam secara manual untuk cara Jarwo adalah Rp 2 juta per hektare.

"Sedangkan dengan transplanter sebesar Rp 1,9 juta per hektare dengan rata-rata produktivitas padi dengan metode tanam Jajar Legowo mencapai 7,5 ton per hektare," lanjutnya.

Andi menegaskan rata-rata persepsi petani pengguna mesin transplanter Jarwo 2:1 merupakan solusi munculnya kelangkaan tenaga kerja tanam.

Ini juga sekaligus meningkatkan efisiensi waktu dan biaya tanam yang akhirnya akan menurunkan biaya usaha tani padi.

Kemudian, dengan menggunakan mesin transplanter, usaha pembibitan secara dapog dianggap sebagai peluang bisnis bagi petani.

Dengan demikian, dapat membuka peluang kerja tenaga tanam yang tersisih oleh adanya mesin transplanter.

"Untuk itu, dalam meningkatkan hasil panen petani, Kementan terus meningkatkan jumlah bantuan alat mesin pertanian. Tahun ini, pemerintah memberikan sekitar 80 ribu unit alat mesin pertanian untuk disebar di seluruh wilayah di Indonesia," pungkasnya. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dampak Mekanisasi Pertanian Bisa Dirasakan 5 Tahun ke Depan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler